MOJOK.CO – Di tanah Madura, para Caleg akan mengampanyekan kebijakan yang untungnya nanti bakal pas-pasan aja. Pas untuk dirinya dan pas untuk keluarganya.
Di atas motor, suatu hari, saat mengantar Ibu, saya melihat baliho salah satu Caleg yang masih muda sekali. Kinyis-kinyis. Belum punya gelar apapun. Dugaan saya, ia dari kalangan berada, makanya ikutan nyaleg.
Di sisi kanan foto terpampang tulisan besar “Ngirèng Untalkan”—suatu jargon sok akrab, meski sebenarnya amburadul.
“Apa artèna untalkan rèya, Cong? (Apa artinya untalkan itu, Nak?),” tanya Ibu.
Ibu bertanya demikian karena saya mahasiswa. Katanya, pasti saya tahu bahasa Indonesia. Tapi saya cek di KBBI, ‘untalkan’ itu nggak ada artinya, kecuali berarti menelan. Misal: menguntal pil, ya, menelan pil. Jadi jargon “Ngirèng Untalkan” itu artinya “Mari Untalkan”.
“Ta’ oning, Ma’. Ka’ dissa’ sobung è kamus (Gak tahu, Ma. Itu nggak ada di kamus),” jawab saya.
Kami pun bincang-bincang di atas motor. Ibu bertanya apa tugasnya DPR. Sebagai penjelasan, saya cerita ke Ibu bahwa saya pernah dapat tugas wawancara DPR. Selain di ruangannya cuma duduk manis bin santai, menemui mereka harus pakai ajudan dan serangkaian birokrasi surat-menyurat yang njlimet.
Lalu tanpa diduga, Ibu bilang, “Terro nyamanna odi’ kèng sengka sè alakowa. Ghun ju’-toju’â è korsè (Ingin hidup enak tapi malas kerja. Inginnya duduk-duduk di kursi).” Saya kaget beliau berkata begitu. Tapi saya maklum, karena profesi beliau.
Oh, ya, saya belum kasih tahu, Ibu saya penjual jamu tradisonal. Setiap hari menempuh jarak lebih kurang 45 km, dan saya hanya mengantar separo perjalanan. Hidup kami keras. Usaha Ibu untuk melancarkan studi saya. Bisa dibilang, kami iri dengan para DPR; duduk manis, gaji melimpah-ruah.
Selain baliho Caleg muda tadi, sejauh yang saya temui di Madura, kebanyakan Caleg juga nggak sesuai keilmuannya. Ada yang bergelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I), tak sedikit pula yang cuma berbekal ‘Gus’ di depan namanya. Biar tampak bahwa ia putra kiai. Belum lagi yang sekadar modal kaya, seperti Caleg pertama tadi.
Semacam ada confusion of knowledge, bahasa kerennya. Itu ibarat ungkapan cewek-cewek yang ditinggal nikah cowoknya: “pacarannya sama siapa, nikahnya sama siapa.” Begitulah fakta Caleg di Madura, entah dengan daerah lain. Lalu apa tanggapan masyarakat dengan fenomena ‘amburadulitas’ tersebut?
Penting diulas bahwa kebanyakan masyarakat Madura menganggap Caleg itu nggak penting. Nggak ada gunanya.
Kalau pun ada, mungkin yang menganggap Pemilihan Legislatif (Pileg) itu penting ya cuma keluarga si Caleg atau tim suksesnya. Di luar itu orang-orang fokus dengan diri sendiri, seperti ibu saya yang fokus dengan jamu tradisionalnya.
Toh kalau pun pemilu selesai, dan si Caleg menang, nggak akan ada kabar lagi. Turun keliling ke kampung-kampung untuk sekadar menyapa atau bertanya warga butuh apa juga mustahil. Foto-fotonya nggak lagi nongkrong di pertigaan atau perempatan jalan.
Satu-satunya yang bisa diharapkan masyarakat adalah sisa-sisa baliho-baliho kampanye mereka sebagai tabir. Jadi jangan kaget kalau kamu ke Madura, misal acara manten, tabir yang dipakai bisa bergambar Caleg dari berbagai Dapil. Bhineka Tungga Ika sekali.
Apalagi, Pemilihan Presiden dan DPR berada dalam durasi waktu yang berdekatan. Kalau Prof. Yusril Ihza Mahendra membaca itu cuma sebagai peluang bagi partai besar untuk menang, di Madura justru itu menjadi indikator pencoblosan DPR bakal diabaikan.
