Begitu Mojok sebulan lalu saya umumkan akan tutup persis berbarengan dengan hari ulang tahun saya pada 28 Maret, ada banyak sekali yang bertanya, “Kenapa?” Padahal, selain sudah saya nyatakan bahwa tidak akan saya beri tahu sebabnya, juga bukankah lazim segala yang pernah ada itu rusak, mati, dan lenyap?
Manusia mati. Laptop kita rusak. Uang kita hilang. Banyak sekali hal seperti itu terjadi saban hari di kehidupan kita. Kadang kita juga tidak ingin tahu sebabnya. Manusia mati, ya, memang begitulah hukumnya. Tentu saja musababnya bisa macam-macam, tapi musabab hanya sebagian dari cara agar mudah dikenali. Prinsip utama kenapa orang mati, ya, karena dia hidup. Kalau dia tidak pernah hidup, tidak kena hukum kematian.
Tapi saya memang diciptakan Tuhan dengan jiwa lembut dan mudah jatuh kasihan. Karena saking banyaknya orang bertanya, akhirnya runtuh juga tanggul belas kasih di hati saya. Apa yang ingin mereka tahu, saya akan bagikan di tulisan ini—di tulisan terakhir Mojok sebelum besok kukut. O ya, sekali lagi, bagi yang suka tulisan-tulisan di Mojok, segera simpan tulisan-tulisan tersebut. Sebab dimatikannya Mojok berarti situs webnya tidak bisa diakses lagi.
Karena sebab Mojok mati adalah hal yang sebetulnya rahasia, saya mesti menceritakannya dengan pelan dan hati-hati. Supaya tidak simpang siur. Juga menghindari tafsiran yang bukan-bukan.
Sekira setahun lalu, saya didatangi utusan sebuah pihak yang tidak perlu saya sebut namanya. Tentu bukan sembarang utusan. Saat itu, tentu saja Mojok sudah sangat moncer. Usianya sudah 1,5 tahun. Awalnya, sebagaimana biasa, saya mendelegasikan pertemuan dengan utusan tersebut kepada Eddward Kennedy. Eddward alias Edo saat itu baru saja menggantikan pemred pertama Mojok: Arlian Buana. Saya memang tidak terlalu suka bertemu dengan orang, terlebih orang yang tidak saya kenal. Di pertemuan tersebut Edo bercerita dengan agak takut-takut bahwa utusan tersebut setengah memaksa untuk bertemu dengan saya.
Saya jenis orang yang paling tidak suka dipaksa. Jadi saya menolak. Dua hari setelah penolakan itu, situs web Mojok tiba-tiba mati untuk jangka waktu yang agak lama, kurang lebih enam jam. Esoknya, ada kepala kambing tergeletak di depan pintu kantor Mojok. Yang menemukan kepala kambing penuh darah di depan pintu itu adalah Kang Eko Susanto. Kang Eko bukan kru Mojok, dia kepala produksi Buku Mojok yang memang saban hari ngantor di kantor Mojok. Biasanya dia datang di kantor pukul 09.00. Di jam seperti itu baik Edo maupun Agus Mulyadi sedang nyenyak tidur. Begitu dia memberi tahu saya soal itu, saya minta agar kepala kambing itu dibuang dan tidak memberi tahu siapa pun. Hingga kisah ini akhirnya saya tulis, hanya kami berdua yang tahu.
Setelah itu tidak ada kejadian apa-apa lagi hingga ulang tahun Mojok yang kedua. Baru sekira seminggu kami pulang dari road show di Surabaya dan Malang, saya dihubungi utusan dari institusi yang sama yang dulu saya minta Edo bertemu dengannya. Kali itu, dengan menyimpan geram karena punya dugaan kuat bahwa yang pelaku tragedi kepala kambing adalah mereka, saya memutuskan bersedia menemuinya.
Kami bertemu di sebuah hotel bintang 5 di Yogya. Saya datang sendirian. Atau kelihatannya begitu, karena sebenarnya tidak. Saya membawa dua teman yang berprofesi wartawan yang saya minta berjaga-jaga di hotel tersebut. Satu orang berjaga di lobi, satu lagi di resto hotel.
Pertemuan dihelat di lobi hotel. Utusan tersebut berjumlah dua orang. Awalnya tentu saja obrolannya kikuk. Terlebih mereka berdua banyak mencecar soal tulisan-tulisan di Mojok yang bertema tertentu, dan mereka menyatakan sangat keberatan dengan hal itu. Juga mereka bilang bahwa mereka agak tersinggung ketika enam bulan sebelumnya saya tidak mau menemui mereka.
Dengan basa-basi saya meminta maaf. Tidak ada niat kami untuk mengunggah tulisan yang menyinggung institusi mereka. Juga saya ceritakan bagaimana mekanisme Mojok, terkait tulisan yang masuk sampai bagaimana diunggah. Dari sana kelihatan betul, susah rasanya bagi Mojok untuk mendesain isu yang mendiskreditkan suatu pihak karena naskah Mojok sangat bergantung pada kiriman para penulis. Tentu saja kami tidak bisa mengintervensi penulis-penulis itu untuk mengirimkan tema tulisan tertentu.
