MOJOK.CO – Pesona Chairil Anwar luntur di mata istrinya karena semakin lama hanya idealisme yang rajin dirawat, bukan keluarga.
Pada 1943, Chairil Anwar—penyair terkemuka itu—semringah. Ketika itu, dia bersiap hendak menyusul kekasihnya, Sumirat—biasa disapa Mirat—yang pulang ke Paron, sebuah desa kecil perbatasan Solo dan Madiun. Mirat, yang calon pelukis itu, diminta ayahnya pulang karena cemas terhadap hubungan anaknya dengan Chairil.
Mirat terpesona dengan pengetahuan Chairil yang segudang dan kutu buku. Ketika pertemuan pertama di Pantai Cilincing, Jakarta Utara, dia terkesima.
“Ini lelaki aneh. Orang-orang datang ke pantai untuk bersenang-senang, tapi dia tenggelam dalam buku tebalnya itu,” katanya saat melihat Chairil duduk di bawah pohon sembari membaca buku, tak peduli keadaan sekitar yang ramai, seperti dikisahkan Hasan Aspahani dalam bukunya, Chairil: Sebuah Biografi (2016).
Sebelum berangkat, Chairil mengirim kartu pos dengan puisi “Sajak Putih”. Selama dua minggu, Chairil menumpang menginap di rumah Mirat. Di hari terakhir, dia hendak melamar Mirat. Tapi, takdir berkata lain.
“Anak cari kerja dulu yang baik dan tetap, nanti kita bicarakan lagi,” kata orang tua Mirat kepada Chairil.
Nasihat ayah Mirat sangat telak. Memukul segala obsesi cinta Chairil kepada Mirat. Chairil kalah.
“Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras, menuntut tinggi tidak setapak berjarak dengan mati…,” begitu tulis Chairil di puisi “Mirat Muda, Chairil Muda” (1949).
Beberapa nama perempuan pun hadir silih-berganti—meski semua tak berakhir menjadi pacarnya. Ada Sri Ajati, Ida Nasution, Gadis Rasid, Dien Tamaela, Karinah Moordjono, sampai Hapsah Wiraredja. Semua perempuan itu diabadikan dalam puisi-puisinya. Namun, hanya nama terakhir yang dia nikahi.
Seharusnya, nasihat orang tua Sumirat menjadi alarm bagi Hapsah. Itulah inti kehancuran rumah tangga mereka.
***
Perang mempertemukan Chairil dengan Hapsah di Karawang, Jawa Barat. Pada akhir September 1945, tentara Belanda alias Netherlands Indies Civil Administration (NICA) masuk Jakarta.
Bersama kawan-kawannya dari asrama Menteng 31, Jakarta, Chairil mundur ke Karawang. Karawang dan Bekasi menjadi basis tentara rakyat sebagai konsekuensi dari keputusan Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang menetapkan Jakarta sebagai kota diplomasi.
Melalui pertemuan yang tak direncanakan di sawah, Chairil dan Hapsah berkenalan selama tiga bulan saja dan langsung naik pelaminan pada 6 Agustus 1946. Tak ada panggilan sayang yang mesra dari Chairil kepada istrinya yang bertubuh agak besar itu. Chairil memilih memanggilnya “gajah”. Begitu saat dia memperkenalkan Hapsah ke HB Jassin dan koleganya yang berkunjung ketika lebaran.
Meski dikarunia seorang putri, kehidupan rumah tangga Chairil dan Hapsah sangat dingin. Dalam pengakuannya kepada wartawan Ekspres, 28 April 1972, Hapsah tak mengerti dunia seni yang digeluti Chairil. Dia mengatakan, Chairil bukan tipe suami ideal.
Suatu hari, Chairil Anwar pernah berkata. “Saya cinta kepada istri, tapi lebih cinta kepada cita-cita.” Hapsah mengeluh, dia dinomorduakan.
Chairil Anwar pun selalu mengutamakan membeli buku daripada memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. “Kalau ia ada uang, kalaupun tahu kekurangan bahan dapur, ia tak hiraukan. Untuk hari esok, apa katanya esok,” kata Hapsah.
Chairil memang pelalap buku yang gila. Dia bisa membaca di dalam bus, di toilet, atau menghabiskan waktu berjam-jam makan sambil membaca.
Kegemarannya membaca, tapi tak punya duit, mendorongnya menjadi pencuri buku paling lihai. Bahkan, mengutip Hasan Aspahani, dia jadi andalan kawan-kawannya mencuri buku. Salah seorang pelanggannya adalah jurnalis Mochtar Lubis. Mochtar memintanya mencuri buku, dengan imbalan Chairil bisa ngutang sepuasnya.
Toko buku incaran Chairil adalah van Dorp dan G. Kolff, dua toko buku dengan koleksi yang luar biasa pada masa kolonial. Masalahnya, Chairil pernah salah mencuri. Alih-alih ingin mengambil buku karya Nietzsche, yang dicuri malah kitab Injil. Keduanya sama-sama bersampul hitam dan ditaruh di rak buku filsafat dan agama.
