MOJOK.CO – Jangan main-main dengan politik kliping. Ia bisa menaikkan, sekaligus memusnahkan. Contohnya Ganefo dan Sukarno, yang gagal “diselamatkan”.
Apa yang kalian ingat dari 10 November?
Tepat!
Pertempuran Surabaya. Semua mata dan kenangan tertuju ke Surabaya. Semua ucapan mengarah kepada Surabaya.
Padahal, 10 November tidak hanya berisi salah satu dari lima pertempuran paling mematikan dalam sejarah Indonesia, melainkan juga bahwa 10 November Sukarno secara resmi membuka pesta olahraga negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin (AAA) bernama Ganefo di Jakarta. Ke-51 atlet dari negara AAA berlaga di Jakarta untuk satu misi memberitahu kepada dunia tentang “olimpiade alternatif”.
Ganefo atau The Games of the New Emerging Forces adalah peristiwa luar biasa besarnya di Indonesia. Setara dengan gema “Pertempuran Surabaya” yang memang sengaja dibuka secara resmi pada tanggal yang sama.
Tapi, mengapa raib dan tak punya jejak apa-apa?
Di situlah berlaku apa yang disebut politik kliping. Ada proses sanering, proses pengguntingan, proses siapa yang boleh ditempel di atas kertas putih sejarah Indonesia dan siapa yang bukan. Apa yang boleh diingat atau dilupakan semua siswa sekolah di seluruh Indonesia adalah praktik dari politik kliping.
Terheran-heran Anda jika mengetik nama “Ganefo” di Facebook. Betapa banyak akronim yang menjadi “istilah” itu merujuk kepada akun nama seseorang. Bukankah aneh sekali, ada nama “Ibnu Rozak Ganefo”, “Syamsul Omar Ganefo”, “Ezzstyrusa Ganefo”, “Eddy Ganefo”, “Ganefo Wati”, “Ganefo Sugiarti”, “Ganefo Putra”, “Ganefo Husain”, “Hwa Hwa Ganefo”, “Ganefo Laode”, “Ganefo Ginting”, “Ganefo Saragih”, “Gede Ganefo”, “Tumiran Ganefo”. “Ahmad Ganefo”, “Kufar Ganefo”, dan seterusnya, dan sebagainya.
Akronim “Ganefo” bukan sesuatu yang tiba-tiba saja menjadi istilah baru, menjadi lingua franca, dan bahkan masuk lebih dalam, lebih ke lubuk. “Ganefo” menjadi penanda tentang sebuah identitas yang merujuk kepada kebanggaan.
Ganefo itu mestinya sama dengan arena-arena olahraga yang lain “made in” Indonesia, seperti PON. Namun, Ganefo dan PON dalam segala hal berbeda. Termasuk dalam pembentukan politik identitas kebudayaan dalam konteks dunia.
Menempelkan nama peristiwa kepada seorang bayi baru lahir bukan sesuatu yang bekerja begitu saja, tetapi melalui proses yang intim atau apa yang kita sebut sebagai “upacara hidup”. Jika “Ganefo” bukan kebanggaan besar, mustahil ia bisa seintim itu dalam “upacara hidup” keluarga Indonesia.
“Ganefo” itu dihidupkan oleh media massa, diapikan oleh kliping. Tapi, oleh politik kliping pula, ia justru dibenamkan dalam liang gelap.
Saat “Ganefo Ginting”, “Hwa Hwa Ganefo”, maupun “Ganefo Laode” dan “Kufar Ganefo” mencari-cari apa makna nama mereka, mereka barangkali hanya mendapatkan sesuatu yang sangat asing, dari cerita lamat-lamat, atau informasi yang terlalu umum.
Terbayang saat belum ada internet, betapa susahnya Ginting, Hwa Hwa, Laode, Kufar, Ahmad, Wati, dan Tumiran mendapatkan informasi soal sepotong kata “Ganefo” yang melekat pada nama yang terus mereka bawa hingga ke liang lahat kelak.
Politik kliping yang membuat akronim “Ganefo” menjadi sesuatu yang asing dan aneh. Ia hilang dalam narasi “10 November” lewat operasi pengguntingan, operasi sanering.
Sadar dengan politik kliping seperti itulah saya pernah bikin “projek-projekan”. Disebut “projek-projekan” karena keisengan belaka selama tiga bulan bolak-balik ke Perpustakaan Nasional RI di Salemba hanya sekadar membaca rubrik olahraga. Tidak hanya rubrik olahraga, tetapi bahkan nyaris seluruh halaman koran isinya melulu, kalau bukan konfrontasi “Malaysia”, ya, “Ganefo”.
