MOJOK.CO – Perampasan tanah milik masyarakat Pulau Rempang membuktikan bahwa Republik Indonesia sudah melupakan Pancasila dan sangat serakah kepada rakyat kecil.
Ada masyarakat yang sudah tinggal di suatu wilayah ratusan tahun lamanya. Lalu, pada suatu ketika, berdiri sebuah negara, di mana di dalam teritorinya ada wilayah tempat tinggal masyarakat tersebut. Seiring berjalannya waktu, para pemimpin negara itu menjalin kerja sama dengan pengusaha agar bisa saling menguntungkan.
Suatu ketika, sang pengusaha meminta sebagian wilayah kepada para pemimpin negara untuk memperluas usahanya. Para pemimpin negara langsung memberikannya, tanpa berdiskusi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Maka, hanya ada satu jalan, masyarakat di wilayah tersebut harus diusir. Entah keuntungan apa yang didapat oleh para pemimpin negara sehingga mereka tega melakukannya. Inilah yang dialami oleh masyarakat Pulau Rempang.
Kamis, 7 September 2023. Sebanyak kurang lebih 1.000 aparat gabungan diturunkan ke Pulau Rempang untuk mengawal pemasangan patok dan pengukuran tanah. Mereka mengawal rencana pembangunan kawasan “Rempang Eco City” seluas 17.000 hektare. Kelak, daerah tersebut akan menjadi kawasan industri, perdagangan jasa, dan pariwisata.
Ribuan masyarakat setempat menolak pengukuran tersebut. Masyarakat khawatir rencana pembangunan “Rempang Eco City” akan mengancam ruang hidup mereka. Di sana, terdapat permukiman seluas 1.000 hektare dengan total penduduk sekitar 10.000 jiwa. Penolakan ini mendatangkan bencana bagi mereka.
Konflik Pulau Rempang
Pulau Rempang bersimbah darah. Bentrok tak terelakkan dan aparat menganggap penolakan warga sebagai genderang perang. Aparat memukuli warga yang tak bersalah sampai penuh luka.
Belum puas, aparat menembakkan gas air mata. Celakanya, gas air mata itu masuk ke sekolah dan membuat belasan siswa pingsan.
“Ada apa ini? Bukankah aparat harusnya melindungi masyarakat?” Batin saya setelah melihat video mengerikan yang meliput kejadian di Pulau Rempang.
“Harapannya agar kasus ini dipahami sebagai pengosongan lahan dan bukan penggusuran, karena lahan tersebut memang akan digunakan oleh pemegang haknya,” komentar Menkopolhukam setelah dimintai keterangan perihal aparat negara yang menyerang masyarakat Pulau Rempang.
Seketika, lirik lagu “Kami Butuh Lahan” karya Iksan Skuter menggema di udara:
Tuan kami hanya butuh lahan
Untuk perjuangkan semua
Yang kami harapan
Hey tuan kami memilihmu untuk
Melindungi mimpi kami
Bukan untuk membuyarkannya
Dan tuan kami memilihmu bukan
Untuk membela pengusaha
Yang merampas tanah kita
Pernahkah tuan membayangkan rasa sedih kami
Pernahkah tuan merasakan amarah kami
Pernahkah tuan membayangkan menjadi kami
Pernahkah tuan membayangkan membayangkan
Masyarakat Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru yang tergabung dalam KERAMAT (Kerabat Masyarakat Adat Tempatan) merespons. Mereka melayangkan permohonan audiensi dengan Menkopolhukam. Perlu dicatat dengan tinta tebal bahwa masyarakat Pulau Rempang sudah mendiami tanahnya jauh sebelum REPUBLIK INDONESIA TERHORMAT ini ada.
Tentang masalah agraria masyarakat Pulau Rempang
Melihat maklumat yang dikeluarkan oleh Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepulauan Riau pada 9 September 2023 lalu, menjelaskan bahwa masyarakat Rempang adalah suku Melayu pertama yang ada di Batam. Sementara itu, berdasarkan keterangan KERAMAT, leluhur masyarakat Pulau Rempang telah menempati wilayahnya secara turun-temurun.
Mereka sudah ada di sana sejak era pemerintahan Sultan Abdurrahman Muazzamsyah dari Kerajaan Melayu Islam Riau Lingga (1834 Masehi). Masyarakat Pulau Rempang juga ikut mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan Jepang. Meski menggunakan persenjataan yang terbatas, dengan gagah berani, mereka melawan penjajah. Dan, mereka, gugur sebagai pahlawan.
