MOJOK.CO – ATM BNI 20 ribu rupiah di Jogja bisa diandalkan. Ia adalah mesin pelampung dari nasib manusia dalam labirin ekonomi manusia Indonesia yang timpang.
UMP Jogja baru saja diketok kenaikannya. Sedikit. Hanya 7 persen sekian. Kelompok buruh tidak puas. Mestinya naik sejari tengah, ini malah separuh kelingking. Mungkin itu cara pemerintah DIY mendengar banyak meme dan sederet-deret cemoohan atas rendahnya standar angka dunia pergajian.
Biarlah Upah Minimum Provinsi (UMP) urusan mereka yang sudah bergaji. Bagaimana dengan mereka yang belum bergaji; mereka yang masih hidup dari “beasiswa” orang tua. Atau, sarjana yang terus dan tak pernah henti memburu kerja atau mengambil kerja apa pun asal ada duitnya? Kata data termutakhir, gen milenial yang berusia 20 sampai 27 menempati piramida terbesar pengangguran masa kini.
Bank Negara Indonesia (BNI) beda caranya menghadapi “ekonomi lemah” itu. Tidak reaksioner. Tidak menuruti grafik naik turunnya IHSG atau in/out-nya dana asing di lantai bursa. BNI, yang bergedung di Kilometer Nol Jogja itu memberi jawaban yang sederhana dan everlasting: ATM 20 ribu rupiah.
Disebut everlasting, karena sejak tulisan ini dipublikasikan sampai, misalnya, Zen RS masih berkartu mahasiswa semester awal Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan atau FPOK IKIP Yogyakarta, ATM 20 ribu rupiah milik BNI ini sudah ada.
ATM BNI 20 ribu rupiah itu tidak seperti pohon oak dalam puisi aktivis ala Soe Hok Gie: tegak menantang angin. Ia tidak melawan. Ia hanya loyal pada ekonomi arus bawah yang nggak tegak-tegak; ekonomi lapuk dari manusia-manusia yang punggung dan bahunya babak belur dipukuli nasib busuk dari kota yang selalu bersolek dan terlihat wah bagi “orang jauh”.
Watak ATM BNI 20 ribu rupiah itu adalah sisa watak Republik warisan ’46
Kita tahu, BNI atau Bank Negara Indonesia adalah bank negara pertama yang secara sadar dibikin pemerintah untuk Republik. Bagaimana dengan BRI? Beda. Bank Rakyat Indonesia atau Volksbank di-takeover dari bank swasta di Purwokerto yang sudah eksis sejak dekade akhir abad 19.
BNI, yang gedungnya megah di Kilometer Nol Jogja dan menjadi kanvas favorit “seniman proyektor” itu adalah ejawantah dari kegelisahan ekonom yang sekaligus Wakil Presiden Mohammad Hatta. Beliau gelisah soal pemerintah yang membutuhkan sebuah bank sentral dan bank umum dari sebuah negara yang baru berdiri.
Kakek Prabowo Subianto, Margono Djojohadikoesoemo ditunjuk menjadi direktur pertama. Sementara, soal uang Republik, mandat mencetak jatuh pada Kanisius. Uang dan kitab suci pun keluar dari rumah percetakan yang sama. Sebagaimana karakter manusia revolusi yang papah ekonominya, namun tinggi juangnya, seperti itulah ATM BNI 20 ribu rupiah itu.
Serupa sosok Kusni Kasdut, perampok legendaris yang keputusannya menjadi perampok dibuatnya di Kampung Lempuyangan Yogyakarta. Semangat juangnya luar biasa tinggi buat Republik, tetapi penguasa Republik menolaknya menjadi orang gajian, walaupun itu gaji sebagai manusia barak (militer).Â
Di ibu kota revolusi, Kusni pun membulatkan niatnya untuk menculik seorang dokter di Surabaya dan menguras uangnya sebagai tebusan. Kusni Kasdut adalah wajah ATM BNI 20 ribu itu.Â
Generasi membara, tapi dapurnya mengenaskan
Teman Kusni adalah Idulfitri. Idulfitri sendiri adalah tokoh fiksi dari cerita pendek Pramoedya Ananta Toer di majalah Indonesia berjudul “Idulfitri Mendapat Ilham”. Cerpen ini diniatkan pengarangnya sebagai cuplikan novel Limaratus Meter Dari Istana.