Saya merekonstruksi ulang “Ganefo” 10 November itu lewat penelusuran kembali kiping-klipingnya yang berbasis kepada koran semasa; koran yang nasibnya seperti nasib “Ganefo” itu sendiri, yakni Bintang Timur di mana halaman kebudayaannya yang terbit Sabtu-Minggu, “Lentera”, diasuh Pramoedya Ananta Toer.
Di sana, semua orang bicara Ganefo. Semua orang berlomba-lomba menamakan produk kerja ekonomi mereka dengan “Ganefo”. Tari, lagu, film, seni rupa, infrastruktur, kuliner. Jadilah ada es ganefo, jembatan ganefo, perlintasan rel kereta ganefo, kereta api ganefo, bus ganefo, dan lain-lain.
Jika bukan dengan praktik kliping, saya tidak bisa menemukan detail yang menjadi ruh bagaimana Ganefo yang bukan sekadar atau Ganefo alakadarnya (peristiwa olahraga seperti Asian Games, Olimpiade).
Ganefo telah menjadi (politik) kebudayaan baru yang diciptakan via arena olahraga. Tidak ada cara lain untuk menghancurkan kebudayaan kecuali lewat operasi kliping yang sistematis dan masif. Cabut semua kliping dari kurikulum pendidikan, dari perayaan-perayaan, dari naskah pidato, dari fakultas-fakultas keolahragaan, dari institusi negara, niscaya istilah “Ganefo” kembali raib.
Mengapa demikian? Karena “Ganefo” melekat kepada Sukarno sebagai pemrakarsa dan pemilik akronim itu. Sementara, Sukarno adalah hulu dari semua alasan mengapa pembantaian massal terjadi pada peristiwa 1965 dengan jalinan politik yang rumit dan kompleks.
Barangkali, inilah yang dipikirkan Achmad H.A. Notosoetardjo saat jelang kejatuhan Sukarno pada 1966, berusaha menyelamatkan Sukarno dengan jalan kliping. Ia berpikir, Sukarno tidak “disembelih” seperti hewan kurban oleh “umat Islam” yang sedang kerasukan momok hiyong untuk menggorok siapa dan apa saja yang dekat dengan “Soekarnoisme”.
Maka, dibuatnyalah majalah Api Islam. Isinya, segala kliping yang mendekatkan Sukarno dengan Islam.
Notosoetardjo mengerahkan segala kemampuan praktik budi daya klipingnya agar Sukarno bisa selamat. Hanya sebagian kecil yang tahu bahwa Notosoetardjo adalah pencinta Sukarno garis keras lewat jalan kliping. Memang, nyaris tidak ada biografi dari pengliping tangguh ini.
Jauh sebelum Pram menyusun Kronik Revolusi sebagai pernyataan politik agar wacana revolusi tidak dikuasai wacana tunggal militerisme yang dipropagandakan Angakatan Darat, Noto sudah menyusun kliping periode ini, tetapi masih dalam bentuk manuskrip yang sudah ditik rapi. Warung Arsip menyimpan satu kopi manuskrip kronik yang dibikin lewat praktik kliping mengagumkan itu.
Tanpa kliping Noto pula, kita tidak tahu detail peristiwa pidato menghebohkan “Indonesia Menggugat” yang berlangsung pada November hingga Desember 1930 itu. Notosoetardjo sukses memberi darah (konteks) kepada teks pidato Sukarno paling bersejarah dengan menampilkan detail lewat praktik kliping.
Tentu saja Noto gagal. Ia tak bisa membendung ormas-ormas Islam membentuk laskar paramiliter lewat bantuan serdadu aktif Angkatan Darat yang anti Sukarno.
Tapi, Noto tidak mau menyerah. Saat Sukarno sudah betul-betul jatuh dan kehilangan segala pamor kuasa dengan begitu cepat, ia bertindak sendirian dengan mengumpulkan segala yang masih bisa dibaca dari Sukarno. Sebab, ia tahu bahwa semuanya bakal dimusnahkan. Maka dari itulah ia mengetik ulang apa saja yang masih bisa diketik yang pernah termuat di koran Persatoean Indonesia yang terbit pertama kali pada 1929.
Jauh sebelum Kompas mengetik ulang semua berita yang pernah mereka produksi sejak 28 Juni 1965 dan disimpan dalam Pusat Informasi Kompas (PIK), Notosoetardjo pernah melakukan secara sendirian praktik mengkliping yang langka dan purba itu. Tidak sekadar menggunting, tapi mengetiknya ulang agar tidak musnah.
