MOJOK.CO – Wasekjen PAN usulkan rumah sakit khusus pejabat di masa pandemi. Katanya, pejabat harus diistimewakan. Setuju sih ini.
Saya tidak punya pengalaman yang cukup intens dengan rumah sakit. Kali pertama—dan semoga terakhir—saya berkunjung ke tempat itu adalah memperbaiki tiga gigi yang rompal karena kecelakaan motor, beberapa bulan lalu.
Setelah bolak-balik untuk perawatan saluran akar, saya tak mendapatkan kesan mendalam, kecuali mengamini jokes kodian bapak-bapak bahwa ruang paling menyeramkan di sana adalah ruang kasir. Tidak tanggung-tanggung, pada kasus saya biayanya hampir setara uang kuliah selama tiga semester.
Hingga hari ini imajinasi saya pada rumah sakit selalu berpaut pada dua hal, lagu “Ambulan Zig-zag” dari Iwan Fals dan esai panjang George Orwell berjudul “How the Poor Die” (diterjemahkan menjadi ‘Bagaimana si Miskin Mati‘ oleh Widya Mahardika Putra).
Pada Iwan Fals, saya menemukan perlakuan kontradiktif terhadap pasien miskin dan kaya, dipungkasi dengan jeritan “Hei modyar aku… Hei modyar aku…”. Sementara pada Orwell, ada banyak kisah tragis dengan sisipan humor yang autentik, ketika ia mengalami perawatan di suatu rumah sakit, seperti ini misalnya:
“Seorang penipu terkenal, Madame Hanaud, yang sakit saat dalam tahanan, dibawa ke Rumah Sakit X. Setelah beberapa hari dia berusaha kabur dengan mengecoh penjaga rumah sakit, kemudian naik taksi dan kembali ke penjara, sebab dia lebih nyaman di sana.”
Berangkat dari persepsi itu, ketika santer terdengar ide cemerlang dari Wasekjen PAN, Bu Rosaline Irene Rumaseuw, agar pemerintah membuat rumah sakit khusus pejabat, saya langsung setuju tanpa pikir panjang.
“Saya minta perhatian kepada pemerintah, bagaimana caranya harus ada rumah sakit khusus buat pejabat negara. Segitu banyak orang dewan kok tidak memikirkan masalah kesehatannya,” kata Bu Rosaline.
“Kementerian Kesehatan harus sudah mulai waspada karena pejabat negara ini harus diistimewakan, dia ditempatkan untuk memikirkan negara dan rakyatnya. Bagaimana sampai dia datang ke emergency terus terlunta-lunta,” lanjut Bu Rosaline dengan sangat brilian.
Ini adalah momen yang tepat untuk mengubah persepsi tentang rumah sakit yang selalu menyeramkan di mata saya. Sebab di rumah sakit khusus pejabat ini tidak akan kita temukan jeritan penuh iba, “heiii modyar aku.. hei modyar aku…,” dari seorang pasien miskin.
Dan dengan segala kenyamanannya, tidak akan ada seorang penipu kelas kakap seperti Madame Hanaud yang kabur dalam esai Orwell.
Di rumah sakit khusus pejabat tersebut, para anggota DPR juga bisa lebih tenang “memikirkan rakyat”. Mereka bisa berkontemplasi, berpikir—doang tapi nggak bertindak–-lebih jernih tanpa gangguan.
Selain itu, saya juga sudah terlena dengan kompetensi Bu Rosaline Irene Rumaseuw. Ia adalah seorang politikus yang nyambi jadi dokter. Dua subjek bahasannya sama sekali tidak melenceng dari koridor pengetahuan yang dimiliki; pejabat + rumah sakit.
Kalian yang menolak, sinis, dan nyinyir pada ide Blio pastilah orang-orang yang menyebabkan matinya kepakaran—kalau kata Tom Nichols. Berikut juga dengan pengurus-pengurus PAN kemudian yang gelagepan bikin klarifikasi kalau pernyataan Bu Rosaline sama sekali tidak mewakili sikap partai.
