MOJOK.CO – Hari ini bisa saja mengolok-olok Prabowo atau Jokowi sembarangan, lalu dapat dukungan banyak dari followers. Ketika perkara hukum datang, dukungan tiba-tiba hilang entah ke mana seperti yang dialami Jonru.
“Pengaruh medsos sangat luar biasa, bahkan bisa mengalahkan media mainstream. Karena itu umat Islam harus memanfaatkan medsos untuk menshare kebaikan, melawan opini-opini sesat yg merugikan umat. Yuk, pelajari kiat-kiat jitu berdakwah lewat medsos bersama Jonru,” (Training Cyber Dakwah, 2017).
“Tidak ada lembaga pelatihan yang mengajarkan orang untuk menjadi jahat. Karena menjadi jahat semudah memutar telapak tangan dari depan ke belakang. Menjadi jahat itu tidak butuh usaha. Menjadi baik yang lebih butuh usaha bertahun-tahun bahkan seumur hidup. Mungkin Sandiaga Uno dengan OKE OCE-nya dapat membuat training center untuk menjadikan orang mirip Jonru,” (Media Opini X, 2017).
Dengan membaca dua kutipan tersebut, kamu akan langsung paham bahwa keduanya mengusung premis yang sempurna. Di kutipan pertama, media sosial (medsos) jelas sudah menumbangkan media mainstream. Pada era Jonru berkuasa, pembaca harian Kompas pun bisa jadi kalah telak dengan pembaca statusnya.
Kutipan selanjutnya pun tak kalah meyakinkan. Ya kali, kamu pernah baca iklan model beginini: Pelatihan korupsi biar ketahuannya waktu tua atau bimbingan belajar menyakiti hati pasangan? Ya jelas biar produk iklan laku semua diarahkan ke kebaikan dong ya.
Hanya saja, konklusi kedua premis itu jadi kontraproduktif begitu Jonru menjadi penyampai materi ajakan untuk tidak sharing opini sesat yang merugikan, bahkan jadi yang terdepan untuk urusan membagikan opini sesat yang merugikan umat.
Tentu saja, pemateri anti opini sesat tapi rujukannya adalah Jonru yang tidak saja dikenal selalu berusaha merisak citra Presiden Jokowi dengan informasi sering tak berdasar, namun juga tangkas dan beringas menyerang mufasir terdepan Indonesia, Quraish Shihab dengan tuduhan-tuduhan serampangan.
Demikian juga halnya dengan OK OCE yang dimaksudkan di “Media Opini X” tersebut. Si penulis berusaha menyuguhkan ingatan akan janji-janji yang dikampanyekan dalam program one kecamatan one centre enterpreneurship. Kesimpulannya menjadi sangat tendensius saat program tersebut diharapkan untuk mencetak orang dengan kualifikasi “bermedsos seperti Jonru”.
Harus saya katakan, Jonru merupakan contoh tentang orang yang berani dan gagah saat beropini tapi dengan cara gegabah. Seolah berdasar fakta tapi nyatanya hanya berdasarkan gosip di ruang tertutup.
Dengan jumlah penyuka postingan puluhan ribu serta sering menjadi rujukan banyak orang saat beropini, Jonru menjema menjadi sosok yang merasa punya pengikut militan. Dalam bayangan Jonru, para follower-nya di medsos akan bertempur mati-matian jika situasi sulit atau buruk suatu waktu menimpanya.
Tidak heran kalau Jonru kerap melontarkan tantangan kepada kepolisian untuk membuktikan atau membantah kalau apa yang diucapkannya selama ini salah. Ini kurang lebih yang sering Jonru katakan saat berulang kali menghina asal usul atau ketidakjelasan riwayat orang tua Jokowi sampai menyerang orang-orang yang secara politik berseberangan.
“Kenapa polisi tidak berani memperkarakan saya kalau pernyataan saya tidak benar?”
Hebat, berani betul.
Akan tetapi, begitu Jonru diperkarakan kemudian harus menjalani proses hukum, tidak ada satu biji pun akun yang pernah like status-statusnya siap menyabung nyawa untuknya. Jangankan berkorban, peduli pada sidang-sidangnya pun tidak.
Tidak ada seorang pun pengikutnya di media sosial yang mengenakan ikat kepala merah dengan tulisan “Jonru” berwarna putih sembari mengepalkan tangan dan meneriakkan kata: “Lawan!”. Semua seperti menghilang, lenyap, sama sekali tidak berbekas.
Sebenarnya orang semacam ini masih banyak yang berkeliaran, dua di antaranya Mustofa Nahrawardaya di satu sisi dan Abu Janda di sisi yang lain. Mereka sering melakukan penggiringan opini dengan cara-cara “membakar”.
Bedanya, mereka lebih cerdas mengemasnya untuk menghindari hal yang berimplikasi hukum. Para pengikut mereka yang biasanya menambahkan bumbu yang akhirnya justru berujung fitnah.
