Maroko adalah negara keempat setelah Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Sudan yang menyatakan normalisasi hubungan dengan Israel. Normalisasi tersebut dinamakan Abraham Accord. Tentu saja, keputusan yang dilakukan PM Othmani pada Desember 2020 menuai polemik. Sebagai negara yang mayoritas muslim, tentu sebagian besar menentang kuat keputusannya.
Yang menarik adalah keputusan tersebut dibuat oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD), partai yang berhaluan islamis. Ini menimbulkan ambivalensi, toh. Bagaimana mungkin partai yang bercorak seperti itu justru melakukan normalisasi dengan Israel? Serba tidak mungkin jika di Indonesia.
Keputusan kedua yang bikin marah masyarakat Maroko adalah penggunaan Bahasa Prancis untuk pengajaran materi sains dan teknologi di SMA dan universitas. Bagi masyarakat, ini sama saja membolehkan Prancis untuk “menjajah” lagi melalui sektor pendidikan.
Akhirnya, popularitas PJD menciut. Mereka digantikan oleh partai yang berhaluan liberal-nasionalis, Partai Reli Nasional Independen (RNI). Kocak, yhaa. Sekali lagi, ini tidak mungkin terjadi di Indonesia.
Prancis dan Afrika, dekat, tapi tak bersahabat
Maroko memang lepas dari Prancis sejak 1956. Namun, tampaknya nilai-nilai negara pusat mode dunia itu masih melekat di sana. Sebagai contoh, meskipun bahasa resmi mereka Arab, tetapi untuk urusan bisnis dan pemerintahan, cenderung ke Bahasa Prancis.
Prancis memang masih memiliki tempat di hati pemain Maroko. Sebut saja Sofiane Boufal. Dia pernah mengatakan bahwa dia tidak mungkin melupakan Prancis karena di sana dia tumbuh dan negara anggur inilah yang menerima keberadaan orang tuanya.
Namun, justru sebaliknya, ketika orang-orang Prancis melihat Maroko, apalagi Afrika secara keseluruhan. Meskipun, konon terbilang negara liberal-sekuler dan mau menerima warga dari mana saja, nyatanya tidak semua orang mengamini.
Tanyakan saja pada Lord Jean-Marie Le Pen, pimpinan partai Front Nasional era 2002. Pada 1998, dia meminta secara khusus kepada Christian Karembeu untuk tidak menyanyikan lagu kebangsaan Prancis. Alasannya ada dua, yaitu nggak ngerti Bahasa Perancis dan miskin loyalitas.
Lalu, apa yang dilakukan Karembeu?
“I know the history of my people.” Kalimat itu berkaca pada sejarah pemberontakan orang-orang Afrika pada 1970, dan lebih jauh, tragedi Paris Colonial Exposition pada 1931. Kakek buyut Karembeu adalah satu dari ratusan orang yang dibawa secara paksa ke Prancis.
Orang-orang Kanaks dari New Caledonia itu lalu dilabeli sebagai “para kanibal”. Setelah acara selesai, para kanibal itu dijadikan “alat tukar” oleh Prancis dengan Jerman. Sebagai gantinya, Prancis mendapatkan beberapa ekor buaya dari Jerman.
Glorifikasi atas kaum kulit putih
Glorifikasi atas kaum kulit putih terus didengungkan oleh masyarakat Prancis kepada orang-orang Perancis yang dianggap tidak sesuai dengan norma yang berlalu. Ada yang mengatakan bahwa timnas Prancis pada 1998 dan 2018 adalah expropriating African footballers. Haduh.
Bahkan, yang lebih menyakitkan, salah satu The Daily Show memberikan ucapan yang tergolong rasis (menurut saya).
“Afrika telah menang. Afrika menjadi juara dunia. Saya tahu Prancis juara, tetapi saya juga memahaminya sebagai saudara Afrika di timnas Prancis.”
Maka dari itu, tidak heran kalau banyak yang mengatakan bahwa timnas Prancis kali ini, apabila berhasil menjadi juara lagi, jangan kaget buat penonton ketika mendengar kalimat seperti itu.
Sejarah di depan mata
Dini hari nanti, baik Prancis maupun Maroko, jika berhasil melenggang ke final, sama-sama menorehkan sejarah. Perancis menyusul Italia dan Brasil jika mampu menjadi juara secara back to back. Sementar aitu, Maroko akan menjadi tim pertama dari Afrika yang mampu menapak final.
Bagi masyarakat kulit putih Prancis, barangkali biasa saja atau cenderung tidak senang (?) jika mencapai final. Namun, bagi Maroko, ini adalah kemenangan untuk Afrika, Arab, dan juga Islam. Moustapha Hadji, legenda sekaligus pemain Maroko yang mampu menjadi pemain terbaik Afrika pernah berkata:
“Morocco loves the game and is a real football country. Football is magic – it can do things that no other sport can. Politics can’t do that. Only football.”
Ya, bagi Maroko, sepak bola adalah segalanya. Ia yang mampu menyekat urusan tidak penting, khususnya politik, dan memadukan unsur dari diaspora mana saja.
Sebab, politik yang harus tunduk pada sepak bola. Bukan sebaliknya.
BACA JUGA Sekularisme Prancis dan Kegagapan Kita Mengelola Ketersinggungan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno