Warmindo datang menggantikan
Kini, hampir semua angkringan di Ngaliyan Semarang tutup satu per satu. Datang warmindo dan burjo menggantikan. Keduanya menjadi pilihan mahasiswa sebagai ruang berekspresi.
Karakter dan kelas sosial mahasiswa UIN Walisongo saat ini, yang cenderung hedonis, memang menuntut kenyamanan. Warmindo, dengan tempat yang luas dan meja-kursi yang tersedia, adalah pilihan paling masuk akal bagi mereka.
Cara angkringan untuk “bertahan hidup” di Ngaliyan Semarang
Satu dua angkringan yang masih ada di Ngaliyan Semarang, bertahan dengan berbagai cara. Salah satunya Angkringan Gilo-Gilo yang kini berjualan di jembatan atas tol di dekat kampus III UIN Walisongo.
Cara yang dilakukan pemiliknya untuk bertahan adalah dengan memperbanyak porsi nasi kucingnya. Saat saya membeli nasi kucing di angkringan ini, porsinya memang lebih banyak. Selain nasi kucing, mereka memperbesar ukuran gorengan. Sate-satean yang tersedia kini lebih panjang dengan harga masih Rp2 ribu saja.
Selain itu, harga minuman seperti teh juga lebih murah. Hanya Rp2 ribu, pembeli seperti saya sudah mendapat sekantong penuh es teh. Dengan melakukan itu, pemilik seperti bertaruh agar pembeli banyak yang datang sehingga omset tiap malamnya bisa menutup biaya harian.
Tidak lagi banyak berharap
Tapi yang namanya harapan, ketika tidak sesuai dengan realita, rasanya begitu melelahkan saat menjalaninya. Setiap malam, dagangan Angkringan Gilo-Gilo tak sampai separuh terjual. Mereka akan mengoper makanan sisa ke pedagang makanan pagi dan dijual dengan harga lebih murah lagi. Kalau makanan itu sudah tidak layak, pemilik Gilo-Gilo akan membuangnya.
Lain halnya dengan angkringan tanpa nama di Ngaliyan Semarang. Angkringan ini ada di sebelah toko aksesoris KAC di sekitaran jalan utama depan Kampus III. Si pemilik sudah tidak mengharapkan pelanggan dari kalangan mahasiswa sejak pandemi. Dia, fokus dengan pelanggan dari kalangan pekerja.
Masalahnya, pelanggan dari kalangan pekerja tidak menjadikan angkringan sebagai tujuan. Baik untuk menghilangkan rasa lapar atau berkumpul untuk ngobrol saja.
Oleh sebab itu, di akhir pekan atau hari libur, kedai-kedai makanan lainnya di Ngaliyan Semarang terlihat ramai. Angkringannya sebaliknya. Terlihat sepi dengan pengunjung hanya satu atau dua orang saja. Paling jadi agak lebih ramai di akhir bulan ketika mahasiswa dan pekerja harus berhemat.
Munculnya “predator” di Ngaliyan Semarang
Para pemilik angkringan ini mengakui bahwa kehadiran warmindo, burjo, dan kafe baru menjadi pesaing berat. Masalahnya, melihat kondisi di Ngaliyan Semarang, mereka bukan lagi pesaing. Warmindo, burjo, dan kafe seperti “predator” bagi angkringan.
Angkringan di Ngaliyan Semarang tidak lagi bisa head to head dengan mereka. Oleh sebab itu, di situasi saat ini, angkringan hanya bisa bertahan dengan strategi sekadarnya sesuai kekuatan ekonomi yang semakin lemah.
Kalau warmindo, burjo, atau kafe mengenal kata investor, para angkringan di Ngaliyan Semarang, tidak mengenal itu. Yang mereka tahu adalah segala modal datang dari kantong sendiri. Ada juga yang sumbernya dari bank atau koperasi berkedok rentenir di area Semarang.
Es teh atau jenis minuman lain yang menjadi andalan untuk mengeruk keuntungan juga sudah kalah. Angkringan juga kudu bersaing dengan kedai es teh jumbo, es cokelat, atau cincau. Ketiganya menawarkan wadah yang lebih modern, simpel, dan tentu saja murah.
Memangnya masih zaman minum es pakai kantong plastik? Tapi apa daya, membeli wadah seperti itu artinya menambah beban biaya, sementara omset harian mereka saja sudah begitu tiarap.
Pada akhirnya, mereka hanya cuma mampu bertahan
Entah sampai kapan angkringan di Ngaliyan Semarang bisa bertahan. Mereka saat ini hanya berharap kemurahan hati mahasiswa atau pekerja kantoran.
Tapi setidaknya, makanan yang dianggap jorok dan tidak sehat itu, adalah penyelamat bagi manusia-manusia yang kebingungan mau makan apa dengan sisa uang Rp5 ribu di dompet. Mungkin, angkringan di Ngaliyan Semarang akan dirindukan. Tapi saat kerinduan itu tiba, kita baru sadar bahwa mereka ternyata telah hilang karena kalah oleh zaman.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 3 Area Banyak Angkringan di Jogja yang Sepi dan Nyaman, Tak Kalah dari Malioboro dan Sekitarnya dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.