Bagi orang Madura sih yang terpenting coblos presidennya, urusan DPR mah bodoh amat. Meski ini mengandung kerugian sendiri, karena peluang menang Caleg meski suara kecil yang penting unggul, namun itulah kenyataannya. Apalagi Calegnya puluhan. Pusing milihnya, ribet dan rumit.
Lagian, orang Madura juga nggak suka yang ribet-ribet. Kalau repot ya mending tinggalin aja.
Lagian program para Caleg juga nggak penting-penting amat. Bahkan jargon yang ditawarkan remeh banget. Bahkan mendengar omongannya Vicky Prasetyo ketimbang baca jargon kampanye Caleg di Madura jauh lebih berfaedah.
Misalnya, di salah satu pertigaan di kabupaten Pamekasan, seorang Caleg Dapil Madura, bergelar Sarjana Pendidikan (S.Pd), tepat di bawah fotonya ditulis kalimat begini: “Dapat Berkomunikasi Bahasa Inggris dan Bahasa Arab.”
Ealah, untuk apa coba kemampuan berbahasa Arab-Inggris ditawarkan ke masyarakat yang sehari-hari ngomong pakai Bahasa Madura? Ini ceritanya mau jadi Wakil Rakyat Madura cabang di Jeddah atau Manchester gitu apa yak?
Memangnya kerjaan DPR itu jadi volunteer turis asing? Atau mungkin sebagai penerjemah buku kalau terpilih kelak? Sungguh aneh. Bahkan saya yang lagi pusing-pusingnya dari skripsi ini, meski bukan Caleg, tak perlu narsis gituan. Meski semua referensi bahasa Arab-Inggris. Ya, norak todemax aja.
Lalu saya pantengin lagi Caleg tadi, ternyata nama depannya ‘Ra’—sebutan Gus versi bahasa Madura. Pantas saja masyarakat nggak komentar.
Padahal, sekalipun jika tawaran itu sebagai respon traumatik terhadap Presiden Jokowi yang tidak bisa bahasa Inggris, umpamanya, tetaplah tidak elok. Seakan-akan ia bilang, “Ane seorang Gus, dan bisa berbahasa Arab-Inggris. Pilih ane yaaaaa.”
Tampaknya banyak Caleg yang tidak sepenuhnya paham fungsi DPR, di samping sikap abai masyarakat. Jika itu benar adanya, jelas itu menjadi ladang potensi korupsi. Toh yang ditarget hanya gaji tinggi sambil duduk manis, masa bodoh dengan kredibilitas dan profesionalitasnya.
Padahal jelas dalam UUD NRI tahun 1945 Pasal 20A ayat 1, fungsi DPR hanya tiga: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dari ketiganya fungsi bahasa Inggris, apalagi Arab, mengambang. Memangnya kalau terpilih nanti mau menerjemah UU 1945 ke dalam bahasa Arab, Gaes?
Kemampuan bahasa itu seharusnya sebatas menjadi soft skill, tak perlu dipaksa hard skill-kan. Taruhlah mampu berkomunikasi bahasa Inggris, baiknya dipakai untuk menambah referensi tentang konstitusi negara-negara maju. Paling tidak biar nggak kudet-kudet-amat.
Apa jadinya jika orang luar Madura membaca baliho itu? Jawabannya satu; mereka akan mengira bahasa Arab dan Inggris di Madura sebagai bahasa superpower. Siapa yang menguasai keduanya, ia akan agung di Madura.
Saya menyebut fenomena-fenomena Caleg demikian sebagai pembodohan massal di Madura. Dengan abainya masyarakat akan politik—khususnya Pileg. Para Caleg sebenarnya cuma peduli dengan diri mereka sendiri. Ya sikap abai masyarakat ini sebenarnya merupakan bentuk protes paling murni saja.
Mereka aja kalau jadi Wakil Rakyat nggak mikirin kita kok, ngapain saat Pileg kita disuruh mikirin mereka lewat baliho di pinggir jalan sih? Pacar bukan, selingkuhan bukan. Segitunya ya kalau mau bikin sampah untuk cari perhatian.
Sebab, ya selama berpuluh-puluh tahun Pemilu di selenggarakan di tanah Madura, para Caleg akan bergerilya dengan tawaran kemajuan daerah dengan kebijakan yang nanti pas-pasan aja. Pas untuk dirinya, pas untuk trah keluarganya, atau pas untuk timsesnya.
Lalu masyarakat Madura di Dapil si Caleg yang sebelumnya dikunjungi saban seminggu sekali saat kampanye gimana?
Ya, tetap berjualan jamu tradisional, buka warung, jualan besi kiloan, atau yang paling banter kayak saya, masih berkutat dengan setumpuk revisian skripsi biar nanti bisa dijual kiloan lagi kertasnya.