Sang istri, Hapsah, pernah berkisah, dahulu tawaran bekerja di kantoran pernah datang ke Chairil. Tugasnya, menerjemahkan buku-buku. Chairil dapat perlakuan istimewa. Dia diizinkan ke kantor sesekali saja dan honornya cukup tinggi. Namun, tawaran itu Chairil tolak.
“Ia tidak mau dipaksa. Pernah ia katakan, saya harus menulis kalau ada inspirasi, tidak bisa dipaksakan. Saya tidak mau menulis dengan suatu keharusan atau ikatan,” ujar Hapsah.
Ikatan yang dimaksud adalah mesti berkantor. Kesempatan bekerja sesuai bidangnya itu Chairil tolak karena menganggap kantor itu mengikat. Hapsah pun pernah memintanya untuk hidup normal dalam berumah tangga. Namun, Chairil tidak mau.
“Akhirnya saya memaklumi bahwa Chairil sebagai seniman. Dan, bagi seniman, ketika itu lebih baik jangan kawin. Sekali lagi untuk pada waktu itu karena dengan beristri dirasakan pula adanya ikatan,” tutur Hapsah.
Hasan Aspahani menulis, buku-buku adalah benda kesayangan Chairil, tetapi buku-buku itu pula yang menjadi penyebab Chairil diusir istrinya. Walau sudah berumah tangga, Chairil tetap hidup dalam bayang-bayang ke-aku-annya.
Salah seorang kawan Chairil, pelukis dan pengarang Nasjah Djamin di buku Hari-Hari Akhir Si Penyair (2013) mengisahkan setelah diusir Hapsah, suatu malam Chairil berkunjung ke gubuk pelukis Soedarso di Pisangan Lama, Jatinegara, Jakarta Timur. Ia membawa buku-bukunya satu becak penuh. Ia hanya semalam tidur di sana. Paginya, ia pergi dan meneruskan hidup menggelandang.
Biduk rumah tangga Chairil-Hapsah pun harus berakhir pada 1948 dengan perceraian. Hapsah lalu menikah lagi dengan Ahad Natakusumah.
***
Ketika sedang dilukis Nasjah dan kawan-kawannya di kantor reklame bioskop di Pasar Senen, Jakarta Chairil dengan tengilnya pamer menulis dua buku. Buku pertama kumpulan sajak, yang dia akan beri judul “Yang Terampas dan Yang Putus”.
“Kalau aku nanti terima honorariumnya, aku akan kawin lagi sama biniku! Ini kukerjakan untuk merebut biniku kembali,” kata Chairil Anwar nyerocos, dikisahkan kembali Nasjah.
Tak dapat disangkal, Chairil Anwar memang sangat mencintai istri dan anaknya, Evawani. “Kasihan Evawani. Aku sayang padanya, dan aku sayang pada biniku. Tapi nantilah, kalau sudah dapat honorarium buku-buku, ia akan kurebut kembali. Kami akan honeymon ke Bali.”
Kepada kawan-kawannya, Chairil mengaku memang tidak mau hidup terikat di kantor dan tak bisa teratur. Chairil berkata, dia pernah mencoba bekerja tetap sebagai redaktur di majalah Gema.
“Karena sayangku pada bini untuk penuhi belanja dapur yang tetap dan teratur. Tapi tidak tahan hidup terikat dan statis,” kata Chairil.
Chairil kemudian cekcok dengan istrinya karena berhenti bekerja.
“Memang, buat perempuan yang penting baginya ialah hidup yang terjamin, gaji bulanan yang tetap, dan hidup yang teratur. Tapi semuanya itu mematikan. Kalian ini muda-muda sudah jadi pegawai: masuk kerja jam delapan pagi, pulang jam dua siang. Muda-muda sudah jadi mesin,” ujar dia sinis.
Namun, dalam kesendirian dan kesepian, rupanya Chairil galau. Dia masih mengingat Hapsah. Maka, terciptalah sebuah fragmen yang tak pernah selesai.
“H, aku berada di kamarku sendiri. Terasa sendiri, dengan buku-bukuku lagi ketika sebelum kawin dengan kau….”
Si Binatang Jalang wafat pada 28 April 1949, setelah dirawat selama seminggu di CBZ—kemudian menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Chairil menderita tifus, TBC, dan infeksi usus.
Suami-suami dapat pelajaran dari Chairil Anwar soal ini, terutama penyair-penyair di seluruh dunia. Bahwa rumah tangga bukan sebuah rumah logika tanpa logistik. Idealis boleh, asal jangan apatis. Apalagi sampai lupa kalau kebutuhan istri dan anak tak bisa dipenuhi hanya lewat narasi-narasi puitis.
BACA JUGA Kenapa Penyair itu Kere? dan tulisan Fandy Hutari lainnya.