Sungguh, awalnya saya tak peduli Mojok.co akan tutup akhir bulan ini. Sejak Kepala Suku menyebar pengumuman di status yang disambut banyak balasan kesedihan dan pertanyaan, atau sejak Cik Prima ganti foto profil Ji Eun Tak yang sialnya bolak-balik nongol di timeline saya sedari malam sampai malam lagi. (Jelas Cik Prima yang jomblo dan jarang dipuji kegirangan dibilang mirip artis korea itu. Apa tak ada lagi yang pantas mataku pandang selain foto profilmu, Cik?)
Tak usah ditanyakan lagi berapa banyak orang yang membahas penutupan Mojok. Seorang kawan memanfaatkan momentum ini untuk menarik kontributor ke website-nya. “Yang mau nulis di Mojok, tapi nggak sempat, nulis di xxx aja.” Kadal buntung benar!
Tapi, whatever, saya tak ambil pusing.
Segalanya baru berubah ketika saya membaca tulisan Riyanni Djangkaru yang syedih dan merasa diputus sepihak. Kepedihan Kak Yanni seketika menjadi kepedihan saya juga. Saya sampai harus membaca tulisannya berulang kali sekadar untuk menyelami lebih jauh palung rasa Kak Yanni yang, euleuuuh euleuuuh, jauhnya melebihi jarak yang pernah ia tempuh di Jejak Petualang dulu.
Duh, Kak Yanni presenter favorit saya. Ini adalah usaha kecil mengurai rasa syedihmu yang diabaikan Mojok.
Kak Riyanni harus tahu, ratusan ribu orang kakinya ndusel-ndusel tak tahan membaca curhatan Anda. Tiga ratus sembilan puluh tujuh ribu follower Twitter-mu berdiri sejajar di garis keyakinan saya ini. Ronny Agustinus yang kondang sejagat sebagai bapak penerbitan Kiri itu saja terkejut. Apalagi saya. Melihat dua kata “sebel aku” sontak mengubah segalanya.
Saya memang tak pandai menenangkan hati yang gundah, apalagi bagi presenter junjungan kami semua yang, seandainya bertatap muka langsung, pasti akan membuat lidah lincah saya kecele berulang kali. Belum panas dingin yang perlu dikompres segera. Tapi, izinkanlah saya yang telanjur ngefans ini meredakan “sebel aku” Kak Yanni itu dengan mencoba memberikan sejumlah penjelasan spekulatif tentang tutupnya Mojok.
1. Mojok Punya Banyak Musuh
Beberapa tahun lalu saya sempat bertemu mantan redaktur Mojok yang konon alumni satu pondok pesantren. Benar, Kak, dia Arlian “Bang Ipul” Buana yang suka dipanggil Bana. Bana bilang saat itu (2015) bahwa Mojok biasanya mendapat dua puluh kiriman tulisan tiap hari. Entah berapa saat ini, mungkin sudah nambah. Parahnya, masih saja tak pasti salah satu dari dua puluh karya anak bangsa itu akan naik online. Terkadang semuanya mental di tangan besi si redaktur. Anjing kurap!
Sepertinya, redaktur Mojok tersusun dari kesewenang-wenangan dan pengalaman ditolak berulang kali, Kak. Sebel, eh, murka aku. Bayangkan, ada ratusan penulis Mojok yang ngarep jatah tenar dan jebul-jebul tak jadi. Memangnya Bana, Panjul, Prima, dan Agus itu redaktur kondang? Kucing garong!
Saya sepenuhnya percaya bahwa kelanjutan Mojok akan menambah barisan sakit hati dari mereka yang tulisannya selalu ditolak sepihak. Ada bara dalam sekam, Kak.
Kawan-kawan kontributor yang tak pernah digubris redaktur Mojok juga harus yakin, penutupan ini adalah yang terbaik. Setidaknya mengurangi beban hidup. Jangan ada penolakan lagi selain dari jejaka dan gadis-gadis idaman kalian. You will loose nothing but your chain!