Dikisahkan, Idulfitri luntang-lantung saja di Lapangan Gambir atau Lapangan Ikada atau Lapangan Monas sekarang. Mereka sepertinya baru hijrah dari Jogja dengan memanggul nasib: pengangguran revolusioner.Â
Pekerjaan tiap hari Idulfitri dan satu lagi rekannya adalah mendata siapa saja temannya yang bernasib bagus dapat kerja di jawatan. Kepada teman-temannya itulah mereka menggantungkan nasib makan apa hari ini. Atau, jika nasib tak sedang bagus, Idulfitri mencari akal bagaimana lihai bikin kalimat janji kepada pemilik warung.
Gambaran nyata dari Idulfitri ini seperti buzzer pilpres yang habis-habisan “berjuang” di medan tempur medsos, tetapi dilepeh saat yang diperjuangkan mendapatkan kekuasaan.
Tokoh Idulfitri Pram maupun Kusni maupun buzzer qismin masuk dalam kelas ATM BNI 20 ribu rupiah itu. Mereka adalah generasi revolusioner, sekali lagi, membara semangat juangnya, tapi dapurnya sangat mengenaskan.
Kemudahan untuk mereka yang berada di titik nadir
ATM BNI 20 ribu rupiah itu tetap dipertahankan manajemen bank pastilah bukan diperuntukkan bagi mereka yang biasa mondar-mandir di timeline dengan memacak diri anak muda yang baru saja ikut seminar finansial berbayar. Di kepala manajemen yang mempertahankan mesin itu tetap berada di ruang kecil lantai bawah gedung adalah manusia yang jauh di luar sana, yang nasibnya dengan mereka seperti titik nadir bumi dan titik zenit langit.
ATM 20 ribu adalah pelampung paling akhir dari manusia Republik yang nasibnya masih sama dengan Idulfitri maupun Kasdut maupun buzzer prekariat.
Lama saya menatap ATM BNI 20 ribu rupiah di KM 0 Jogja itu. Untuk membuktikan bahwa ATM itu bukan pajangan seperti museum memajang mesin-mesin lawasan demi memory of the world, istri saya memasukkan kartu. Hap! Lembaran 20 ribu rupiah keluar lancar. Uang baru. Harum seperti harumnya uang baru.
Mesin pelampung, penyelamat sementara
Lalu, teringatlah anekdot dari promotor musik Anas Syahrul Alimi. Di salah satu acara Mocosik Festival, tiba-tiba Anas bertanya, tepatnya menyodorkan teka-teki nasib yang sejatinya sederhana, tetapi sulit.
Jika di rekeningmu tersisa 50 ribu rupiah, demikianlah Anas Syahrul Alimi bertanya, apa yang bisa kamu lakukan supaya hidupmu tidak bertambah buruk?
Ambillah uang itu. Belilah segelas teh es di angkringan. Sebatang rokok. Isaplah rokok itu dalam-dalam. Teguk perlahan teh es. Beli juga pulsa termurah. Lalu, berkonsentrasilah, ingat sebaik-baiknya siapa teman yang bisa diutangin. Pastikan, teman yang terpilih dan dihubungi dengan pulsa terakhir itu adalah yang tak mungkin menolak memberi pinjaman. Sebab, nggak ada plan random dalam kondisi terdesak dari nasib yang tersedak; tak ada plan B, apalagi C.
Semua peserta yang tersisa dari diskusi Mocosik yang sudah larut itu tertawa bersama. Mungkin sedang menertawakan sejarah hidup masing-masing saat masih mahasiswa atau nasib hari ini yang sial.
Cuma, ada yang tersisa dari anekdot ekonomi prekariat itu. ATM mana yang bisa mengeluarkan uang genap 50 ribu tanpa memotong serupiah pun atas nama “bea administrasi” dan menyisakan nol di rekening?
Di titik nadir itulah ATM BNI 20 ribu rupiah di Titik Nol Kilometer Jogja bisa diandalkan. Ia adalah mesin pelampung dari nasib masing-masing dalam labirin ekonomi manusia Republik yang timpang. Itu.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bank Mandiri dan BNI, Bank Terbaik di Indonesia yang Peduli Kaum Pas-pasan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.