Tingkah seperti sebenarnya juga menjangkiti oleh beberapa akun. Tidak hanya dari pendukung atau simpatisan Prabowo Subianto, namun juga dari pihak yang kontra dengannya.
Baru beberapa waktu lalu hal semacam ini terjadi. Tepatnya di Pati, Jawa Tengah, seorang perempuan dari Aparatur Sipil Negara (ASN) larut dalam kebisingan medsos seputar kasus Neno Warisman. Dalam satu potongan gambar yang memperlihatkan Neno sebingkai foto dengan Prabowo, perempuan tersebut memberikan keterangan “dugaan isi pembicaraan” yang menjurus fitnah.
“Jadikan aku ibu negara, sama Mardani nggak enak….”
Selanjutnya di kolom komentar yang membahas postingan tersebut, temannya (perempuan juga) merespon dengan mengipasi gosip liar mengenai hubungan perselingkuhan Neno-Mardani. Si Ibu kemudian menjawab soal disfungsinya alat vital orang yang dimaksud akan jadi masalah tidak jika Neno menjadi istri Prabowo.
Terus?
Secara mengejutkan, dengan cepat akun yang tidak menggunakan nama asli tersebut tersebar dan terbongkar oleh akun pendukung Prabowo. Alih-alih memperkarakan melalui proses hukum, perempuan tersebut dihubungi akun yang mengaku beralamat di Jakarta melalui pesan whatsapp untuk membuat video permintaan maaf.
Dan gilanya, itu dilakukan cuma dengan “gertakan” agar kasus tersebut tidak sampai ke pihak yang berwajib. Dalih yang diajukan karena biasanya pelaku yang berlatar belakang ASN (jika menghina kubu Prabowo) dianggap tidak adil.
Sebenarnya jika ibu tersebut paham prosedur hukum, saat dia mendapat tekanan dari seseorang atau kelompok, dia seharusnya melaporkan diri ke polisi. Juga dapat menunjuk pengacara untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Tapi nyatanya, si pelaku ini lebih memilih melakukan kebodohan lagi. Kalau pertama fitnah, yang kedua menyebarkan sendiri video yang menampilkan wajah aslinya. Lalu ketika itu semua terjadi, adakah teman medsosnya yang biasa tertawa dan menertawakan bersama membantunya? Tidak ada. Takut repot dan tidak siap jika kasus tersebut melebar.
Pertanyaannya sekarang; bagaimana bisa orang-orang berpendidikan seperti mereka melakukan kesalahan seperti itu?
Sejak tahun 2014 bukan cuma orang biasa gemar membicarakan hal yang tidak berangkat fakta, tetapi ditiupkan seolah fakta yang dapat menjatuhkan calon presiden yang tidak disukai. Jangankan alumni dari kampus yang namanya hampir tidak pernah terbawa angin, alumni universitas ternama yang masuk dalam daftar pertemanan saya pun banyak yang ikut menyebarkan hal itu.
Bagaimana bisa mereka yang berasal dari kampus favorit Indonesia sering hilang tak berbekas kalau mereka menjalankan profesi sampingannya, yakni loper hoax?
Begitu orang larut dalam entah bualan entah fakta, untuk kemudian memproduksi ulang, menambahi dan mengunggahnya sebagai bentuk ekpresi kebebasan. Itu bukan soal tingkatan pendidikan lagi, tetapi karena orang tidak menyadari bahwa hal tersebut dapat membawa akibat hukum.
Simak saja gosip gelap yang mengatakan kalau Jokowi anak Gerwani, ibunda Jokowi yang sebenarnya bukan Bu Sudjiatmi, dan bapaknya bernama Oey Hong Liong.
Pertanyaannya; apa yang salah kalau Jokowi anaknya Gerwani dan bapaknya orang Cina? Di negeri ini, dua hal yang merupakan warisan Orde Baru tersebut dianggap cacat bawaan dan tercela. Para petualang politik tahu benar cara memanfaatkannya untuk mendistraksi pikiran para pemilih.
Sebaliknya, Prabowo juga sering tertimpa isu dan gosip yang menyerangnya. Pada saat “Indonesia invasi ke Timor Leste”, Prabowo digosipkan kehilangan burungnya, anaknya yang terjun di dunia mode dikabarkan seorang gay, dan sering melempar gawainya ke bawahannya juga ke mitra koalisi kalau sedang emosional. Tak kurang Hermawan Soelistyo menambahi dengan cerita Prabowo pernah menggebuki SBY di usia tarunanya.
Pertanyaan yang sama dapat kita ajukan, apa yang salah kalau Prabowo mengalami kecelakaan itu? Apa yang salah kalau anaknya memang gay? Jawabannya sudah pasti, opini orang digiring untuk menjauh dari kemungkinan negara dipimpin oleh orang yang mengatur rumah tangganya sendiri pun tidak mampu. Lalu diarahkan untuk tidak memilih Prabowo hanya karena informasi-informasi yang tidak ada hubungannya dengan kapasitas jadi presiden.
