MOJOK.CO – Seenak-enaknya kerja di multi-national companykayak Shopee, tetap paling enak PNS. Nggak ada turnover, nggak ada PHK, nggak ada deadline.
Jujur saja, saya ini dulu sangat anti-PNS. Apa yang saya bayangkan soal ini, agaknya nggak berbeda dari kebanyakan orang. Kalian semua tahu, lah, seperti apa bayangan karyawan non-PNS soal PNS. Tapi sejak istri saya jadi PNS, sudut pandang saya berubah.
Jadi, ketika sebuah konten tentang betapa enaknya kerja di kantor Shopee, lalu banyak orang menyebutnya profesi idaman, saya langsung terkekeh. Well, lingkungan pekerjaan di kantor Shopee memang “memanjakan” karyawannya. Banyak snack gratis, sampai toilet serba “tap-tap-tap” dan kamu bisa cebok secara otomatis.
Buat banyak orang, lingkungan tersebut dianggap sebagai lingkungan terbaik untuk menunjang karier. Yang mana saya setuju saja. Namun, kalau membandingkannya dengan PNS dengan narasi “lebih enak” kok kayaknya gimana gitu. Yah, jadi karyawan swasta memang menarik, tapi PNS rasa-rasanya masih lebih jadi pilihan. Trust me, deh.
Jadi, sepanjang karier saya selama tujuh tahun terakhir, semua dihabiskan sebagai karyawan swasta. Sekitar 5,5 tahun sebagai wartawan, 1,5 tahun terakhir di tech company. Sampai sebelum istri saya diterima jadi CPNS, saya masih bangga jadi karyawan swasta. Tapi begitu istri saya terima SK pengangkatan dan terima gaji pertama, pikiran saya berubah 180 derajat!
Di titik itu, saya bisa memahami kenapa tiap tahunnya, peminat tes CPNS selalu membludak. Di angkatan istri saya saja pada 2021 lalu, total ada tiga juta pelamar. Padahal, formasi yang dibuka hanya 676.733. Kurang dari sejuta!
Artinya, 77% lebih dari total pelamar itu, dipastikan bakal gigit jari. Angka tiga juta itu sendiri sejatinya termasuk kecil. Ketika CPNS 2019, Badan Kepegawaian Nasional (BKN) menyebut jumlah pelamar ada di angka 5,5 juta.
Lalu kenapa PNS selalu ramai peminat? Saya bukan expert soal ini, tapi izinkan saya menuliskannya berdasarkan pengalaman pribadi.
Jam kerja PNS yang fleksibelnya kebangetan
Kita mulai dari jam kerja. Satu hal yang hampir selalu jadi “jualan” perusahaan swasta adalah jam kerja. Dengan cara persuasif dan pilihan kalimat yang amboy sekali, perihal jam kerja biasanya disebut flexible working hours.
Di era di mana work life balance jadi impian, kata fleksibel tentu terasa menarik buat orang swasta kayak di Shopee. Tapi orang lupa, fleksibel itu tak melulu soal kerja 9 to 5 tapi juga kerja 9 to 9 alias dari pagi sampai malam atau sampai ketemu pagi lagi! Hahaha!
Di ranah PNS, setidaknya di konteks istri saya, jam kerja ini terasa ringaaan sekali. Di bulan puasa ini, istri saya masuk kantor pukul delapan pagi, lalu pulang pukul tiga sore. Bahkan saya belum tutup laptop atau selesai rekap daily report di kerjaan harian, istri saya sudah pulang ke rumah dan rebahan menunggu waktu buka puasa. Edan, enak betul!
Gaji yang “menipu”
Jam kerja sudah, kita geser ke masalah gaji. Nggak bisa dimungkiri, gaji di swasta memang menggiurkan. Gaji di swasta kayak di Shopee tuh, misal kalian bergabung di perusahaan yang oke, topping-nya melimpah.
Saya ambil contoh kantor saya sendiri. Selain gaji pokok, kami juga terima topping lain. Di antaranya adalah uang makan, uang internet, uang lembur, hingga bonus tahunan yang angkanya bisa berkali-kali lipat, tergantung pada performa kerja.
Di konsep PNS, semua berbeda. Satu-satunya yang menurut saya agak mirip dengan swasta adalah pengisian Ekin atau E-Kinerja pegawai buat PNS. Ekin ini nantinya berimbas kepada besaran Tunjangan Kinerja (Tukin) untuk PNS di pusat atau TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai) untuk PNS di Pemda. Jadi teknisnya, semakin aktif si PNS di daily works mereka, semakin menggiurkan angka Tukin/TPP yang mereka terima.
Karena istri saya adalah PNS yang “lahir dan dibesarkan” oleh perusahaan swasta (istri saya dulu kerja di salah satu e-commerce dan masuk dari Senin-Sabtu tiap pekannya!), hustle culture ala swasta dia bawa ke pekerjaan barunya. Bahkan dengan gaji CPNS yang masih 80% dari gaji normalnya selama setahun ke depan, angkanya sudah cukup bikin saya geleng kepala.
Jadi kalau kamu punya teman PNS dan bilang gajinya cuma Rp2 juta, jangan langsung kasihan! Rp2 juta itu cuma gaji pokoknya. Itu belum Tukin atau TPP. TPP pun masih dibagi lagi dalam tiga jenis pendapatan. Mulai dari beban kerja, prestasi kerja, hingga kondisi kerja. Dan asal tahu saja, nominal ketiganya ini berbeda dan angkanya lumayan banget. Jadi jangan salah, topping gaji para PNS ini juga menggiurkan.
Yang terakhir dari perkara gaji ini, PNS juga masih terima berbagai tunjangan. Mulai dari tunjangan keluarga (suami/istri) sampai tunjangan anak (maksimal dua anak).
Nominalnya masing-masing 10 dan dua persen dari gaji pokok. Uang receh, sih, tapi ya lumayan buat nyicil saham atau jajan reksadana tiap bulannya. Ini baru PNS level umbi-umbian ya. Kalau misal sudah jadi JPT (Jabatan Pimpinan Tinggi) atau minimal jadi Kabid atau Kadis di Pemda/Dinas setempat, angka tunjangan ini bisa makin gede.
Secara teknis, sebenarnya baik swasta kayak di Shopee atau PNS sama-sama menggiurkan dari sisi duit. Swasta, normalnya, memang punya gaji lebih besar dari PNS, tapi semakin besar gaji, kamu sebagai karyawan swasta, biasanya, semakin banyak yang dikompensasi. Misal waktu, tenaga, hingga pikiran. Tapi kalau kalian berminat ikuti jejak istri saya, banting setir jadi PNS, layak jadi pertimbangan. Mindset terbiasa jadi karyawan swasta yang fast-paced, bisa bikin kamu jadi PNS yang efektif dan efisien.
Misal saja, kamu jadi PNS di jabatan fungsional. Normalnya, kamu bisa naik jabatan dalam dua tahun. Kalau kamu kerja dengan cara ala karyawan swasta yang visioner dan satset, naik jabatan di instansi kerja kamu adalah keniscayaan. Itu di atas kertas ya, dengan asumsi tidak ada hal-hal non-teknis yang you know, lah. Hehehe.
Oleh karena itu, saya percaya, seenak-enaknya kerja di multi national company, tetap paling enak memang jadi PNS. Nggak ada turnover, nggak ada PHK, nggak ada deadline. Plus, mau apa-apa juga lebih enak dan gampang, termasuk ngajuin KPR ke bank.
BACA JUGA Memahami Jerat Pikat Marketplace kayak Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee dan analisis lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno