Bukti Indonesia Udah Gila: Sekolah Kedinasan Dapat Anggaran 104 Triliun, ketika Sekolah Formal dengan 62 Juta Pelajar Cuma Dapat Nasi Bungkus

Sekolah Kedinasan Disuapi Anggaran 104 Triliun. Negara Gila! MOJOK.CO

Ilustrasi Sekolah Kedinasan Disuapi Anggaran 104 Triliun. Negara Gila! (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSekolah kedinasan dapat anggaran Rp104 triliun, sementara sekolah formal cuma Rp92 triliun. Ini negara atau startup salah target pasar, sih?

Kita perlu ngobrol serius. Baru-baru ini DPR RI dari Komisi X bikin usulan yang memicu banyak perdebatan. Mereka mengusulkan kalau sekolah kedinasan sebaiknya nggak sepenuhnya gratis lagi. Selain itu, setelah siswa dan siswi mereka lulus, wajib tes CPNS. Tujuannya untuk menghilangkan status eksklusif sekolah kedinasan.

Hal lain yang menarik menjadi sorotan adalah anggaran sekolah kedinasan. Tapi tulisan ini bukan cuma semata “soal anggaran”. Kita bicara soal keadilan anggaran, distribusi sumber daya, dan nasib pendidikan nasional.

Buat kamu yang belum tahu, sekolah kedinasan adalah sekolah tinggi yang dikelola oleh instansi pemerintah. Misalnya seperti STAN, IPDN, STMKG, dan sejenisnya. 

Nah, negara membiayai penuh pendidikan mereka, masih dapat uang saku, dapat fasilitas, dan setelah lulus bisa diangkat jadi PNS. Ya, intinya mereka tinggal terima beres tanpa harus mencari kerja lagi.

Nah, di balik glamornya fasilitas itu, terselip satu fakta yang mengganggu sekaligus menyakitkan. Kalian tahu anggaran sekolah kedinasan itu berapa? Sini saya kasih tau. 

Jadi, anggaran untuk sekolah kedinasan di 2024 mencapai Rp104 triliun, khusus untuk 13 ribu mahasiswa. Sementara itu, untuk 62 juta pelajar di sekolah formal (dari SD sampai perguruan tinggi), alokasinya cuma Rp92 triliun.

Yuk, kita hitung. Sekolah kedinasan: Rp104.000.000.000.000 ÷ 13.000 orang = Rp8 miliar per mahasiswa. Sekolah formal: Rp92.000.000.000.000 ÷ 62.000.000 orang = Rp1,48 juta per siswa. Negara jor-joran buat segelintir, tapi irit pol buat mayoritas. 

Sekolah kedinasan makan 30% dari anggaran pendidikan? Ini bukan miskalkulasi, tapi ketimpangan!

Secara konstitusional, 20% APBN wajib untuk sektor pendidikan. Sekitar Rp665 triliun dari total APBN Rp3.325 triliun (2024). Dari jumlah itu, Rp104 triliun (±15,6%) dikucurkan ke sekolah kedinasan saja.

Kalau ditarik ke porsi 20% wajib pendidikan, maka sekolah kedinasan itu menyerap hampir 30% dari seluruh anggaran pendidikan nasional. Padahal mereka cuma 0,02% dari total peserta didik nasional.

Sedangkan 99,98% sisanya harus berebut 70% lainnya buat gaji guru, rehab sekolah, pengadaan internet, alat belajar, sampai subsidi kampus. Sekolah kedinasan yang menyebabkan biaya UKT melonjak tinggi dan sekolah gratis itu hanya narasi. 

Narasi gratisan bagi yang “kaya”?

Gratisnya sekolah kedinasan memang terdengar manis dan terkesan pemerintah peduli akan pendidikan. Tapi, penting untuk kritis. Contoh saja sebenarnya, siapa sih yang seharusnya menikmati “gratisan” itu? 

Banyak yang masuk sekolah ini justru dari latar ekonomi menengah ke atas. Masuknya pun nggak mudah perlu bimbel mahal, try out, dan buku-buku persiapan yang harganya lumayan.

Di sisi lain, anak-anak di pelosok negeri yang sekolahnya masih pakai papan tulis dari triplek dan bangku bolong cuma dapat serpihan anggaran. Beasiswa juga sering tersangkut birokrasi, nggak sampai ke targetnya. 

Subsidi yang seharusnya membantu yang tertinggal, malah memperkuat yang sudah di depan. Ini bukan pendidikan yang adil. Ini affirmative privilege bentuk diskriminasi era “penjajahan” yang masih dipertahankan.

Baca halaman selanjutnya: Ini bukan ketimpangan, tapi ketidakadilan!