Tapi saya pikir, apa salahnya ide Bu Rosaline ini? Ini kan luar biasa. Menunjukkan totalitas dalam berpikir untuk survive. Naluri dasar manusia. Setidaknya, ada pejabat yang menampilkan kejujuran paling hakiki di masa sulit-sulit seperti ini.
Maksud saya, dengan atau tanpa membuat rumah sakit khusus pejabat, semua orang tahu anggota DPR atau pejabat pemerintah kerap mendapat perlakuan istimewa—dan itu bukan hanya berlaku di wilayah medis, tapi di segala bidang. Dari urusan dunia, bahkan sampai urusan fatwa.
Jadi, ketimbang terus bertingkah denial, menutup-nutupi sesuatu yang sebetulnya sudah sangat jelas, sekalian saja ide ini dilontarkan. Bangun fasilitas-fasilitas khusus rumah sakit khusus pejabat. Dengan begitu, rakyat bisa lebih total dalam bersikap iri dan dengki. Nggak perlu setengah-setengah lagi.
Meski begitu, saya rasa, ide ini juga harus diberlakukan di segala fasilitas. Maksudnya jangan berhenti di bangunan dan pelayanan rumah sakit khusus pejabat saja. Kalau perlu sediakan juga panti pijat khusus, penjara khusus, tukang cukur khusus, dan bila perlu kita seharusnya meminta Tuhan untuk menciptakan surga khusus. Mungkin proses seleksinya relatif beda, bukan timbangan amal baik atau buruk, tapi perolehan suara di pemilu terakhir sebelum mereka mati.
Bu Rosaline Irene Rumaseuw adalah seorang yang cerdas. Dan ini adalah bagian yang paling saya sukai.
Selama bertahun-tahun saya sering mendengar tuduhan sembrono bahwa pejabat, lebih-lebih anggota DPR, hanya sekumpulan orang yang memiliki modal tapi tidak dengan akal. Bu Rosaline telah membuktikan bahwa itu hanya omong kosong. Ada kristal-kristal kejujuran yang muncul dari kalimat-kalimat mutiaranya itu.
Sayang sekali, ide brilian ini akhirnya harus segera ditutup karena banyak politisi-politisi dari partai lain yang memanfaatkan ini untuk menyerang Bu Rosaline dan PAN. Maklum, 2024 sudah dekat. Ada banyak yang harus memoles diri.
Padahal jika saja rumah sakit khusus pejabat ini betul-betul terlaksana, mungkin progres penyerapan anggaran Covid-19 tidak akan terlunta-lunta.
Hingga bulan lalu, menurut kementerian keuangan, anggaran terserap baru mencapai 22,9 %. Alias sekitar Rp39,55 triliun, dari total keseluruhan Rp172,84 triliun. Proses pencairannya terlalu berbelit-belit. Tapi untuk rumah sakit khusus pejabat, pastilah dana itu langsung ludes.
Tidak perlu memikirkan karantina wilayah yang menanggung kebutuhan hidup rakyat, tidak peduli dengan ongkos distribusi vaksin ke seluruh tanah air. Selama ini, toh rakyat yang telah bersalah menyebabkan pandemi menyebar ke mana-mana. Rakyat juga yang keliru karena sudah banyak yang meninggal dunia.
Karena rakyat sudah melakukan banyak kesalahan ke pejabat, sampai bikin semua yang di gedung DPR dan gedung pemerintahan pada repot, maka biarkan kami mati sendiri-sendiri dengan segenap kemampuan kami.
Para pejabat tenang saja. Silakan nikmati privilege kalian, sepuas-puasnya, sekuat-kuatnya, sebangsat-bangsatnya.
BACA JUGA Sulitnya Kita Mengimani Omongan Pejabat dan tulisan Muhammad Nanda Fauzan lainnya.