MOJOK.CO – Dari feminisme, perempuan sekarang bisa bebas pakai celana, di sisi lain laki-laki dari dulu sampai sekarang nggak pernah bisa bebas kalau mau nangis.
Coba amati, pada tiap kasus yang potensial disangkut-pautkan dengan feminisme, ada saja yang tiba-tiba menjadi pasif agresif. Utamanya adalah para laki-laki yang anti-gerakan feminis.
Saya terakhir kali melihat fenomena unik nan menakjubkan ini pada kasus komentar netizen perempuan ke Jonathan Christie. Komentar para perempuan tersebut dijadikan bahan untuk menyindir para aktivis feminis.
Jujur saja, awalnya saya takjub-takjub jengkel dengan fenomena itu. Kalau fans Jojo merasa rahimnya hangat kala melihat idolanya, saya merasa kepala saya hangat saat melihat kesinisan laki-laki pada gerakan feminis itu.
Namun makin dipikir, saya malah jadi terhibur sendiri. Sebabnya, kesinisan para laki-laki tersebut justru memperlihatkan pada kita bahwa ternyata selama ini mereka punya dendam kesumat yang demikian besar. Padahal, katanya, yang suka mendendam itu perempuan, lho. Hayo.
Dari kalangan yang memiliki sikap seperti ini, saya juga sering mendengar sebuah ungkapan klise bahwa saat ini feminisme sudah kebablasan. Perempuan sudah ngelunjak. Mereka biasanya menambahkan kasus-kasus “kebiadaban dan kebodohan perempuan” untuk mendukung argumennya.
Jadi, karena ada wanita yang bodoh lagi biadab, feminisme harusnya dikhatamkan. Titik.
Ada perempuan melakukan pembunuhan? Itu pasti salah feminisme. Ada perempuan nyopet? Lagi-lagi itu karena feminisme. Ada politisi perempuan korupsi? Astagfirullah akhi, ini gara-gara feminisme!
Lalu kalau perempuan berprestasi? Anehnya yang ini tidak mereka kaitkan dengan feminisme.
Akan tetapi, dari semua alasan absurd yang saya temukan, ada juga sebuah gerutan yang menurut saya sangat jujur. Yang satu ini saya dapati dari kawan saya sendiri.
Kawan saya ini pernah berkata bahwa feminisme hanya memedulikan perempuan. Feminisme hanya bicara hak-hak perempuan, dan tidak membicarakan hak laki-laki. Padahal, menurutnya, laki-laki pun punya banyak masalah.
“Kok bisa bicara soal perempuan terus tapi tak bicara soal laki-laki?” protesnya.
“Perempuan sudah bisa sekolah, pakai celana, tapi laki-laki, pakai rok aja diketawain?”
Meski mulanya saya tergelak mendengar omongannya, tapi akhirnya saya merasa teman saya ada benarnya. Banyak benarnya malah.
Misalnya pada kasus yang lebih serius, saat kita bicara soal kehidupan pernikahan, apa kita bicara soal beban pencari nafkah yang harus ditanggung pria? Padahal itu berat, lho. Yang dihadapi pada laki-laki dalam dunia patriaki adalah kapitalisme. Kalau jadi buruh lalu demo pun nanti bakalan dihina-hina sejuta umat, disuruh jadi pengusaha semuanya.
Teman saya tersebut juga pernah curhat ke saya bahwa laki-laki sering dihina kalau terang-terangan menangis. Dengan kata lain, dari kecil, laki-laki diajarkan untuk kerad pada dirinya.
Saking mewabahnya ajaran ini, berita Pak SBY yang menangisi kepergian istrinya pun dianggap sesuatu yang “wah” dan dijadikan mim di mana-mana. Dan karena ajaran kerad sejak kecil inilah, para laki-laki menjadi sok kerad ketika dewasa dan berhadapan dengan dunia.
Tak bisa lain, saya sepakat 100% dengan kawan saya, dan saya pun mendukung laki-laki untuk tidak dianggap sebagai ATM berjalan atau harus sok kerad.