Oleh sebab itu, sudah sangat jelas, bahwa masyarakat Pulau Rempang telah menempati pulaunya jauh sebelum bendera merah putih berkibar di seluruh penjuru negeri. Jauh sebelum anak-anak sekolah diwajibkan menghafal Pancasila dan wajah-wajah presiden serta wakilnya ditempel di ruangan-ruangan kelas.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, masyarakat Pulau Rempang berada di bawah Kewedanaan Tanjungpinang. Lalu, pada 1960 sampai 1979, mereka berada masuk ke wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau.
Pada 1980, Kecamatan Bintan Selatan dimekarkan menjadi Kecamatan Galang yang bertempat di Sembulang, Pulau Rempang. Baru pada 1999, masyarakat Kecamatan Galang, Kabupaten Kepulauan Riau, bergabung ke pemerintah Kota Batam.
Ada satu masalah pelik yang menghantui masyarakat Pulau Rempang selama 78 tahun kemerdekaan Indonesia, yaitu legalitas lahan. Hal inilah yang kemudian menjadi justifikasi pemerintah dan pengusaha untuk menggusur mereka.
Pada 2022, masyarakat Rempang telah menyurati Walikota Batam agar kampung-kampung sejarah, Kampung Tua di 16 kampung mendapatkan pengakuan dan legalitas. Namun, hingga saat ini, mereka belum mendapat kejelasan dari Pemkot Batam.
Mari kita berpikir menggunakan logika dan pola pikir sejarah. Umur masyarakat Pulau Rempang itu lebih tua dibanding Indonesia. Maka, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memberikan legalitas atas tanah. Namun, nasi telah menjadi bubur, hal buruk sudah terlanjur dilakukan.
Perjalanan investasi dan perampasan tanah
“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu Tahun 2001, 2002,” komentar Menkopolhukam tentang tanah di Pulau Rempang.
Niat negara untuk merampas tanah ini mulai nampak ketika Kementerian Kehutanan menetapkan Pulau Rempang sebagai “hutan buru” pada 1986. Seolah-olah di dalam pulau tersebut tidak ada kampung dan penduduk.
Tak lama setelah itu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 28 tahun 1992 yang berisi penambahan Pulau Rempang dan Pulau Galang sebagai pengembangan wilayah lingkungan kerja daerah Industri Pulau Batam. Ini sekaligus menetapkan 2 pulau tersebut sebagai wilayah usaha kawasan berikat (bonded zone).
Pulau Batam sendiri telah dilihat sebagai kawasan pembangunan yang potensial dalam Keputusan Presiden nomor 74 tahun 1971. Sehingga, keputusan itu melahirkan Otorita Batam. Otorita Batam mendapat HPL (Hak Pengelolaan) dari pemerintah Indonesia, berdasarkan Keputusan Kementerian ATR/BPN 9/VIII tahun 1993 di mana kemudian Pulau Rempang dan Pulau Galang adalah merupakan cakupannya.
Pada 2007, Otorita Batam berganti nama menjadi Badan Pengusahaan (BP) Batam. Perubahan itu terjadi setelah ditandatanganinya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007. Isinya soal penetapan Kawasan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas untuk jangka waktu 70 tahun. Kawasan tersebut meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru.
Muara masuknya investasi
Berdasarkan keterangan Menkopolhukam di atas, disebutkan bahwa tanah di Pulau Rempang telah diserahkan negara kepada sebuah perusahaan pada 2001 dan 2002. Muara masuknya investasi atau perampasan tanah di Pulau Rempang setelah proses perundang-undangan yang Panjang, dapat dilihat melalui kunjungan Pemkot Batam ke Jakarta pada 2001 untuk menawarkan prospek pengembangan di Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam.
Mereka berupaya mengundang beberapa pengusaha nasional termasuk Artha Graha Group (induk PT Makmur Elok Graha) serta sejumlah investor dari Malaysia dan Singapura untuk berperan aktif. Setelah perundingan berlangsung, PT MEG terpilih untuk mengelola dan mengembangkan kawasan Rempang seluas kurang lebih 17 ribu hektare dan kawasan penyangga yaitu Pulau Setokok (sekitar 300 hektare), dan Pulau Galang (sekitar 300 hektare).
Perjanjian antara Pemkot Batam, Otorita Batam, dan Makmur Elok Graha mencakup Hak Guna Bangunan. Hak Kelola Lahan juga ada di sini dengan masa 30 tahun. Mereka bisa memperpanjang hak tersebut selama 20 dan 30 tahun. Jadi, bila ditotal, dapat menjadi 80 tahun.
Residu investasi terlihat semakin kuat. Terutama saat DPRD Kota Batam, pada 17 Mei 2004, mengeluarkan surat yang berisi persetujuan terhadap langkah Pemkot Batam dalam mengembangkan Pulau Rempang. Secara khusus, menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata. Surat tersebut juga berisi persetujuan DPRD Kota Batam terhadap investasi PT Makmur Elok Graha (MEG). Kemudian, pada 26 Agustus 2004, pemilik PT MEG, Tommy Winata, menyetujui kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemkot Batam.
Masalah yang terjadi
Pada 2007, rencana investasi mengalami masalah. Masyarakat menilai bahwa kerja sama itu telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp3,6 triliun dan banyak masalah terkait kepemilikan lahan. Bahkan, Tommy Winata, selaku pemilik PT. MEG sempat dipanggil Mabes Polri pada 2008 karena hal tersebut.
Pada Juli tahun 2023 atau 16 tahun setelah rencana investasi di Pulau Rempang mandek, kerja sama pengembangan kembali lahir. Pemerintah menjalin kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan perusahaan Cina bernama Xinyi Group. Perjanjian kerja sama baru ini ditandatangani oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia di Chengdu, Cina dan disaksikan Presiden Joko Widodo.
Investasi ini adalah bagian dari pengembangan Pulau Rempang yang masih berada di bawah bendera MEG. Konsepnya adalah kawasan “industri hijau” yang diberi nama Rempang Eco City. Proyek ini ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp318 triliun hingga 2080.
Xinyi akan membangun pabrik kaca dan solar panel dengan investasi sebesar Rp172 triliun. Proyek ini dijadwalkan untuk mulai pada September 2023. Dan, pada 7 September 2023 kemarin, kita telah menyaksikan sendiri bahwa permulaan proyek ini sudah mengancam ruang hidup masyarakat Pulau Rempang. Aksi kekerasan yang terjadi mengakibatkan belasan siswa sekolah pingsan karena gas air mata. Inilah latar belakang perampasan tanah oleh negara yang menimbulkan kerusuhan mengerikan di Pulau Rempang.
Republik Indonesia seperti kacang lupa kulit
Kita perlu mencatat satu hal penting di sini. Berdasarkan keterangan KERAMAT, selama perjalanan panjang investasi, otoritas tidak pernah mengajak masyarakat setempat untuk musyawarah. Selain itu, sosialisasi juga sangat minim. Padahal, musyawarah adalah salah satu bagian dari dasar negara kita, Pancasila.
Hal itu terbukti dari tidak adanya sosialisasi kepada mereka saat Otoritas Batam diubah menjadi BP Batam. Kejanggalan yang besar amat terlihat ketika BP Batam mengundang masyarakat Rempang. Jadi, saat itu, BP Batam menginformasikan bahwa akan ada investor untuk Pulau Rempang, yakni PT. MEG. Dalam masterplan yang diberikan BP Batam kepada perusahaan tersebut, ada kampung-kampung warga yang sedang diajukan legalitas tanahnya melalui program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). Ini adalah sebuah program pemerintah untuk legalisasi lahan masyarakat.
KERAMAT juga menjelaskan bahwa masyarakat Pulau Rempang amatlah mendukung program pembangunan maupun pengembangan, baik dari pemerintah maupun perusahaan swasta. Mereka yakin dari pembangunan dan pengembangan itu akan memberikan dampak positif dalam segala aspek, terutama perekonomian. Keinginan masyarakat hanya agar lingkungan mereka tetap lestari dan bisa tinggal di tanah leluhurnya. Ini seharusnya sejalan dengan rencana pengembangan PT. MEG.
Namun celaka, alih-alih mendapatkan janji kelestarian, pemerintah bersama perusahaan justru mengirim ribuan personel dan menciptakan luka teramat dalam bagi masyarakat. Apakah penggusuran dengan kekerasan ini merupakan hadiah yang diberikan Republik Indonesia kepada masyarakat Pulau Rempang yang turut berjuang untuk merebut kemerdekaan?
Beberapa orang berdalih bahwa Indonesia adalah negara hukum. Selain itu, penggusuran lahan juga sudah sesuai hukum. Negara ini lalu menyatakan bahwa keberadaan masyarakat di Pulau Rempang adalah ilegal.
Ingat! umur masyarakat Rempang jauh lebih tua dari Republik Indonesia. Tindakan penggusuran di sana membuktikan bahwa Republik Indonesia adalah kacang yang lupa akan kulitnya.
Penulis: Mohammad Rafi Azzamy
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Selama Kepemilikan Tanah Masih Dikuasai Segelintir Orang, Konflik Berdarah akan Terus Lahir dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.