“Perkara ndak ikut nyoblos Pilkada kok sampai dicap ndak nasionalis.
Sini tak coblos hatimu aja, biar kalo ngomong dipikir dulu”
Manusia akhir zaman itu hampir sama gagapnya dengan mahasiswa semester akhir. Kenapa sama gagapnya kayak Si Aziz Gagap? Karena gerak-gerik mahasiswa semester akhir ini terbata-bata, tak mampu jauh dari kekasih hatinya, laptop, beserta carjer. Kekasih keduanya adalah dosen pembimbing, atau bisa-bisa kekasih yang ketiga adalah sang kajur karena sewaktu-waktu butuh tanda tangan beliau untuk ijin cuti karena tak kuat menanggung hajat. Sungguh, baper skripsi tak pernah ada tandingannya.
Hingga si mahasiswa ini makin gagap saat ditanya penjual nasi campur, “Sudah semester berapa, Mbak?”. Demi mengindari pertanyaan begituan, dan untuk mengubur aib, dibela-belainlah masak Indomie saban pagi sampe ketemu pagi lagi.
Hajat skripsi memang membuat si mahasiswa bela-belain ndak pulang kampung saat lebaran, atau sumet kembang api saat tahun baru. Biarlah, biar yang lain makan ketupat, saya tetap Indomie saja. Semoga Anthony Salim Si Bos Indomie itu punya inisiatif bikin varian mie rasa ketupat opor buat mahasiswa-mahasiwa gagap macam kami. Sekalian salam tempel di dalam bungkusnya ya, Pak. Uhui!
Lah, itu kan kalo pas momen lebaran sama tahun baru. Kalo pas kebagian coblosan presiden seperti tahun lalu atau pilkada serentak seperti sekarang ini, gimana. Waduh! Mending nyetok Indomie satu dus daripada harus keluar kos dan ketemu penjual nasi campur tadi.
Paling males kalau nanti dapet pertanyaan, “Mbak, kemarin nyoblos siapa?”. Masak ya harus saya jawab, “Ah, Bapak kepo deh!”. Bisa-bisa wajah saya diprint di baliho super gede dan dijadikan peringatan blacklist agar manusia dengan wajah serupa saya ini ndak boleh lagi makan nasi dan ayam gorengnya. Oh, iya, sekalian balihonya bisa dijadikan terpal warung. Ah, sial!
Jawaban yang paling memungkinkan dan memilukan bagi saya, “Saya ndak nyoblos, Pak. Hehe.” Saya bisa membayangkan wajah Si Bapak dengan brengos tebal itu seperti apa begitu keluar kalimat itu dari mulut mahasiswa kritis (kritis darurat, bukan kritisnya aktifis) macam saya. Matanya menyodok-nyodok kelopak seakan ingin keluar, dan brengosnya bergetar mengisyaratkan keinginan kuat untuk menampar saya. Seakan harkat martabat saya sebagai Warga Negara Indonesia—yang setia mengingatkan Mamah-Papah untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan—hancur begitu saja di mata Si Bapak.
Mungkin Si Bapak mau teriak-teriak kayak selebtwit keren yang punya nasionalisme setinggi langit di angkasa, “Dasar enggak nasionalis! Ndak mensukseskan demokrasi Endonesa!”
Waduh, bisa apa mahasiswa ingusan seperti saya ini melawan Si Bapak yang berusia separuh abad lebih. Apalagi di hadapan brengos tebelnya, aku hanya kuah opor ayam yang nyangkut. Makanya, nyetok mie satu kardus itu lebih masuk akal buat saya . Om Anthony Salim, ingatlah tulisan saya ini bisa menaikkan kurva penjualan mie-nya situ, lhoh. *Kedip-kedip mata*. Cling!
Adegan-adegan itu yang terus menghantui saya beberapa hari ini.
Sebenarnya, bukan karena ndak nasionalis juga saya ndak ikutan nyoblos. Apalagi saya penggemar berat Bu Tri Rismaharini—bahkan pernah saat saya ketemu di kondangan sodara, beliau kebetulan diundang dan saya ngintilin beliau sampe saya hafal makanan apa saja yang dipilih Si Ibu di atas meja prasmanan. Tapi apa daya, Bu, saya ndak bisa menggunakan hak pilih saya karena hajat saya sekarang ini lebih urgen.
HAJAT APA YANG LEBIH PENTING DARIPADA IKUT BERPARTISIPASI MENSUKSESKAN DEMOKRASI ENDONESA?!
Mahasiswa seperti saya ini, yang sedang melakukan riset mengenai keberlangsungan kota—macam Surabaya—sungguh sedang berjuang untuk Endonesa dengan cara berbeda. Pekerjaan saya menilik-nilik taman kota, saya rasa akan membuahkan gagasan baru yang mungkin memberi manfaat besar untuk kampung halaman saya atau tempat-tempat lain. Ya, saya sedang meneliti manfaat taman pada kota metropolitan. (Asik, colongan judul).
Saya sangat setuju jika suara-suara rakyat sangatlah penting demi keberlangsungan bangsa yang baik. Saya juga sangat setuju dengan perkepoan orang-orang untuk saling menanyakan kemarin nyoblos apa, karena hal itu merupakan bentuk euforia berdemokrasi. Saya juga ngikutin hestek #Kepoin Pilkada dan #Pilkada2015 kok. Tapi saya ndak setuju dengan cap bahwa saya ini tidak menjunjung tinggi nasionalisme. Hih!
Saya tekankan lagi ya, menjadi manusia akhir zaman sama peliknya dengan mahasiswa semester akhir, karena mereka sama-sama kesulitan dalam situasi yang mengharuskan pilihan, terkadang mereka harus memilih satu hal dan meninggalkan hal-hal lain. Maka tidak pulang ke kampung halaman dan tidak nyoblos itu adalah pilihan yang harus saya ambil, guna (((menuntaskan visi-misi yang lebih besar lagi untuk bangsa dan negara.))) KPU juga sih, kok ya ndak menyediakan mekanisme biar perantau kayak saya bisa nyoblos tanpa harus mudik. Hareee geneee.
Bersuara itu penting, tapi bukan segalanya. Jadi ndak ada alasan untuk ndak nyoblos, dan selalu ada alasan untuk ndak nyoblos. LHOH, GIMANA SIH? Ya, pokoknya seperti itulah.