Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Politisi Mercon Isu PKI yang Mulai Mejan Gara-gara Pandemi

Made Supriatma oleh Made Supriatma
27 September 2020
A A
Politisi Mercon Isu PKI yang Mulai Mejan Gara-gara Pandemi

Politisi Mercon Isu PKI yang Mulai Mejan Gara-gara Pandemi

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Pandemi Covid-19 membuat isu G30S dan PKI setiap September, yang biasanya meledak seperti mercon menyambut Lebaran itu, agak mejan.

Tahun ini, Hari Raya Orde Baru yang biasa dirayakan pada 30 September, agak sepi. Biasanya, pada awal September orang-orang sudah mulai disuguhi segala macam ancaman kebangkitan PKI. Sialnya, tidak ada seorang pun bisa menyebutkan bentuk fisik apa itu PKI.

Tahu bulat yang digoreng dadakan lebih nyata ketimbang PKI. Tapi, toh isu PKI yang digoreng-dengan-cermat-dan-bukan-dadakan ini tetap laku. Minimal, laku untuk media.

Orang-orang yang jualan isu PKI sekarang banyak yang sudah berpisah. Mereka menyebar ke mana-mana sesuai arus kepentingan yang mereka miliki.

Ada yang sudah disuap dengan bintang kenegaraan. Ada yang menghadapi masalah hukum dan tidak punya duit untuk bayar pengacara. Ada yang tetap semangat, tapi kurang job akibat dana seret.

Oh ya, isu PKI ini tidak bisa jalan tanda demonstrasi bukan? Bisnis sub-kontraktor demo kabarnya juga lesu. Seperti semua bisnis sekarang ini.

Pandemi Covid-19 membuat isu G30S dan PKI, yang biasanya meledak seperti mercon menyambut Lebaran itu, agak mejan. Selain itu, tahun ini juga bukan tahun politik. Memang ada pilkada, tapi isu PKI tidak laku di level pemilihan daerah. Dalam pilkada, pemilih lebih tertarik pada uang yang ditaburkan oleh para kandidat, atau lebih tertarik pasang taruhan.

Tapi, toh mercon G30S dan PKI ini tidak hilang. Seorang mantan jenderal, yang menurut Luhut Binsar Panjaitan (juga mantan jenderal) “birahi kekuasaannya terlampau besar,” akhir-akhir ini sangat aktif mengingat-ingatkan publik soal G30S dan PKI. Agaknya, beliau ini yang akan meneruskan mantel yang sebelumnya dipegang oleh seniornya, seorang jenderal pensiunan yang sekarang tiarap itu.

Isu ini, seperti yang saya katakan di atas, adalah mercon. Ia berdaya ledak, cukup membikin gangguan, namun tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Politisi yang mengeksploitasi isu ini mungkin jadi populer. Ia banyak dipuji dan jadi pahlawan untuk sebagian orang. Namun dimaki dan diolok-olok oleh sebagian yang lain.

Namun ya begitulah. Menjadi politisi mercon tidak akan pernah membawamu ke kursi kekuasaan. Kamu mungkin diundang ke ILC atau Mata Najwa sekali dua kali. Orang bertepuk tangan atas keberanianmu mengecam penguasa dan sebagainya.

Sayangnya, tepuk tangan itu berhenti di sana. Juga mungkin berhenti di dua-setengah-juta-rupiah honormu memaki dan mengkritik penguasa. Di posisi itulah kamu tepat disebut sebagai pahlawan: diupah baru melawan.

Politisi yang serius akan ikut partai. Atau, kalau ia kaya raya, ya bikin partai sendiri. Yang lebih serius lagi, maju ke pemilihan entah sebagai presiden, anggota legislatif, gubernur, bupati, wali kota, bahkan kepala desa. Di sanalah kekuasaan yang sebenarnya berada. Bukan di ILC, bukan di Mata Najwa.

Bahkan menjadi oposisi pun membutuhkan sesuatu yang jauh lebih serius ketimbang sekadar bakar mercon. Oposisi terhadap Soeharto dan Orde Baru dulu pun tidak dilakukan dengan ledakan retoris sambil nangis-nangis atau pidato berapi-api.

Memang ada juga sih bagian itu, tapi hanya sedikit. Bagaimana tidak? Setiap merconmu bunyi pada era Orde Baru itu, ndasmu harus siap dibedil tentara (termasuk oleh mantan tentara yang sekarang sigap bakar mercon itu). Oposisi Soeharto pada era itu, tidak protes lewat komedi omong belaka, namun lewat pengorganisasian serius. Sebab, menjadi oposisi itu adalah kerja berbahaya.

