MOJOK.CO – Pandemi Covid-19 membuat isu G30S dan PKI setiap September, yang biasanya meledak seperti mercon menyambut Lebaran itu, agak mejan.
Tahun ini, Hari Raya Orde Baru yang biasa dirayakan pada 30 September, agak sepi. Biasanya, pada awal September orang-orang sudah mulai disuguhi segala macam ancaman kebangkitan PKI. Sialnya, tidak ada seorang pun bisa menyebutkan bentuk fisik apa itu PKI.
Tahu bulat yang digoreng dadakan lebih nyata ketimbang PKI. Tapi, toh isu PKI yang digoreng-dengan-cermat-dan-bukan-dadakan ini tetap laku. Minimal, laku untuk media.
Orang-orang yang jualan isu PKI sekarang banyak yang sudah berpisah. Mereka menyebar ke mana-mana sesuai arus kepentingan yang mereka miliki.
Ada yang sudah disuap dengan bintang kenegaraan. Ada yang menghadapi masalah hukum dan tidak punya duit untuk bayar pengacara. Ada yang tetap semangat, tapi kurang job akibat dana seret.
Oh ya, isu PKI ini tidak bisa jalan tanda demonstrasi bukan? Bisnis sub-kontraktor demo kabarnya juga lesu. Seperti semua bisnis sekarang ini.
Pandemi Covid-19 membuat isu G30S dan PKI, yang biasanya meledak seperti mercon menyambut Lebaran itu, agak mejan. Selain itu, tahun ini juga bukan tahun politik. Memang ada pilkada, tapi isu PKI tidak laku di level pemilihan daerah. Dalam pilkada, pemilih lebih tertarik pada uang yang ditaburkan oleh para kandidat, atau lebih tertarik pasang taruhan.
Tapi, toh mercon G30S dan PKI ini tidak hilang. Seorang mantan jenderal, yang menurut Luhut Binsar Panjaitan (juga mantan jenderal) “birahi kekuasaannya terlampau besar,” akhir-akhir ini sangat aktif mengingat-ingatkan publik soal G30S dan PKI. Agaknya, beliau ini yang akan meneruskan mantel yang sebelumnya dipegang oleh seniornya, seorang jenderal pensiunan yang sekarang tiarap itu.
Isu ini, seperti yang saya katakan di atas, adalah mercon. Ia berdaya ledak, cukup membikin gangguan, namun tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Politisi yang mengeksploitasi isu ini mungkin jadi populer. Ia banyak dipuji dan jadi pahlawan untuk sebagian orang. Namun dimaki dan diolok-olok oleh sebagian yang lain.
Namun ya begitulah. Menjadi politisi mercon tidak akan pernah membawamu ke kursi kekuasaan. Kamu mungkin diundang ke ILC atau Mata Najwa sekali dua kali. Orang bertepuk tangan atas keberanianmu mengecam penguasa dan sebagainya.
Sayangnya, tepuk tangan itu berhenti di sana. Juga mungkin berhenti di dua-setengah-juta-rupiah honormu memaki dan mengkritik penguasa. Di posisi itulah kamu tepat disebut sebagai pahlawan: diupah baru melawan.
Politisi yang serius akan ikut partai. Atau, kalau ia kaya raya, ya bikin partai sendiri. Yang lebih serius lagi, maju ke pemilihan entah sebagai presiden, anggota legislatif, gubernur, bupati, wali kota, bahkan kepala desa. Di sanalah kekuasaan yang sebenarnya berada. Bukan di ILC, bukan di Mata Najwa.
Bahkan menjadi oposisi pun membutuhkan sesuatu yang jauh lebih serius ketimbang sekadar bakar mercon. Oposisi terhadap Soeharto dan Orde Baru dulu pun tidak dilakukan dengan ledakan retoris sambil nangis-nangis atau pidato berapi-api.
Memang ada juga sih bagian itu, tapi hanya sedikit. Bagaimana tidak? Setiap merconmu bunyi pada era Orde Baru itu, ndasmu harus siap dibedil tentara (termasuk oleh mantan tentara yang sekarang sigap bakar mercon itu). Oposisi Soeharto pada era itu, tidak protes lewat komedi omong belaka, namun lewat pengorganisasian serius. Sebab, menjadi oposisi itu adalah kerja berbahaya.
Sekarang kita bisa lihat organisasi seperti Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang didirikan beberapa minggu lalu itu, misalnya. Dilihat dari penandatangannya, saya kira sebagian besar adalah orang-orang yang sama, yang profesinya hanya menyalakan mercon.
Selama bertahun-tahun pekerjaan mereka ya cuman satu itu: berbunyi dan berbunyi. Sesekali mengklaim kejayaan masa lalunya yang sekarang berkarat.
Namun yang ajeg selalu ada adalah mengeluh dan mengeluh. Politik mereka adalah grievances (keluhan). Sebagian besar dari mereka adalah elite. Atau paling tidak merasa sebagai bagian dari elite.
Saya kerap ditanya jurnalis-malas-belajar tentang soal-soal seperti ini. Jawab saya kadang asal saja. Kalau mau jadi politisi serius, ya mbok mencalonkan diri jadi bupati atau kades di mana, gitu.
Kalau hanya omong sana-sini, saban hari deklarasi, bikin seminar, bikin talk show, atau bikin kacau seminar orang lain dengan keluhan… ya mungkin itu menghibur namun tidak mengubah apa-apa. Tidak mengubah nasib bangsa, juga tidak mengubah nasib sendiri.
Kembali ke isu G30S dan PKI. Kalau Anda perhatikan, isu ini tidak muncul di daerah-daerah. Tidak muncul saat pilkada. Ini isu nasional yang biasanya diangkat media-media nasional. Itu juga petunjuk bahwa setiap isu politik itu “manufactured” alias bisa dibikin.
Untuk kali ini, Gatot Nurmantyo dan kawan-kawan sedang rajin menggiring isu G30S dan PKI. Masalahnya, rakyat yang sedang susah karena pandemi ini tidak terlalu menanggapi. Barangkali karena kebangkitan gelombang pandemi lebih terasa nyata daripada gelombang isu kebangkitan PKI. Wajar kalau naga-naganya mercon ini pun mejan, tidak meledak. Seperti mercon kena air.
Di sisi lain kita harus akui, kenekatan memunculkan isu ini, di tengah-tengah penderitaan rakyat menghadapi pandemi, sebenarnya telah memperlihatkan betapa tidak sensitifnya politisi mercon ini. Bukan isunya yang salah, menurut saya, tapi politisinya yang tidak punya pemahaman serta empati sedikit terhadap persoalan rakyat kebanyakan.
Orang-orangnya pun selalu sama. Ada yang sudah menghuni kubu ini puluhan tahun dan tidak pernah berhasil menjadi apa pun. Mungkin lebih bermanfaat kalau orang seperti itu jualan pecel lele saja. Lagi pula keuntungan pecel lele selama periode puluhan tahun mengeluh itu mungkin bisa dipakai untuk beli tanah di desa dan hidup tenang sebagai petani.
***
Lain kali, kalau Anda mendengar mercon dari politisi-politisi ini bayangkanlah hidup tanpa faedah itu…
…sia-sia dan tak berguna. Malas, egosentrik, dan narsistik.
BACA JUGA Jokowi, Ahok, dan Kloset yang Ditukar dan tulisan Made Supriatma lainnya.