Harian Kompas edisi Jumat, 15 Juli 2016 memasang kabar penetapan kepala sebuah rumah sakit dan sejumlah perawat di Jawa Barat terkait masalah vaksin palsu sebagai headline mereka hari itu. Berita tersebut ditemani kabar tentang amnesti pajak dan cuplikan singkat artikel dari tahun 1972 soal Tapol Pulau Buru. Pada sepertiga bagian bawah halaman muka, ada dua berita. Satu tentang tingkah Tiongkok yang ingin mendominasi seluruh Laut Cina Selatan. Sementara tempat terhormat berita feature menjadi milik… Pokemon Go!
Harian nomor wahid di Indonesia itu membuka artikel dengan potongan dialog anime Pokemon, tentang pesan perpisahan Ash Ketchum dengan ibunda. Huruf-huruf yang dicetak miring itu menceritakan kembali cuplikan kartun Jepang tahun dari tahun 1998, menjajarkannya dengan fenomena video game augmented reality (AR) dari semesta imajiner yang sama, 17 tahun setelahnya.
Fenomena Pokemon Go sangat menarik untuk dilihat secara sosial dan psikologis, sebagaimana artikel yang bersangkutan membahasnya. Semua media ‘serius’ di seluruh dunia tak mau ketinggalan membahasnya, lintas platform, termasuk mojok.co.
Kesuksesan permainan virtual yang sebenarnya masih pada tahap janin itu, menunjukkan kejelian developer-nya mengoptimalkan teknologi berbasis nostalgia. Ia menggabungkan masa depan dan masa lalu pada komposisi yang pas.
Bagi pembaca yang lebih menyenangi pemikiran kiri, barangkali akan melihat fenomena ini sebagai tidak lebih dari eksploitasi kelas menengah demi kepentingan profit semata. Tidak masalah, toh saya sendiri mengagumi para tokoh kiri terkemuka seperti Paolo Maldini dan Roberto Carlos. Hehehe
Tapi dari perspektif pemakai, ya kita-kita ini, tentu ada poin lebih yang membuat permainan ini begitu sensasional hingga perangkat lunaknya telah diunduh berjamaah secara ilegal.
Pokemon adalah sebuah franchise yang populer nan melegenda. Akarnya merambat dari komik, kartun, video game, kartu, tazos, dan merchandise lainnya. Dari tahun 90-an sampai sekarang, sudah ada enam generasi Pokemon (yang ketujuh akan keluar akhir tahun ini). Konon jumlah total spesies Pokemon dari keenam generasi itu sudah mencapai 721 spesies.
Sulit untuk dipungkiri, generasi Pokemon yang paling memorable adalah dari kawanan perintis, alias ke-151 Pokemon Gen 1. Dari generasi ini, nama-nama termasyur seperti Charizard, Bulbasaur, Moltres, Mewtwo, dan tentu saja Pikachu, berasal.
Meskipun telah ditumpuki lima generasi lain yang membawa 600 lebih Pokemon baru, tapi rasa cinta terhadap angkatan paling sepuh ini ternyata masih terlampau masif. Meskipun tidak sampai sistematis dan terstruktur.
Pemilihan Gen 1 untuk mengisi line-up Pokemon Go menunjukkan kemampuan membaca pasar yang jeli. Pengembang game–game Pokemon selama ini bersikeras untuk terus mengisi luncuran game terbaru dengan deretan Pokemon baru pula, yang beberapa bentuknya ndak mutu. Padahal, ada sentimen kuat dari basis penggemar yang menunjukkan rasa rindu terhadap generasi perdana.
Baru saat ini, pada Pokemon Go ini, keluaran mayor dari franchise tersebut memilih untuk memanggil kembali jagoan-jagoan lama mereka. Dan ternyata para veteran itu memang masih sangat memikat.
Kehadiran kembali Gen 1 kontan memancing birahi nostalgic para penggemar garis keras. Usia mereka sudah tidak muda. Tapi toh memang pemain game ini datang dari kalangan usia yang sebenarnya sudah wagu untuk memimpikan bermain bersama Pikachu dan Squirtle. Jadi tidak masalah.
Di sisi lain, mereka yang tidak terlalu kenal dengan Pokemon juga tertarik untuk menikmati. Ya mau gimana, seapatis apapun mereka terhadap Pokemon dulu, pasti orang-orang dari angkatan ini pernah dengar atau familiar dengan bentuk “Pokemon burung” dan “Pokemon tikus” itu.
Satu kriteria lagi dari angkatan penggemar ini yang meledakkan eforia Pokemon Go, yaitu melek teknologi.
Pokemon Go memang bukan permainan pertama yang berbasis AR. Tapi jelas, paling populer. Padahal bentuknya masih belum sempurna. Karena alasan teknis, beberapa dari kita rela bermain Pokemon Go dengan mematikan kamera smartphone. Jadi alih-alih menangkap Caterpie yang tampak di pohon belakang kantor, pemain sudah senang melihat ada ulat hijau digital mengambang di atas petak-petak datar a la Google Map.
Sebenarnya kualitas gambar yang ditawarkan Pokemon Go tidak istimewa-istimewa amat. Masih terasa bahwa kita sedang bermain game. Konsep reality yang diajukan AR tetap tidak bisa menyatu sempurna dengan reaility yang “benar-benar” reality.
Nyatanya, halangan itu tidak menurunkan minat terhadap Pokemon Go. Sementara kita mencaci kualitas animasi naga digital Indosiar, kita tidak keberatan terhadap performa visual naga biru Dratini. Penggemar Pokemon bisa mentoleransi kelemahan itu, dan mengisi gap yang ditimbulkan teknologi digital setengah matang dengan imajinasi mereka sendiri.
Pokemon Go, dan AR secara keseluruhan, sangat memanfaatkan kaburnya hitung-hitungan manusia terhadap realitas. Sejak ribuan tahun lalu, para filsuf memang sangat tertarik mengobrak-abrik pemahaman soal realitas demi mencari makna sejati dari konsep absurd itu.
Sekitar 2400 tahun lalu, Plato berusaha menjelaskan tingkat-tingkat realitas menggunakan analogi. Ceritanya, ada sekawanan orang yang tinggal dalam gua sepanjang hidup, sejak lahir. Mereka hanya melihat ‘dunia luar’ lewat bayangan di dinding gua. Mereka tidak melihat rusa, tapi hanya bayangan rusa. Mereka tidak melihat pohon, melainkan hanya bayangannya saja.
Suatu ketika, satu orang dari kawanan itu bisa kabur, keluar dari gua, dan melihat ‘dunia luar’. Ia terguncang karena ternyata ada begitu banyak hal yang belum pernah ia lihat, dan bahwa bayangan yang selama ini ia tahu hanyalah mencerminkan sebagian kecil saja dari apa yang ada di luar sana. Ia terkejut karena ternyata ada realita lain yang sama sekali berbeda dengan realita yang ia dan kawan-kawannya kenal selama ini.
Begitu pula Pokemon Go dan AR bekerja. Kota tempat kita hidup adalah realita. Kita kenal betul kota itu, dari setiap bangunan dan jalan yang kita lewati tiap hari. Tapi Pokemon Go menawarkan realita yang baru. Tepat di seberang warung burjo yang dulunya cuma ada tiang listrik bertempelkan iklan sedot tinja atau iklan obat telat datang bulan, kini juga dihuni tikus ungu bernama Rattata. Begitu juga dengan kolam butek di belakang masjid, yang kini ditunggui Horsea meski dari dulu satu lele pun tidak bisa betah di sana.
Tanpa perlu renovasi atau proyek pemerintah macam-macam, kota domisili kita itu kini menjadi sebuah taman bermain raksasa.
Barangkali, popularitas Pokemon Go menunjukkan sisi lain dari kehidupan kita. Barangkali, selama ini kita merasa tinggal dan hidup dalam rutinitas yang itu-itu saja. Kota adalah deretan gedung yang diikat aspal berkoreng di sana sini.
Pokemon Go sangat diminati bukan karena teknologinya cemerlang. Ia digandrungi karena menawarkan realitas baru yang menyelamatkan kita dari jerat rutinitas urban yang bikin bosan.