Hasilnya, berbundel-bundel isi hasil tik Noto atas Persatoean Indonesia masih bisa publik lihat yang tentu saja dengan daya edar sempit. Hanya ada di tangan para kolektor kertas bekas.
Tahu bahwa saatnya Sukarno karam dan dilupakan oleh masyarakat lewat operasi cuci otak di semua bidang hidup, Noto mencoba menerbitkan ulang majalah Fikiran Ra’jat dengan meminta “persetujuan” Hatta yang masih memiliki tempat di hati rezim junta militer. Jadilah, Fikiran Ra’jat terbit secara “kw”. Noto ingin menghadirkan Fikiran Ra’jat seperti aslinya: tipografi, kertas. Semuanya. Kawe kelas satu. Yang tidak awas bakal mengira Fikiran Ra’jat yang sedang beredar saat ini adalah autentik. Padahal, itu kerja alkimia Notosoetardjo.
Kerja alkimia seperti Noto ini pula yang dilakukan oleh pemerintah (atau galeri seni[?]) Jepang dengan menghadirkan kembali koran Asia Raja yang pernah terbit di Indonesia seperti aslinya. Termasuk, jenis kertas yang dipakai. Saya mengetahui soal ini dari Antariksa yang pada suatu sore di tahun 2012 ke Radio Buku menawarkan untuk patungan membeli satu bundel besar Asia Raja. Pendiri komunitas KUNCI ini melakukan riset untuk poster-poster seni di masa pendudukan Jepang.
Di Indonesia, jenis pekerjaan yang dilakukan Noto ini bakal mustahil dipikirkan dan dipraktikkan mereka yang memiliki kuasa di lembaga-lembaga dokumentasi negara.
Memang tidak bisa. Karena, kerja kliping yang dilakukan Noto itu adalah kerja politik terakhir yang bisa dilakukannya untuk mencegah agar Sukarno tidak betul-betul musnah. Selain, tentu saja, ia berkejaran dengan waktu, usia, dan ancaman. Tidak ada satu pun orang mau berkoar-koar angkuh sebagai Sukarnois setelah 1965.
Perlawanan yang bisa dilakukannya adalah seorang diri menghitung hari yang tak pasti dengan jalan mengkliping. Tidak peduli ada yang membacanya atau tidak.
Sampai sekarang pun, tidak pernah ada lagi yang mengerjakan praktik politik kliping untuk mengembalikan kebesaran Sukarno. Sebab, kerja me-NATA sejarah, kerja me-NOTO, adalah kerja budaya, bukan kerja biologis. Ia tidak bisa diwariskan lewat hubungan darah, melainkan kesadaran budaya.
Jika sampai sekarang Indonesia tidak punya kronik Sukarno yang lengkap yang disusun dari barisan jutaan kliping, bukanlah sesuatu yang aneh. Karena, ia juga kalah paripurna di palagan politik kliping.
Salah satu kelompok manusia paling sadar tentang soal politik kliping ini justru adalah Pak Harto. The only one. Dari semua presiden, hanya Pak Harto dengan semesta kekuasaannya yang merentang begitu panjang memiliki kronik tebal belasan jilid yang disusun bersandar pada (sebagian besar) kliping yang diproduksi Kantor Berita Nasional (KBN) Antara.
Jangan main-main dengan politik kliping. Ia bisa menaikkan, sekaligus memusnahkan. Lekra kalah segala-galanya di semua bidang, salah satunya lewat politik kliping. Diasasinasi tanpa pembelaan apa pun di lapangan budaya dan pengetahuan karena operasi politik kliping yang berjalan sistematis.
Maka, saya parafrasekan lagi pernyataan jimat dari Pramoedya Ananta Toer ihwal politik kliping ini: “Dengan mengkliping, kalian tidak bisa dibohongi oleh kekuasaan apa pun.”
Selamat Hari Ganefo, Selamat Hari Pahlawan dengan tanpa kliping “Pertempuran 10 November”. Karena, bahayanya jika kliping-kliping itu muncul, cerita yang sekarang kita anggap sebagai common sense bisa berubah 180 derajat.
Lewat praktik politik kliping, yang terpinggirkan bisa kembali ke panggung, sementara yang sudah kadung di panggung dengan sorotan lampu warna dan warni lewat proses manipulatif, bisa limbung seketika.
Selamanya praktik kliping itu kegiatan politik. Itu.
Muhidin M Dahlan ~ Ganefo, Olimpiade Kiri di Indonesia (2016) – warungarsip.co
BACA JUGA Tak Ada Bung Tomo di Pertempuran 10 November dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.