Iklan

Sekarang kita bisa lihat organisasi seperti Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang didirikan beberapa minggu lalu itu, misalnya. Dilihat dari penandatangannya, saya kira sebagian besar adalah orang-orang yang sama, yang profesinya hanya menyalakan mercon.

Selama bertahun-tahun pekerjaan mereka ya cuman satu itu: berbunyi dan berbunyi. Sesekali mengklaim kejayaan masa lalunya yang sekarang berkarat.

Namun yang ajeg selalu ada adalah mengeluh dan mengeluh. Politik mereka adalah grievances (keluhan). Sebagian besar dari mereka adalah elite. Atau paling tidak merasa sebagai bagian dari elite.

Saya kerap ditanya jurnalis-malas-belajar tentang soal-soal seperti ini. Jawab saya kadang asal saja. Kalau mau jadi politisi serius, ya mbok mencalonkan diri jadi bupati atau kades di mana, gitu.

Kalau hanya omong sana-sini, saban hari deklarasi, bikin seminar, bikin talk show, atau bikin kacau seminar orang lain dengan keluhan… ya mungkin itu menghibur namun tidak mengubah apa-apa. Tidak mengubah nasib bangsa, juga tidak mengubah nasib sendiri.

Kembali ke isu G30S dan PKI. Kalau Anda perhatikan, isu ini tidak muncul di daerah-daerah. Tidak muncul saat pilkada. Ini isu nasional yang biasanya diangkat media-media nasional. Itu juga petunjuk bahwa setiap isu politik itu “manufactured” alias bisa dibikin.

Untuk kali ini, Gatot Nurmantyo dan kawan-kawan sedang rajin menggiring isu G30S dan PKI. Masalahnya, rakyat yang sedang susah karena pandemi ini tidak terlalu menanggapi. Barangkali karena kebangkitan gelombang pandemi lebih terasa nyata daripada gelombang isu kebangkitan PKI. Wajar kalau naga-naganya mercon ini pun mejan, tidak meledak. Seperti mercon kena air.

Di sisi lain kita harus akui, kenekatan memunculkan isu ini, di tengah-tengah penderitaan rakyat menghadapi pandemi, sebenarnya telah memperlihatkan betapa tidak sensitifnya politisi mercon ini. Bukan isunya yang salah, menurut saya, tapi politisinya yang tidak punya pemahaman serta empati sedikit terhadap persoalan rakyat kebanyakan.

Orang-orangnya pun selalu sama. Ada yang sudah menghuni kubu ini puluhan tahun dan tidak pernah berhasil menjadi apa pun. Mungkin lebih bermanfaat kalau orang seperti itu jualan pecel lele saja. Lagi pula keuntungan pecel lele selama periode puluhan tahun mengeluh itu mungkin bisa dipakai untuk beli tanah di desa dan hidup tenang sebagai petani.

***

Lain kali, kalau Anda mendengar mercon dari politisi-politisi ini bayangkanlah hidup tanpa faedah itu…

…sia-sia dan tak berguna. Malas, egosentrik, dan narsistik.

BACA JUGA Jokowi, Ahok, dan Kloset yang Ditukar dan tulisan Made Supriatma lainnya.

Terakhir diperbarui pada 29 September 2020 oleh

Tags: #MerconG30Sgatot nurmantyopilkadaPKIpolitisi
Made Supriatma

Made Supriatma

Peneliti dan jurnalis lepas.

Artikel Terkait

PKI dan Politik Ingatan: Dari Demonisasi hingga Penghapusan Sejarah
Video

PKI dan Politik Ingatan: Dari Demonisasi hingga Penghapusan Sejarah

27 September 2025
bti, petani, tani.MOJOK.CO
Ragam

Rumus “3S-4J-4H” Wajib Dijalankan Pemerintah Kalau Mau Petani di Indonesia Maju

28 Januari 2025
Solo Fighter PDIP vs Keroyokan di Kandang Banteng, Pilkada 2024.MOJOK.CO
Aktual

Solo Fighter vs Keroyokan di Kandang Banteng, Benarkah Jateng Tak “Merah” Lagi? 

29 November 2024
Keluarga Berkuasa: Betapa Ngerinya Jokowi Menyemai Dinasti Politik di Tingkat Daerah. MOJOK.CO
Ragam

Keluarga Berkuasa: Betapa Ngerinya Warisan Dinasti Politik Jokowi di Tingkat Daerah

26 November 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.