2. Redaktur Mojok Suka Main Loncat
Satu sisi saya kok heran, redaktur Mojok selalu meloncat ke media lain setelah beberapa tahun di sana. Bana ke Tirto, Panjul ke Kumparan, dan mungkin demikian juga Gus Mul dan Cik Prima kalau saja Mojok berlanjut beberapa tahun lagi. Zaman kapitalis kayak gini kok sukanya sedekah model begituan. Bikin redaktur kondang terus meloncat ke media besar. Mbok kalau sodakoh itu ya di mesjid atau Paytren-nya Ustad Yusuf Mansyur yang slogannya berbisnis sambil bersedekah itu. Jangan mencetak redaktur kondang lalu melemparnya ke media baru itu.
Tapi, mau gimana lagi, Jogja emang gitu. Kota ini selalu memproduksi penulis kondang. Ujungnya, yang menampung adalah media bermodal besar di jakarta sana.
Lagi pula, bukannya mencontoh Max Perkin yang membuat tenar Hemingway, Thomas Wolfe, dan Fitzgerald sementara namanya sendiri tenggelam, redaktur Mojok ini hobinya bikin kondang diri sendiri. Ckck. Lihat saja status Cik Prima yang meminta syarat minimal 500 like sebelum nulis status berikutnya. Itu apalagi namanya kalau bukan ngarep?
3. Seperti Alexande Supertramp
Kak Yanni pasti pernah nonton film Into the Wild, kan? Petualangan Alexander Supertramp ke Alaska yang mendebarkan itu memang berakhir sedih. Ia mati sendirian di musim panas di sebuah bus tua. Tapi, ia menuliskan pesan bermakna di ujung hidupnya. “Happiness is real when shared.” Begitu kalimat yang menjadi adegan penutup jelang akhir hidupnya.
Alexander Supertramp sadar betul bahwa perjalanannya ke Alaska tak memberi kebahagiaan bagi orang lain. Keluarganya kebingungan di rumah. Ia pun menyesal. Tentu berbeda dengan petualangan Kakak di Jejak Petualang yang nyata-nyata memberi saya kebahagiaan. Mojok juga sudah melakukan itu selama ini. Ia berbagi kebahagiaan pada semua orang dengan caranya sendiri.
(Bedebah, kenapa mulutmu melontarkan pujian, anak muda?)
Terus, apa itu jadi alasan penguat tutupnya Mojok? Yo, nggak. Saya juga nggak bisa nemuin kaitannya dengan yang di atas. Mau gimana lagi dong, namanya juga usaha, biar obrolan dengan Kak Yanni tambah panjang. Persamaan saya dengan dengan kakak mungkin hanya sama-sama pernah nonton Into the Wild. Perjalanan saya paling mentok ke Gunungkidul dan Bantul, sisanya mendekam di kos.
Sudah, Kak, cukup itu saja. Sebenarnya saya ingin bicara lebih lama dengan Kak Yanni yang telanjur jadi presenter idola saya. Tapi, kalau lebih panjang, saya khawatir kena tuduhan sebagai antek Freeport.
Mojok memang sudah sampai saatnya untuk pergi dan mungkin tak kembali. Cukuplah jadi kenangan manis, Kak. Tinggal kita perabukan secara menyenangkan saja, ya? Kita bisa membakarnya di atas tumpukan kayu di tepi sungai yang lebar diiringi lagu “Secawan Madu” Via Vallen saat senja berwarna saus tomat menyergap. Lalu abunya kita buang di salah satu lubang toilet SPBU Janti yang paling bersih dan wangi. Itu cukup menyenangkan, bukan?
Kalau saya boleh memilih, siapa yang akan kembali di antara Mojok.co dan Kakak, saya pilih kembalinya Kak Riyanni syuting di acara perjalanan saja. Tapi, kalau kembali jangan bawa penghulu, ya. Mas Yoga Byron masih mencintaimu.
#GoodByeMojok