DPR merintih lagi. Mereka merintihkan ingin punya rumah baru bersertifikat atas nama mereka. Tak perlu seluruh fasilitas, seperti yang dijanjikan Kota Macondo Meikarta akhir-akhir ini sebelum YLKI mengeluarkan maklumat karena sebal. Cukup kamar-kamar tinggal saja, seperti kamu, kamu, dan kamu yang ngebet pengin punya rumah dengan jalan KPR. Seperti halnya keinginanmu punya rumah dengan jalan apa saja, walau pakai cicilan, seperti itulah saya memahami gundah gulana hati lelaki dan perempuan di Senayan, Jakarta itu.
DPR merintih lagi. Dan, ini bukan rintihan pertama, dan pasti bukan yang terakhir. Rintihan DPR ini cocok jadi contoh grammar: present perfect continuous tense. Sudah terjadi di masa lalu dan masih berlangsung hingga sekarang.
Ketika 500-an orang mereka dilantik, rajukan pengin punya rumah sendiri mengemuka; bahkan sebelum mereka mengerjakan produk legislasi apa pun yang menjadi tugas utamanya. Masih berencana, makian sudah melayang. Dari segala penjuru dengan semua jenis serapah yang buruk. Seakan semua sepakat, kehendak memiliki rumah sendiri adalah kutukan sejak orok buat DPR. Presiden boleh punya istana banyak, DPR najis punya rumah sendiri.
Faktanya, rumah wakil rakyat itu memang tak pernah ada jika rumah yang dimaksud adalah rumah yang sejak awal dirancang, dibangun, dan diperuntukkan untuk wakil rakyat atau gedung parlemen; sebagaimana istana untuk presiden yang dirancang, dibangun, dan diperuntukkan untuk pemimpin negara.
Kronik parlemen menunjukkan, sejak parlemen ini pertama kali dilantik pada 29 Agustus 1945, parlemen kita adalah parlemen tak berumah. Parlemen kita adalah parlemen pengontrak.
Ayo, mari singgahi satu per satu rumah kontrakan parlemen ini. Tersebutlah “rumah kontrakan” pertama adalah Gedung Kesenian Pasar Baru (Schouburg) atau saat ini kita kenal dengan Gedung Kesenian Jakarta. Di gedung ini pertama kali Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) bersidang dan dilantik Sukarno 12 hari setelah Proklamasi. Karena sempit, sekretariat dan ruang sidang dipecah di dua “rumah kontrakan”. Sidangnya di Shouburg, tapi sekretariat di bekas Gedung Jawa Hokokai, seputaran Lapangan Banteng. Gedung itu kini sudah musnah.
Tapi, hanya sebulan “ngotrak” di Schouburg, sidang parlemen yang dipimpin Kasman Singodimedjo itu bedol ke Hotel Binnenhof di Jalan Kramat Jaya pada Oktober 1945. Di masa-masa genting revolusi itu, KNIP diserahkan tugas untuk mengerjakan semua kegiatan legislasi mengikuti Maklumat Wakil Presiden X. Sutan Sjahrir ditunjuk untuk mengetuai Badan Pekerja yang berjumlah 15 orang. Antara bulan November 1945 hingga Desember 1949, setidaknya dalam hitungan saya, sudah 10 kali mereka berpindah. Bukan seperti pemuda/pemudi kos yang hanya pindah dalam satu kota/kabupaten yang sama, ini pindahannya dari kota ke kota.
Sebagai kepala Badan Pekerja KNIP, Sjahrir “ngontrak” sekretariat di Jalan Cilacap, sebuah gedung yang di masa Orde Baru dipakai sebagai kantor Direktorat Jenderal dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, Jakarta. Sidang-sidangnya diselenggarakan di gedung di Jalan Pangeran Diponegoro, depan gedung CBZ (sekarang RSU Pusat Cipto Mangunkusumo).
Bukan hanya “ngontrak” di Jakarta, parlemen ini pernah tercatat “menyewa” beberapa gedung dan/atau hotel di beberapa kota untuk tempat bersidangnya. Antara lain, Gedung Republik Indonesia di Solo (Sidang IV, 28 Februari—3 Maret 1946) dan “numpang” sesaat di bekas Hotel van Laar di Jalan Kutoarjo, Purworejo (Jalan Sudirman saat ini) setelah gagal mencari gedung yang layak di Yogyakarta untuk kapasitas ratusan anggotanya.
Pada sidang keenam (25 Februari—6 Maret 1947), anggota DPR terlempar ke Jawa Timur, tepatnya di Gedung Societeit Concordia, Malang. Dari Malang kemudian Badan Pekerja pimpinan Mr. Asaat itu boyongan lagi ke Yogyakarta dan menempati gedung Palang Merah Indonesia di Jalan Gondolayu selama satu bulan untuk menyimpan perabot rumah tangga. Sementara sidangnya diselenggarakan di rumah salah seorang bangsawan di sekitar Pasar Ngasem, Keraton, Yogyakarta.
