MOJOK.CO – Menurut Yuval Harari, melalui buku Sapiens, manusia menciptakan fiksi dengan tujuan utama mempertahankan kelangsungan hidup homo sapiens.
Bagi Yuval Noah Harari, sebagaimana dia tulis di bukunya, Sapiens, juga buku-buku lain serta esai-esai dan ceramah-ceramahnya: uang, imperium, agama, ideologi, dan moralitas adalah “fiksi”. Menurut sejarawan asal Israel itu, manusia menciptakan fiksi dengan tujuan utama mempertahankan kelangsungan hidup homo sapiens.
Tetapi, apa itu fiksi?
Harari menyebut “fiksi”—dia juga sering memakai istilah lain tapi dimaksudkan untuk makna yang sama seperti “mitos” atau “realitas yang dibayangkan”—tanpa penjelasan mendalam, seolah-olah maknanya sudah jelas bagi pembaca tanpa perlu didefinisikan. Padahal tidak.
Harari tidak menyediakan penjelasan secara langsung mengenai apa pandangan-dunia yang dia ikuti sehingga konsepsinya yang melahirkan gagasan tentang “fiksi” itu benar.
Maksud saya begini: umumnya orang, dengan berbekal common sense, akan bilang bahwa uang dan negara itu ya riil. Indonesia ini nyata ada. Nilai uang rupiah riil ada. Umumnya orang akan berkata baik-jahat sebagai kategori moral ada. Ketika hal yang ada dibilang tidak ada, berarti orang itu bohong. Kok disebut fiksi?
Deskripsi semacam itu hanya lahir bila didasari suatu konsepsi. Nah, apa alasan pembenar—atau, kalau ingin memakai istilah yang agak keren, justifikasi ontologis—bahwa hal-hal di atas itu fiksi belaka dan konsepsi yang mendasarinya itu benar adanya?
Karena kurangnya penjabaran itulah muncul beragam pemahaman apa makna “fiksi” yang dimaksud Harari. Saya mendaftar sedikitnya ada tiga tafsir yang beberapa kali saya temui dalam diskusi di media sosial.
Tafsir pertama, berdasar common sense: Fiksi adalah lawan kata dari fakta. Mitos lawan kata dari kenyataan.
Kalau orang mau mengklarifikasi apakah suatu peristiwa benar terjadi, yang ia tanyakan adalah apakah peristiwa itu fakta atau fiksi, kenyataan atau mitos. Bila ternyata dari hasil klarifikasi didapati bahwa peristiwa itu tidak terjadi, berarti klaim atas terjadinya peristiwa itu adalah bohong.
Kalau kamu buka kamus Merriam-Webster atau KBBI, makna dari entri “fiksi” akan senada: cerita rekaan, khayalan, imajinasi, ilusi, dan semacamnya. Kalau kamu ke toko buku lalu pergi ke rak buku-buku fiksi, yang akan kamu temui adalah buku-buku yang isinya cerita rekaan penulisnya.
Penjelasan ini terlalu menyederhanakan? Memang. Saya mengetengahkan ini semata karena dalam diskusi di medsos saya menjumpai orang-orang yang menggunakan buku Harari sebagai amunisi untuk mendeligitimasi agama (sering sambil melupakan contoh uang, imperium, dan ideologi yang Harari sebut sebagai fiksi juga).
Ketika sejumlah orang tertentu bilang “agama itu fiksi” dengan nada yang kental nuansa permusuhannya, makna yang ia kehendaki adalah: “agama adalah cerita rekaan manusia; Tuhan tidak ada; keyakinanmu itu ilusi; dan kalian orang-orang beragama menyembah hal yang tidak ada.”
Tetapi saya berusaha berbaik sangka bukan itu yang dimaksud Harari. Di Sapiens dia bilang, “Realitas yang diimajinasikan bukanlah dusta, sebab semua kelompok mempercayainya.”
Tafsir saya atas kalimat ini ialah, dusta bukan diukur dengan mengonfrontasikan antara klaim seseorang dengan kenyataan. Bagi Harari, “dusta” bukanlah dusta bila semua orang mempercayainya, terlepas ia sesuai dengan realitas objektif atau tidak.
Dengan kata lain, penilaian “dusta” itu sendiri adalah konstruksi sosial. “Dusta” adalah bagian dari fiksi sebagaimana dimaksud Harari itu sendiri.
Baiklah, dengan asumsi bahwa figur sehaibat Harari tidak mungkin berpikir se-trivial itu, dan saya sendiri juga bukan orang yang memperlakukan KBBI bak kitab suci, kita bedah opsi penjelasan lain.
Tafsir kedua: Fiksi adalah hal-hal yang tidak mengandung realitas objektif.
Penjelasan paling enak mengenai ini bisa dijumpai dalam satu ceramah Harari di TEDtalk. Berikut saya kutipkan bagian yang relevan, ketika dia bilang bahwa hak asasi manusi (HAM) itu fiksi:
“HAM, seperti Tuhan dan surga, hanyalah cerita yang kita ciptakan. Ia bukan realitas objektif, juga bukan efek biologis dari homo sapiens. Coba bedah tubuh seseorang, tiliklah ke dalamnya. Akan kamu temukan jantung, ginjal, neuron, hormon, DNA, tetapi tidak akan kamu jumpai HAM sama sekali. Satu-satunya tempat kamu bisa temukan HAM hanyalah dalam cerita yang kita ciptakan dan sebarkan.”