Tapi, penjelasan saya rasanya percuma karena mereka tampak tidak mau tahu. Gestur dan kata-kata mereka selalu bernada ancaman. Dan saya paling tidak suka diancam sehingga obrolan sempat mengeras. Saya hampir pergi meninggalkan mereka berdua, tapi urung ketika mereka melunak dan meminta maaf.
Obrolan dilanjutkan. Namun, situasi sudah kadung tidak menyenangkan. Hingga akhirnya buyar. Mereka balik ke Jakarta keesokan harinya. Sebelum pergi ke bandara, keduanya sempat menghubungi saya lagi untuk makan di sebuah warung gudeg terkenal di Yogya. Karena masih dongkol, telepon mereka tidak saya jawab. Sewaktu mereka mengirim SMS keesokan harinya, saya jawab bahwa semalam saya ngelembur, kecapekan, dan mau tidur.
Tidak terjadi apa-apa lagi hingga tiga bulan lalu. Lagi-lagi pasalnya adalah naskah yang diunggah Mojok hari itu. Salah satu dari mereka mengirim SMS: kenapa Mojok masih juga mengunggah tulisan dengan tema tersebut? Saya jawab jujur, memang salahnya di mana? Tulisan tersebut bagus baik dari sisi perspektif sampai cara penulisannya. Orang tersebut minta ketemu lagi. Saya sebetulnya malas menemui, tapi karena saya tahu dari lembaga apa dia berasal, saya akhirnya bersedia menemui.
Pertemuan kali itu terjadi di hotel berbeda. Di pertemuan itu saya mengajak lebih banyak teman; mereka saya minta datang lebih dahulu. Kali itu saya mengajak dua wartawan dan seorang pengacara. Mereka berada di posisi yang terpisah dari saya, tapi semua masih dalam jarak pandang cukup.
Di pertemuan tersebut, yang datang dari pihak mereka ada tiga orang. Salah satunya orang yang sebelumnya menemui saya, tapi rekan satunya lagi tidak ikut. Kemudian ada satu orang lagi yang tidak saya kenal. Yang mengagetkan, ternyata ada satu orang yang sangat saya kenal. Seorang teman lama.
Dalam obrolan basa-basi di awal, saya baru tahu kalau ternyata sahabat lama saya yang sudah dua tahun tidak bertemu itu bekerja di lembaga yang sama dengan orang yang menemui saya sebelumnya. Sedangkan sosok satu lagi, diperkenalkan sebagai seorang pengusaha.
Ringkas kisah, si utusan menawarkan bagaimana jika Mojok dibeli oleh pengusaha tadi. Tentu saja saya tolak mentah-mentah. Sahabat lama saya berusaha ikut membujuk, tapi saya bergeming. Bagi saya, tidak ada opsi itu. Lagi-lagi obrolan mentok. Hanya saja kali itu tidak terjadi komunikasi yang memanas. Semua berjalan agak cair.
Akan tetapi, selepas pertemuan itu ada rentetan kisah yang tidak mudah saya ceritakan, yang langsung bisa saya tafsirkan bahwa semua terkait dengan pertemuan tersebut. Saya sempat menghubungi sahabat lama saya tersebut untuk melayangkan semacam protes. Saya bukan orang bodoh. Saya tahu bahwa rentetan kisah yang saya alami tentu didesain oleh sebuah kekuatan yang hanya bisa dilakukan oleh lembaga tempat sahabat saya bekerja. Akhirnya, sahabat saya pun datang ke Yogya. Kali itu ia seorang diri.
Lama kami ngobrol berdua dari hati ke hati. Saya percaya dengannya, dan saya mencoba mengerti apa yang ia katakan sebagai bagian dari lembaga tersebut plus masukannya sebagai seorang sahabat.
Di saat itulah, setelah berpikir dari banyak sisi, saya memutuskan untuk menghentikan Mojok. Ketika hal tersebut saya nyatakan di depan semua kru Mojok, saya tidak menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Lewat tulisan ini pula saya ingin mengabarkan hal yang sebetulnya terjadi kepada mereka, sekalipun tidak lengkap. Tidak semua hal bisa diceritakan.
Begitu kabar penutupan Mojok saya nyatakan ke publik, baik sahabat saya maupun si utusan mengucapkan terima kasih. Mereka bilang, saya seorang patriot, meletakkan kepentingan nasional dan bangsa di atas kepentingan lainnya. Dalam hati saya bilang: haes, taek!
Pembaca Mojok yang budiman, itulah sesungguhnya kisah di balik penutupan Mojok. Sekali lagi, kisah di atas tentu tidak lengkap dan detail. Tapi, saya yakin, dengan kecerdasan Anda, tentu bisa diserap sari pati kisahnya.
O ya, pembaca yang budiman. Saya hanya mau mengingatkan kepada Anda, pada dasarnya saya memiliki dua hal penting. Pertama, saya adalah penulis fiksi. Kedua, saya suka rahasia. Kisah di atas tentu saja fiktif, dan biarkanlah rahasia tetap menjadi rahasia karena saya menyukai rahasia.
Salam hangat.
Kepala Suku Mojok
Puthut EA