DPR yang ini nggak asal bacot: Mereka ajak kita hitung ulang skala prioritas

Baru kali ini sebenarnya saya sepakat sama usulan DPR ini. Karena saya menilai apa yang mereka sampaikan ada benarnya.

Ketika rapat kerja dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, DPR sempat mempertanyakan urgensi dari anggaran yang sebesar itu bagi 13 ribu mahasiswa sekolah kedinasan. Usulan DPR bukan berarti anti-PNS. Justru mereka mengajak kita ngaca dan berpikir kritis, “Mau negara maju? Bagi dong anggarannya adil.” 

Banyak yang salah tangkap terhadap pernyataan ini. Katanya, usulan ini dianggap mengorbankan sekolah kedinasan. Tapi, ini bukan mengorbankan, ini hanya bentuk keadilan. 

Re-alokasi anggaran Rp104 triliun sekolah kedinasan itu penting. Misalnya, anggaran tersebut dibagi adil untuk SD, SMP, SMA, dan kampus negeri. Khususnya yang ada di daerah Terdepan, Tertinggal, Terluar (3T). Pembagian ini saya yakin bisa membantu negara mengurangi kesenjangan pendidikan. 

Maksudnya tuh sederhana saja. Jangan cuma jago memanjakan yang 13 ribu, tapi lupa merawat 62 juta sisanya. 

Negara yang maju secara pendidikan nggak segila ini

Negara-negara dengan sistem meritokrasi kuat kayak Jerman, Finlandia, atau Belanda, justru memprioritaskan anggaran buat sistem sekolah umum dan vokasi. Sekolah kedinasan mereka ada, tapi dananya proporsional. 

Pemerintah juga bikin skema adil, misalnya program kerja ikatan dinas pascakuliah, bukan langsung digaji besar saat kuliah. Singkatnya, di luar negeri itu pendidikan adalah hak kolektif. Di sini, pendidikan elitis bisa jadi tiket eksklusif. Kebayang bukan seberapa mundurnya sistem pendidikan negara kita ini?

Pembelaan mahasiswa sekolah kedinasan: “Kita juga bukan musuh!”

Beberapa mahasiswa sekolah kedinasan di media sosial menyuarakan keresahan. Mereka merasa dipukul rata. Seolah-olah mereka adalah “anak emas negara” yang manja. 

Padahal, banyak juga di antara mereka yang kerja keras, dari desa kecil, dan lolos murni karena otaknya encer. Itu valid. Tapi yang kita persoalkan bukan individu, tapi struktur kebijakan yang timpang. Itu substansi yang nggak mereka pikirkan. 

Ini mau jadi bangsa cerdas atau bangsa yang disaring? 

Sebenarnya, ini saatnya kita sebagai generasi yang kritis bertanya ke negara “Mau mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia atau cuma mencetak elite birokrat saja?”

Pendidikan itu bukan cuma buat jadi ASN. Pemuda kita butuh skill lintas bidang digital, sosial, kewirausahaan, terutama teknologi yang kian maju secara pesat. Tapi semua itu nggak mungkin dicapai kalau sistemnya masih timpang. Gimana mau wajib belajar 12 Tahun (Menurut RUU SISDIKNAS terbaru) secara gratis kalau anggaran nggak ada.

Kalau negara cuma membangun benteng buat segelintir orang pintar dan orang yang butuh akses dipinggirkan, kita nggak sedang menuju “Indonesia Emas”. Kita sedang bikin “Indonesia Elite”. 

Nyatanya, hal seperti ini sangatlah tidak adil, bayangkan saja berapa banyak anak putus sekolah atau kuliah akibat biaya yang terlalu mahal. Di sisi lain, hak mereka dipakai untuk membiayai anak dari sekolah kedinasan yang rata-rata dari latar belakang “keluarga mampu”.

Waktunya ganti kacamata

Aslinya, gratisan itu keren, asal adit. Tapi, kalau cuma dinikmati segelintir dan dibayar oleh banyak yang kesulitan, itu bukan keadilan tapi sistem bobrok berseragam. Usulan DPR ini bukan akhir, tapi trigger buat diskusi serius dan harus ditanggapi dengan kritis.

Apakah anggaran pendidikan kita benar-benar mencerminkan keadilan sosial? Atau kita cuma terus bikin ilusi meritokrasi yang sebenarnya cuma berpihak ke yang punya akses? 

Guys, saatnya ikut try change. Tunjukan bahwa bangsa atau sebuah negara itu dikelola oleh bersama bukan hanya yang berkuasa. Res publica, res Nostra.

Penulis: Abdul Rauf

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Sisi Suram Sekolah Kedinasan, Senioritas Masih Kental hingga Nggak Boleh Kristis sama Negara dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version