Tampak jelas, realitas objektif yang dimaksud Harari adalah realitas material. HAM tidak ada wujudnya secara material, dan karena itu bukan realitas objektif, atau dengan kata lain: fiksi. Advokasi atas HAM, dengan demikian, adalah aktivisme memperjuangkan fiksi.
Dalam kerangka pikir ini, ideologi-ideologi dan gagasan moral adalah fiksi. Liberalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, dsb, adalah fiksi.
Kalau ada orang Marxis bilang bahwa Marxisme adalah “sosialisme yang saintifik”, bagi Harari itu fiksi. Kalau ada orang liberal bilang otonomi individu adalah hak inheren atau bahkan self-evident, bagi Harari itu fiksi.
Sebagaimana HAM juga fiksi, gagasan mengenai keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, dan gagasan lain yang mendasari suatu moral adalah fiksi pula.
Cinta adalah fiksi, sebab yang objektif hanyalah interaksi neuron-neuron dalam otak hasil dari proses seleksi alam yang berdampak pada manusia yang ingin melangsungkan hidup dengan bereproduksi.
Dengan kalimat lain, ketika seorang Hararian menyatakan cinta, acuan makna objektif yang ia maksud ialah hasrat seks belaka.
Lantas apa yang salah dari hal ini?
Kalau kamu seorang materialis radikal, tidak ada yang salah. Tapi kalau kamu bukan demikian, sebagaimana saya juga bukan demikian, paham materialisme yang demikian ini mereduksi pengalaman kemanusiaan yang kompleks.
Bila Marxis bilang “sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas”, saya ingin memparafrasenya untuk Harari: “sejarah manusia ialah sejarah cerita yang diciptakan untuk menopang survival, reproduksi, dan kehendak untuk menguasai.”
Apa yang hilang dalam narasi yang demikian?
Karena saya bukan seorang materialis, saya ingin mengajak Anda yang juga bukan seorang materialis untuk berpandangan bahwa narasi Harari itu mengabaikan sejarah manusia akan pencarian makna hidup, yang saya (sebagai orang beragama) meyakininya inheren dalam fitrah manusia.
Agama, ideologi-ideologi, dan moralitas adalah jenis-jenis jawaban atas pencarian makna itu, yang tidak bisa hanya dijelaskan dari kerangka dorongan biologis dalam diri manusia.
Makna itu bukan diciptakan (invented), tetapi ditemukan (discovered). Ketika orang meneliti atau memikirkan mengenai apa yang “benar” dan apa yang “baik”, dan kemudian mendapatkan jawabannya. Ia tidak sedang menciptakan jawaban itu lalu ia reka dalam suatu cerita (fiksi, mitos); ia menemukannya sebagai suatu kebenaran/kebaikan.
Di samping itu, benarkah semua neurosaintis dan para filsuf yang sudah bertungkus lumus menjelaskan apa hakikat pikiran dan kesadaran dalam manusia sepakat bahwa pikiran dan kesadaran manusia bisa direduksi dalam penjelasan material-kimiawi dalam otak? Saya meragukannya, dan untuk menjawabnya butuh tulisan panjang tersendiri.
Tafsir ketiga, yang merupakan lanjutan dari tafsir kedua, tapi sedikit lebih radikal: bagi Harari, fiksi pada pokoknya adalah semua hal yang tidak memiliki wujud material.
Dengan definisi ini, ide adalah fiksi. Bahasa, karena tak memiliki wujud material, adalah fiksi. Semua ilmu yang dikaji dalam departemen ilmu sosial-humaniora adalah fiksi. Jangan-jangan sains juga fiksi—gravitasi tidak ada wujud materialnya (coba tunjukkan wujudnya seperti apa). Lebih-lebih filsafat, yang menjadi pondasi dari ilmu-ilmu yang dikaji di universitas—ia adalah fiksi-nya fiksi-fiksi, alias meta-fiksi.
Karena filsafat adalah mbah-nya fiksi, paham materialisme itu juga fiksi. Logika, yang mendasari aktivitas filsafat tapi tak memiliki wujud material, juga adalah fiksi.
Ini tentu saja termasuk logika yang memungkinkan Harari menulis buku Sapiens. Kalau logika saja fiksi, apalagi hasil pemikirannya. Artinya, judul buku Sapiens: A Brief History of Humankind bisa dibaca sebagai Sapiens: A Fictional Story of Humankind.
Kamu tak sepakat dengan tafsir-tafsir ini? Boleh, silakan ajukan tafsir lain. Tetapi baiknya tidak lupa, mungkin Harari akan bilang bahwa tafsir apapun yang kamu ajukan itu juga adalah fiksi.
BACA JUGA Apakah Zina Harus Selalu Diatasi dengan Hukum Pidana? atau tulisan Aziz Anwar lainnya.