Rasanya memang mustahil menyebut sebuah peristiwa lebih baik dibanding peristiwa yang lain. Bukan saja karena terjadi begitu banyak peristiwa dalam setahun, tetapi juga karena baik-buruknya sebuah peristiwa ditentukan oleh cara pandang, atau pesan-pesan sponsor, atau kesukaan pada klub bola tertentu, atau kepentingan kelas yang terganggu, atau apa saja. Oleh karena itulah, alih-alih mendaulat sebuah peristiwa lebih baik dari yang lain, rasanya lebih tepat jika tulisan ini dianggap sebagai daftar ringkas dari berbagai peristiwa kontroversial di tahun 2015.
Kita mulai dari peristiwa terdekat: Kesalahan Steve Harvey yang keliru membacakan pemenang Miss Universe 2015. Momen tersebut membuat Miss Colombia yang sudah mengenakan mahkota selama beberapa menit menjadi menguburkan mimpi untuk selamanya. Tragis. Seperti sepasang kekasih sedang melakukan akad nikah, ketika tiba-tiba datang seorang ibu hamil yang mengaku sebagai istri sang lelaki. Kalau Anda pernah punya luka yang masih basah dan tiba-tiba ditetesi perasan lemon, seperti itulah rasanya. Anda tak akan sempat berteriak, dan tiba-tiba air mata akan menetes sendiri.
Tapi bagi penyelenggara Miss Universe–yang kabarnya Donald Trump dulu juga ikut berpartisipasi–peristiwa ini tentu menguntungkan. Rating acaranya melonjak tinggi dan memenuhi headline media massa di banyak negara. Coba cermati rating Miss Universe beberapa tahun belakangan yang merosot drastis. Kesalahan ini adalah publikasi dan promosi gratis.
Sampai di sini saya teringat Pramoedya Ananta Toer yang pernah bilang bahwa, “Hidup sungguh sangat sederhana, yang hebat hanya tafsiran-tafsirannya”. Karena itu izinkan saya mencoba memilih 5 peristiwa kontroversial yang terjadi tahun ini sesuai tafsiran saya. Pemilihan peristiwa ini dilakukan secara acak dan tidak dengan melalui metodologi yang ketat sebagaimana yang dilakukan Jokowi ketika memilih Puan sebagai menterinya. Ups.
Namun, sebelum membaca, saya mesti menyampaikan semacam disclaimer biar orang-orang tidak salah paham seperti ketika membaca posronda.net. Peristiwa-peristiwa ini saya pilih karena ia diikuti dengan perdebatan sesama kelas menengah yang saling menyalahkan kelas menengah yang lain. Dan dari sana kita bisa melihat bagaimana standar ganda memang dibutuhkan di mana-mana.
1. Legalisasi pernikahan sejenis di Amerika
Kalau Anda cermati, legalisasi pernikahan sejenis di Amerika ini membawa publik kelas menengah kita pada diskusi yang berkepanjangan. Segala argumentasi moral, saintifik, dan agama dikeluarkan. Ada yang menolak karena menilai LGBT melanggar ajaran agama, ada yang mendukung karena cinta adalah milik semua orang yang tidak terbatas sekat-sekat jenis kelamin, ada juga yang menyebut mereka yang berdebat atau mendiskusikannya sebagai inlander.
Yang pasti bisa dilihat adalah posisi masing-masing pihak adalah posisi yang suci dan tak tersentuh. Ingin orang lain yang berbeda pandangan untuk meyakini pendapatnya tetapi dilakukan dengan cara mengkafirkan dan sinis kepada yang lain. Ingin mencari teman dengan cara mencari musuh. Indonesia banget, ‘deh.
Angeline, gadis kecil yang diculik, disiksa, diperkosa, dibunuh, dan akhirnya dikuburkan di halaman rumahnya sendiri. Ketika berita Angeline diculik dan belum ketahuan di mana keberadaannya, banyak orang beramai-ramai bersimpati dan menyalahkan orang tuanya yang tidak bertanggungjawab. Begitu juga ketika ia ditemukan sudah meninggal. Banyak orang mengecam dan linimasa seharian menjadi begitu murung dengan simpati seputar Angeline.
