Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Pengalaman Mencicipi Sarkem Jogja untuk Kali Pertama dan Merasakan Sensasi Berbeda di Lokalisasi Legendaris: Bong Suwung

Khoirul Fajri Siregar oleh Khoirul Fajri Siregar
10 Maret 2024
A A
Sarkem Jogja dan Legenda Lokalisasi Kelas Bawah Bong Suwung MOJOK.CO

Ilustrasi Sarkem Jogja dan Legenda Lokalisasi Kelas Bawah Bong Suwung. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sarkem Jogja adalah legenda. Namun, tahukah kamu, tidak jauh dari Sarkem, ada Bong Suwung, lokalisasi kelas bawah dengan rasa yang berbeda. 

Tahun 1997 adalah saat kali pertama saya menginjakkan kaki di Jogja. Saat itu, saya sama sekali tidak memiliki teman sebaya. Yang saya kenal hanya keluarga ipar dari kakak. Mereka berbaik hati membantu saya, yatim piatu, untuk sekolah di SMA Tiga Maret, di Jalan Gejayan, Sleman.

Merasakan culture Shock, kesepian, serta kaget dengan perbedaan Kota Palu dan Jogja membuat saya merasa sangat kesepian. Hingga akhirnya saya yang saat itu tinggal di pertigaan jalan Demangan-Jalan Solo (timur LPP), menghabiskan waktu bermain Ding Dong yang menggunakan koin 100 perak. 

Sebenarnya saya sudah bersekolah di SMA 1, sebuah sekolah favorit di Kota Palu. Tapi, entah bisikan setan atau lingkungan yang membosankan, saya akhirnya berkata kepada kakak perempuan saya kalau saya ingin sekolah di Jawa, di Bandung atau Jogja. 

Kakak perempuan mengizinkan keinginan saya. Namun, saya harus mengulang tahun ajaran baru. Singkat cerita, saya berangkat ke Jawa naik kapal KM. TIDAR dan turun di Surabaya. Dari sana, saya istirahat di Jogja. Setelah itu, saya menuju Bandung untuk mencari sekolah dan pilihan yang ada waktu itu adalah SMA Nasional.

Menurut saya, SMA Nasional justru akan memperburuk keadaan. Bukannya tekun belajar, mungkin ketika kelas 3 saya sudah menghamili anak orang. Lantaran merasa kurang cocok, saya memutuskan sekolah di Jogja saja dan SMA Tiga Maret menjadi pilihan. Yah, bukannya sekolah dengan benar, tapi hampir 2 bulan saya selalu bolos sekolah. Saya lebih memilih keliling Jogja naik bus kota sampai jam pelajaran selesai.

Mas Tembong yang “membuka” Jogja untuk saya 

Dalam situasi seperti itu, saya ingat betul kos abang saya di daerah Iromejan, Jalan Solo. Selama awal tinggal di Jogja, setiap hari, saya berjalan kaki ke sana. Saya nongkrong sampai lupa waktu.

Nah, di kos itulah saya berkenalan dengan seorang mahasiswa yang usianya antara 25-27 tahun ketika itu. Namanya Tembong, asli Wonosobo. Anak-anak kos lain mewanti-wanti saya, yang masih berusia 16 tahun, supaya jangan mau diajak jalan berdua sama Mas Tembong karena pasti ujungnya maksiat. 

Namun, entah kenapa, saya malah bisa akrab dengan Mas Tembong. Oleh sebab itu, saya mau saja ketika Mas Tembong mengajak saya nongkrong.

Misalnya, suatu kali, dalam keadaan sadar, kami mendatangi Takasimura di Jalan Solo. Karena “biasa saja” dan tidak ada yang menarik, kami bergeser ke Karoaku di Terban. Sekitar 1 jam di sana, Mas Tembong menghabiskan 1 shot whiskey dan segelas botol bir kecil. Sementara saya memesan strawberry smoothies. 

Tiba-tiba dia bertanya apakah saya pernah berhubungan intim. Saya terdiam, menatapnya lama lalu mengangguk perlahan. Dia lanjut bertanya, “Mau yang dekat dan murah atau jauh dan mahal?” 

Saya melongo, ragu, tapi sebuah anggukan ajakan dari mas Tembong akhirnya membawa kami menelusuri Terban-Mangkubumi dan berhenti di sebuah gapura yang kalau tidak salah berwarna hijau kusam. Di sebelahnya ada penjual angkringan yang memperhatikan kami melangkah masuk gang itu. Sarkem Jogja, untuk kali pertama.