Setelah blusukan mencari “kontrakan” yang layak, parlemen mendapatkan Gedung Loge Theosofie, Jalan Malioboro, Yogyakarta dan sidang-sidang dilangsungkan di Siti Hinggil, Keraton, Yogyakarta. Di gedung yang saat ini jadi Gedung DPRD Yogyakarta itu, parlemen “ngontrak” 3 tahun, April 1947 hingga 15 Agustus 1950, sebelum kembali ke Jakarta menyusul berlakunya Konstitusi RIS atau dikenal dengan UUD Sementara.
Parlemen RIS yang dipimpin Mr. Sartono itu menempati sebuah gedung di Jalan Wahidin, Jakarta. Gedung yang dulunya bernama Societeit Concordia itu dibangun pada 1835. Peruntukannya awalanya sebagai tempat hiburan opsir-opsir Belanda. Sebelas dua belas dengan Alexis dalam konteks kekinian.
Gedung hiburan itu pernah disulap jadi Gedung Parlemen oleh Pemerintah RIS. Karena masih dalam tahap renovasi, sidang-sidangnya dialihkan ke Hotel Des Indes (saat ini Hotel Indonesia Kempinski).
Tapi, krisis gedung tak selesai di sini. Sesudah Pemilu 1955, gedung bekas Societeit Bandung (saat ini Gedung Merdeka) menjadi gedung persidangan yang melelahkan bagi Konstituante sebelum mereka dibubarkan pemerintah karena tak sanggup menyelesaikan deadline menetapkan rumusan akhir dasar negara.
Untuk menunggu renovasi yang terus berlangsung Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (nama baru Gedung Parlemen) di Lapangan Banteng, sidang-sidang diboyong ke kompleks Senayan. Tepatnya, bangunan setengah jadi bekas milik Komando Urusan Pembangunan Asia Games (KUPAG). Pasca G 30 S meletus, sidang-sidang parlemen berputar-putar di sekitaran Senayan, Jakarta. Ada kalanya pleno diselenggarakan di Gedung Basket. Sementara Sidang Umum dan Sidang Istimewa berlangsung di Kompleks Gelanggang Olah Raga.
Lalu, bagaimana dengan Gedung DPR/MPR saat ini di Senayan?
Oh, astaga, itu bukan Gedung Parlemen. Dari segi rencana, bentuk, dan peruntukan, gedung itu dibangun Presiden Sukarno sebagai political venues untuk penyelenggaraan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) bagi negara di dua benua: Asia dan Afrika. Ambisi Sukarno, gedung ini nantinya bisa menyaingi Gedung PBB di New York sana.
Dengan waktu pekerjaan proyek hanya setahun, dari 8 Maret 1965 hingga selesai 17 Agustus 1966, nyaris semua insinyur sipil terbaik Indonesia membentuk “barisan semut” yang bekerja siang malam untuk menyelesaikan mimpi itu. Karena mimpi sebuah gedung konferensi dengan fasilitas yang nyaman dan megah, proyek ini dijalankan dengan frasa perang: “Komando Pembangunan Proyek Conefo (Kopronef)”.
Dan kita tahu, G 30 S mengubur peruntukan gedung itu. Bangunan hampir jadi itu, ketimbang jadi rumah setan untuk syuting film-film hantu, terpaksalah diubah paksa peruntukan.
Supaya punya landasan hukum, oleh Menteri Pekerjaan Umum dikeluarkan Surat Keputusan Nomor 16/PRT/1966, tanggal 19 Desember 1966. Isinya: Kopronef dinyatakan bubar. Gantinya adalah badan pelaksana proyek yang dinamai Proyek Pembangunan Gedung MPR/DPR. Sebetulnya kerjaannya tinggal menangani finishing seperti elemen estetika, pertamanan, dan kerja mekanik serta kelistrikan.
Di Gedung Conefo itu puluhan tahun parlemen “ngontrak” dengan melewati enam kali pergantian presiden. Hingga 2011, atau 66 tahun kemudian, meledak penolakan masyarakat ketika Parlemen ini “ngomong baik-baik” ke publik bahwa saatnya “tradisi ngontrak” ini diakhiri. Saatnya diakhiri tradisi parlemen bersidang di jalanan, dari hotel ke hotel, bahkan dari kota/provinsi ke kota/provinsi (AKAP).
Ya, pada 2011, nyaris saja pembangunan gedung parlemen terlaksana dan tinggal ketok palu. Namun, karena kerasnya penolakan sejak Maret 2011, gedung baru yang dirancang, dibangun, dan diperuntukkan untuk gedung parlemen itu pun kandas.
Tiap lima tahun sekali, wajah-wajah baru muncul dengan satu status yang sama: si pengontrak. Lama mereka mengontrak seusia Indonesia Merdeka. Di sinilah ironi muncul; hanya raja/presiden yang boleh memiliki privelese istana (lebih dari satu malah), sementara (wakil) rakyat tak beroleh hak memiliki sertifikat tanah dan gedung atas nama mereka sendiri, Atas Nama Sukarno-Hatta Wakil Rakyat Indonesia.