MOJOK.CO – Sebagai komedian, jelas Ernest Prakasa juga butuh dihibur. Mungkin, salah satu hal yang bisa menghiburnya dengan mengkritik Anies Baswedan.
Ada yang bilang komedian adalah profesi yang kerjanya menghibur orang lain, tapi sebenarnya dirinya sendiri lebih butuh dihibur. Orang yang paling kencang tertawanya adalah yang paling dalam kesedihannya. Ah, masa iya?
Kemudian tersiar berita Nunung Srimulat tertangkap basah sedang mengonsumsi narkoba jenis sabu. Mendengar kabar Mbak Nunung yang menangis ketika ditangkap polisi, kita pun mengiyakan bahwa komedian memang yang paling butuh dihibur. Terkadang, yang menyedihkan, hiburannya justru berbentuk hal terlarang. Salah satu contohnya adalah narkoba yang kita sepakati sebagai barang haram. Contoh lainnya, mengidolakan politisi secara berlebihan.
Lain pelawak kelompok (Srimulat), lain pelawak tunggal (Stand Up Comedy). Jika Mbak Nunung kecanduan sabu, Ernest Prakasa kecanduan mengkritik Anies Baswedan. Di akun Twitter pribadinya, Ernest tertangkap layar telah share berita lawas tentang Pemprov DKI yang beli dua pohon asal Afrika seharga 1,5 miliar. Lanjutnya, “Jakarta banyak polusi, solusinya penghijauan. Bener dong? Bener nggak sih?”
Sebenarnya, Ernest sedang melakukan satir dengan menyundul berita kedaluwarsa tersebut. Sekalian menimpali polemik Getah Getih yang diprakarsai oleh Anies Baswedan yang belakangan kembali jadi polemik.
Opini pun tergiring kepada sebuah narasi: belum cukup menghamburkan uang untuk anyaman, ditambah beli pohon supermahal segala. Nggak bener nih.
Sayang, cuitan Ernest telah dihapus begitu tahu bahwa pengadaan pohon itu dilakukan saat pemerintahan Ahok-Djarot. Kenapa sih dihapus, Koh? Toh di cuitan itu Koh Ernest hanya bertanya.
Hemat saya, daripada dihapus, mending ditimpali lagi:
“Bener dong! Kita mesti dukung apa yang dilakukan oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta dalam gerakan penghijauan ini. Harga udara bersih memang semahal itu, Guys.”
Selesai.
Biarkan penafsiran dikembalikan kepada sobat Twitter.
Gaya satir itu zona hijau untuk melakukan kritik. Kemegahan Bahasa Indonesia sudah memberikan fasilitas berupa majas yang satu ini. Sebuah bekal untuk kita gunakan menyampaikan kritik dengan cara main cantik.
Misalnya, Ernest Prakasa bilang Pemrov DKI Jakarta sangat peduli dengan seni sampai menggelontorkan anggaran luar biasa banyak hanya untuk sebuah anyaman bambu yang masa berlakunya kurang dari setahun.
Orang yang kontra dengan pemerintah bakalan mengerti bahwa Ernest sedang menyindir kebijakan gubernur yang dirasa tidak efektif. Eh, orang yang pro pemerintah juga bisa mengartikan bahwa Ernest sedang memuji kehebatan gubernur rasa presiden kebanggaannya.
Nggak usah pedulikan kalau nanti malah ada yang salah tafsir. Kubu satu menilai Ernest sudah pindah haluan menjadi Teman Anies. Di saat yang sama kubu satunya sadar junjungannya sedang dikritik. Inilah risiko dari pemakaian kata-kata bersayap yang punya efek samping multitafsir. Yang jelas mereka yang tidak paham dan justru marah-marah itu memang bukan target dari tulisan satir. Fokus saja dengan segmen pasar.
Gara-gara cuitan yang dihapus, Ernest dirundung oleh pejuang keadilan (media) sosial. Benar kata Anies Baswedan, semua ini tentang keberpihakan. Jelaslah Ernest memang berpihak kepada Ahok. Namun, karena fanatik, kritikannya tidak berimbang, hal itu menjadi sasaran empuk pihak lawan.
Ditambah Ernest mencuit tentang prediksinya selepas Prabowo berdamai dengan Jokowi: para penyusup demokrasi kini berbaris rapat di belakang satu tokoh yang siap menghalalkan segala cara termasuk memecah belah bangsa.
Sudahlah resmi Ernest menabuh genderang perang terhadap pendekar keadilan sosial. Padahal tahun 2024 masih setengah dekade lagi. Nyolong start-nya sungguh kebangetan.
Sebagai pembaca buku, pendengar stand up comedy, dan penonton film Ernest Prakasa, saya bisa mengerti mengapa beliau begitu membela Ahok. Sebab Anies pernah mengalahkan Ahok di pilgub, otomatis Ernest pun menganggap Anies sebagai lawan.
Seorang Ernest Prakasa tumbuh besar di zaman orde baru dimana diskriminasi terhadap suku Tionghoa masih kental. Ernest kerap dirisak karena identitasnya. Bahkan di film Ngenest, Ernest sampai takut punya anak karena nggak mau kalau nanti anaknya mengalami masa kecil yang sama dengannya sebagai keturunan Tionghoa.
Lalu, muncul Basuki Tjahaja Purnama. Ahok adalah simbol harapan. Terlebih bagi warga minoritas. Ahok memberikan contoh bahwa orang Tionghoa juga bisa jadi penguasa di pemerintahan. Kabar gembira ini juga dirasakan oleh Ernest. Ernest bisa mengucapkan selamat tinggal kepada kenangan buruk masa kecilnya yang penuh pengalaman diskriminatif.
Di suatu kesempatan, Ernest pernah membawakan materi stand up comedy yang memprediksikan karier politik Ahok: jika Jokowi maju pilpres dan menang jadi presiden, maka Jakarta bakalan punya gubernur cina, yaitu Ahok. Tak lama kemudian, prediksi Ernest itu terbukti.
Dari situ Ernest membongkar rahasia bahwa selama ini dia adalah bagian dari organisasi bawah tanah Illucinati (Illuminati KW buatan Cina). Tentu saja ini hanyalah guyon.
Ernest juga memprediksi kalau Ahok bisa jadi presiden setelah mendampingi Jokowi sebagai wapres. Entah ini prediksi atau harapan dari lubuk hati yang terdalam. Namun, Ernest harus kecewa. Ahok belum maju pilpres, sang idola tersandung kasus dengan Monas dan angka 212.
Ahok yang gagal meraih karier tertinggi di dunia politik tanah air adalah kesedihan Ernest Prakasa. Selama ini, kita (kita???) tertawa menonton film-film Ernest setiap akhir tahun, tapi tak tahu jika sang kreator menyimpan kesedihannya sendiri. Maka, caranya menghibur diri adalah dengan mengkritik Anies Baswedan sang pengganti Ahok. Demi membuktikan bahwa politisi idolanya dulu jauh lebih baik.
Sampai akhirnya itu jadi candu.
Barangkali di antara kita (kita???) ada yang begitu juga. Mengkritik setiap kebijakan pemimpin pilihan orang lain untuk menghibur diri bahwa pilihan kita yang seharusnya menang. Sebab pilihan kita selalu benar.