Kamu yang hobi komentar hal yang menjurus fitnah mungkin masih selamat karena belum ada orang iseng dan cukup selo untuk memperkarakan. Tetapi nanti, atau selambat-lambatnya besok hal serupa dapat menubrukmu.
Lha kok yang cuma berangkat dari gosip dan laporan iseng. Prita Mulyasari, pada 2009 silam, yang jelas menyuarakan haknya melalui surat yang akhirnya viral karena merasa dirugikan oleh sebuah rumah sakit swasta pun kena jerat hukuman. Dia dianggap melakukan pencemaran nama baik dan perbuatan melawan hukum. Setelah melalui pengadilan yang sangat memakan waktu, Prita baru dinyatakan bebas melalui putusan kasasi MA beberapa tahun kemudian.
Ini bukan bermaksud menyorot UU ITE yang sangat sering makan korban seperti Prita Mulyasari, tetapi preferensi politik yang terlanjur mendarah daging membuat orang berperilaku berlebihan sehingga nalarnya tumpul dan sikap kritisnya hilang seketika.
Dalam banyak kasus, baik pelapor maupun terlapor pada dasarnya sering sudah tidak menggunakan nalar yang baik. Orang bahkan sudah tidak dapat lagi membedakan opini atau berita, dusta atau fakta.
Kemudian orang berkilah, itu kan masuk delik aduan, selama orang yang dimaksud merasa tidak dirugikan tidak masalah. Ya, dan itulah yang menimpa Jonru. Dikiranya kalau orangnya tetep plengah-plengeh, senyam-senyum dianggep lemah, tidak berani melapor, dan dianggap tidak berani mengungkapkan fakta.
Itu juga yang menimpa perempuan dari Pati yang saya ceritakan tadi. Pada hari biasa banyak orang akan membela dan mengelukan karena keberaniannya menusuk dengan kata-kata. Tetapi saat orang memperkarakan, banyak orang mulai menebarkan ancaman. Teman-temannya secara formalitas akan mengatakan, “Yang tabah ya, Bu. Semoga cobaan ini segera berakhir.”
Ketika kasus tersebut lanjut ke polisi atau lebih jauh lagi pengadilan, meskipun misalnya akhirnya terbukti tak bersalah, menjalani proses hukum seperti itu jelas sangat melelahkan. Coba saja lihat bagaimana rupa ibu dari Pati tadi yang mengatakan permohonan maafnya tidak dalam keadaan tertekan, padahal jelas-jelas air mukanya penuh tekanan?
Tidak akan ada lagi kebanggaan tersisa seperti saat kemarin membela diri mati-matian. Coba juga tanya ibu tersebut, apa manfaatnya pembelaan-pembelaan heroik teman-teman medsosnya kemarin? Kalau kenal Jonru, coba saja bertanya, pada ke mana orang-orang yang mendukungnya di medsos?
Ingat pesan dogol ini; sepuluh hingga seratus like yang kamu dapatkan hari ini, akan segera kosong melompong pada saat kamu kena perkara hukum. Hari ini bisa menyebut Prabowo atau Jokowi sembarangan sambil merendahkan lalu tertawa bersama. Bisa jadi besok segera berganti pusing berkepanjangan kalau ada orang iseng memperkarakan pencemaran nama baik.
Lagi pula, di medsos tidak ada kesetiakawanan hakiki, ikatannya setipis kulit ari kalau hanya berdasarkan kesamaan preferensi politik. Jika seseorang sudah terkena pasal pencemaran nama baik yang tidak dapat dielakkan lagi, jangankan komentar menenangkan, pencet like, atau ikon sedih pun bisa jadi tidak sudi lagi.
Lho ini bukan bermaksud menakut-nakuti. Misal ini, pihak Prabowo memperkarakan olok-olokan yang berdasar dari hoax dan sialnya itu tertuju pada kamu sendiri. Memangnya cukup pembelaan dengan mengatakan, “Pak Hakim, bukan saya sendiri yang mengatakan, saya cuma ikut-ikut si A, B, dan C. Eh, iya D juga”?
Atau bagaimana juga kalau tiba-tiba Gibran melalui pengacaranya menuntut kamu karena mengatakan yang aneh-aneh tentang keluarga kecilnya? Uangnya dari jualan Markobar saja sudah cukup kalau cuma untuk mau repot mengurus kasusmu.
Kamu boleh saja berharap tidak kalah di pengadilan. Namun begitu membayangkan prosesnya begitu menyita waktu dan berbelit. Cerita-cerita heroik di medsos pun akan hilang seketika, karena seperti yang dialami Jonru, pembelaan heroik di dunia maya itu memang betul-betul semu di hadapan hakim dan pengadilan.