Sayangnya, dari sana juga menunjukkan standar ganda yang lain. Ketika ada kekerasan sampai pembunuhan, orang ramai-ramai mengecam di media sosial. Tapi ketika kekerasan terhadap anak terus terulang, sebagian kita kadang memilih diam sambil membatin bahwa urusan semacam itu bukan urusan kita alias urusan rumah tangga orang lain. Baru ketika seseorang sudah menjadi korban dan meninggal, ramai-ramai simpati muncul. Cermati saja berita-berita kekerasan terhadap anak yang berulang kali terjadi tahu ini.
Ini aksi terorisme yang keji dan sama sekali tidak bermoral. Tapi saya tidak akan membahas peristiwa itu, saya ingin mengingatkan puan dan tuan tentang debat Pray For Paris yang terjadi dan mewarnai linimasa kita berhari-hari. Peristiwa ini menunjukkan bahwa di sini, di negeri ini, bersolidaritas sekalipun mesti taat aturan. Jadi kalau belum bisa baris-berbaris dengan rapi, jangan coba-coba bersolidaritas.
Cermati saja rentetan kalimat nyinyir yang ditujukan kepada mereka yang mengganti foto profil Facebook-nya dengan bendera Prancis: “Kalau Paris saja pada solidaritas, waktu warga Papua dibunuhi tentara pada kemana?”, “Setiap saat rakyat Palestina, Suriah dll terkena bom, kok tidak bersolidaritas?”, dan seterusnya, dan sebagainya.
Sekali lagi, Anda mesti bersuara untuk setiap isu, bersolidaritas untuk semua peristiwa, berkomentar untuk setiap kasus kemanusiaan, baru anda akan dapat legitimasi untuk bertindak sesuai kehendak (nurani) Anda.
4. Foto Jokowi ketika mengunjungi Suku Anak Dalam
Bayangkan. Di republik ini, foto-foto Jokowi ketika mengunjungi Suku Anak Dalam (SAD) jauh lebih menjadi pokok perdebatan ketimbang tawaran Jokowi untuk merumahkan SAD dan kaitannya dengan semakin habisnya hutan tempat tinggal mereka. Latar belakang pertemuan di perkebunan sawit pun sedikit sekali menjadi bahan diskusi. Yang didebatkan cuma foto-foto Jokowi dan warga SAD yang diduga sudah diskenariokan terlebih dahulu.
Setelah saya pikir-pikir, hasrat untuk berkomentar di republik ini memang lebih tinggi ketimbang hasrat untuk berpikir. Padahal kalau mau bersolidaritas dan berempati kepada warga SAD, kebijakan Jokowi tersebut bisa dikritik, semakin habisnya hutan tempat tinggal mereka bisa dipersoalkan, kian meluasnya kebun sawit juga bisa digugat. Tapi, ya memang, sih, bersolidaritas ke suku pedalaman tidak lebih seksi ketimbang mencaci Jokowi yang plonga-plongo di mana setiap hembusan nafasnya adalah lahan untuk mendengki.
5. Nikita Mirzani yang “siap pakai”
Tak ada peristiwa yang lebih menunjukkan standar ganda media NKRI tahun 2015 selain tertangkapnya Nikita Mirzani dan Puty Revita yang dijebak polisi. Luangkan waktu sejenak untuk membaca berita-berita kasus tersebut dan Anda akan melihat betapa media-media arus utama sampai perlu menggunakan istilah-istilah semacam “siap pakai”, “telanjang”, “bugil”, untuk membuat kesan dramatis dalam kasus ini. Seolah-seolah, seperti tulisan Bang Edo, pembaca tidak bisa menggunakan imajinasi dan logika, bahwa ketika seseorang lelaki dan perempuan akan melakukan hubungan seks di kamar, mereka tidak perlu bugil atau telanjang.
Tentu saja penjelasannya sederhana, istilah-istilah tersebut digunakan untuk mendramatisir suasana dan mendatangkan klik. Belum lagi jika kita mau menyimak penghakiman demi penghakiman terhadap Nikita Mirzani. Sementara, pada saat yang bersamaan, para komentator cum hakim ini tidak menuntut pengungkapan nama tiap pejabat pengguna jasa prostitusi (artis) yang konon juga sudah dikantongi polisi.
Atau jangan-jangan para pejabat ini dilindungi oleh undang-undang perlindungan konsumen?