Masuk Sarkem Jogja untuk kali pertama

Nah, ini namanya lokalisasi Sarkem, kedua terbesar setelah SG. Hah? SG? Apa itu? dalam hati saya. Kami berkeliling sekitar 10 sampai 15 menit melihat jejeran PSK yang ramai seperti sedang sepi pelanggan. Memang, malam itu, atau di saat itu, Sarkem Jogja tidak seramai sekarang. Masih ada pula sudut-sudut kumuh yang kadang ada tumpukan sampah dan gang-gang sempit gelap untuk memotong jalan yang berbau pesing. 

Beberapa saling bercanda. Ada yang kadang dengan genit menyentuh tangan saya. Lalu, ada juga yang sudah berumur berkata “Ya ampun, le, ra sekolah po sisuk?” 

Iklan

Mas Tembong masih berputar-putar, hingga akhirnya menemukan “tambatan kelamin”. Seorang PSK muda pemalu, tapi senyumannya sungguh tidak membosankan. Mirip seperti gadis-gadis manis pemalu yang menjadi figuran di film-film Warkop DKI. Mereka akhirnya masuk ke sebuah bilik dengan wajah Mas Tembong yang terlihat semakin sumringah, mesum, dan sedikit lagi tahi lalat di hidungnya seperti mau meledak saking bernafsunya. 

Saya menunggu sekitar 15 sampai 20 menit di luar. Duduk di kursi semen di pinggiran gang yang difungsikan sebagai “ruang tunggu”. Tiap kali ada yang lewat, pipi saya yang belum jerawatan ini beberapa kali disentuh. Bahkan ada 1 atau 2 PSK Sarkem Jogja yang berkata gini, “Nunggu di dalam aja, sini, 25 aja udah sama kamar.” 

Saya teringat uang di dompet hanya tersisa 10 ribu. Meski pernah punya pengalaman di Palu, di lokalisasi Tondo, saya belum pernah menawar seorang PSK di tempat asing seperti Sarkem Jogja ini. 

Tapi akhirnya uang 10 ribu itu terpakai juga. Mas Tembong yang belum merasa puas, dan meminjam uang yang saya bawa. Sialnya, selesai dari situ, kami sama sekali tidak punya uang tunai untuk membayar parkir. Akhirnya, 4 batang Marlboro merah milik Mas Tembong diberikan kepada tukang parkir sebagai ganti uang sambil mengucapkan nyuwun ngapunten yang waktu itu tidak saya mengerti apa artinya. 

Baca halaman selanjutnya: Lokalisasi legendaris vs prostitusi kelas bawah di Tugu Jogja.

Halaman 1 dari 2
12Next

Terakhir diperbarui pada 10 Maret 2024 oleh

Tags: bong suwungbong tugu jogjaJogjalokalisasi di jogjalokalisasi sarkemsarkemsarkem jogjatugu Jogja
Khoirul Fajri Siregar

Khoirul Fajri Siregar

Supir wisata yang sesekali menulis di bolehmerokok.com. Jebolan empat universitas ternama di Yogyakarta.

Artikel Terkait

Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO
Esai

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Ragam

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO
Liputan

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Peringatan Hari Monyet Ekor Panjang Sedunia di Jogja. MOJOK.CO
Bidikan

Pilu di Balik Atraksi Topeng Monyet Ekor Panjang, Hari-hari Diburu, Disiksa, hingga Terancam Punah

15 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Sirilus Siko (24). Jadi kurir JNE di Surabaya, dapat beasiswa kuliah kampus swasta, dan mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola amputasi MOJOK.CO

Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

16 Desember 2025
Riset dan pengabdian masyarakat perguruan tinggi/universitas di Indonesia masih belum optimal MOJOK.CO

Universitas di Indonesia Ada 4.000 Lebih tapi Cuma 5% Berorientasi Riset, Pengabdian Masyarakat Mandek di Laporan

18 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
elang jawa.MOJOK.CO

Raja Dirgantara “Mengudara”, Dilepasliarkan di Gunung Gede Pangrango dan Dipantau GPS

13 Desember 2025
Elang Jawa terbang bebas di Gunung Gede Pangrango, tapi masih berada dalam ancaman MOJOK.CO

Elang Jawa Terbang Bebas di Gunung Gede Pangrango, Tapi Masih Berada dalam Ancaman

13 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.