Ingin sekali saya menepuk bahu kawan saya itu dan memberinya semangat, “Wis (namanya Wisnu), kamu juga boleh nangis kok. Kamu bebas pakai rok. Insyaallah nggak aku ketawain. Dan kamu juga jangan mau dijadiin ATM berjalan sama istrimu. Kamu itu manusia, bukan mesin.”
Sayang, kami sudah lama tak bertemu dan orangnya sendiri telah menemukan kedamaian dalam sarung sehingga lupa masalah hak memakai rok.
Cuma (ada cumanya nih) laki-laki sendiri jarang membicarakan masalahnya dengan jujur. Mereka lebih sering sinis ketika perempuan bicara soal haknya. Satu kata dari sifat itu, “nyebelin.” Nyebelin banget.
Dan yang makin kacau lagi, para laki-laki jelas tak bisa mengandalkan perempuan untuk bicara hak-haknya. Sindiran mereka bahwa feminisme hanya bicara perempuan saja itu tak mashook kalau mereka sendiri tak mulai bersuara.
Mana bisa laki-laki berharap perempuan bicara soal pengalaman diskriminasi yang dialami laki-laki? Kalaupun bisa, pasti susah. Laki-laki sendirilah yang harus bicara soal hak-hak dan pengalaman diskriminasinya.
Alasannya sederhana, laki-laki dan perempuan meski hidup di dunia yang sama, tapi punya pengalaman gender yang berbeda.
Makanya saya tak habis pikir, ada apa dengan laki-laki kok mereka tak bicara soal haknya saja tanpa harus sinis dan sarkas?
Boleh lho dimulai sekarang juga asalkan tidak malah membuat perempuan tertindas. Maksudnya, hak-haknya itu ya bukan hak yang menindas perempuan. Para lelaki perlu memperjuangkan hak yang susah mereka dapatkan di dunia patriarki hanya karena bias gender, misalnya:
- Bebas pakai baju pink tanpa perlu takut diketawain.
- Bebas nyium-nyium bunga semerbak wangi tanpa dipandang seperti alien baru turun dari langit.
- Bebas nangis.
- Bebas pakai bando cantik hello kitty.
- Bebas dari tuntutan harus jadi pencari nafkah yang bikin stres berkepanjangan.
- Bebas jadi bapak rumah tangga tanpa perlu khawatir dirasani tetangga.
- Bisa mendapatkan buket bunga, bukan ngasih buket bunga terus.
- Ditraktir waktu kencan, dan bukannya nraktir mulu.
Kalau perlu, cabang feminisme “laki-laki bebas pakai bando Hello Kitty” yang seperti ini ditekuni lebih lanjut. Utamanya bagi kalangan pasif agresif terhadap feminisme kekinian.
Dan saya sih optimis, gerakan seperti ini bisa memberikan dampak yang sangat bagus untuk perempuan. Soalnya, menurut saya, seringkali sumber penderitaan wanita adalah sifat sok kerad laki-laki.
Misalnya saja, fenomena laki-laki yang seenaknya bercanda soal kasus pemerkosaan. Empati mereka kurang, dan sering beralibi “laki-laki menggunakan logika, bukan perasaan.”
Padahal IQ-nya sendiri jeblok. Bayangkan bagaimana caranya menghadapi makhluk bodoh nir nurani seperti ini? Kan susah. Makanya, bagaimanapun juga laki-laki harus disadarkan bahwa mereka tertindas dalam patriarki. Mereka perlu pembebasan.
Hanya memang, pembebasan laki-laki memiliki jenis kesulitan yang berbeda dengan pembebasan perempuan. Perempuan feminis berjuang melawan hukum untuk bisa memperoleh sesuatu yang dianggap prestasi besar di masyarakat.
Jadi pemimpin, misalnya. Meski kadang harus berhadapan dengan gerakan radikal seperti taliban. Sedangkan laki-laki, kadang usaha pembebasannya justru dianggap absurd dan dijadikan bahan tertawaan.
Ya misalnya soal pakai bando ini. Tapi sampai kapan laki-laki mau berdiam diri dan bersifat pasif agresif? Laki-laki tetap perlu pembebasan demi kesehatan mental dan jiwa mereka sendiri, para perempuan, dan dunia secara umum.