MOJOK.CO – Ada golongan orang yang menganggap tragedi seperti di Mako Brimob kemarin atau kejadian seram lain selalu mengandung teori konspirasi.
Saya tidak tahu apakah teori konspirasi ini masuk kajian sosiologi atau psikologi. Mungkin juga masuk kategori cocokologi. Sebab, penganut teori ini bisa dengan imajinasinya mencocokkan dan mengutak atik gatuk sebuah peristiwa, menghasilkan kesimpulan yang serampangan, lalu dipakai sebagai justifikasi. Dengan demikian, teori ini bisa disebut teori Chiki. Sebab, sebagaimana jajanan Chiki, teori ini kriuk, renyah, gurih, dan enak dirasakan, tapi miskin gizi, nirvitamin, dan… katanya sih banyak vetsin alias micin.
Namanya juga teori Chiki, sudah pasti gurih. Ketika peristiwa gugurnya polisi di Mako Brimob menyeruak ke publik, tanpa mengurangi rasa duka mendalam atas gugurnya para prajurit terbaik Polri, saya menunggu penganut teori konspirasi melontarkan analisis kelas Chiki-nya terkait peristiwa tersebut. Dan, benarlah, sudah ada yang menyebut bahwa itu hanyalah settingan polisi, pengalihan isu atas naiknya dolar, dan konspirasi lainnya.
Terlepas dari kebenaran pendapatnya, jika dicermati, penganut teori konspirasi ini punya ciri-ciri luar biasa seperti berikut.
1. Punya imajinasi liar
Dia sanggup menyusun imajinasinya seperti menyusun rangkaian puzzle. Ini begini, lalu begitu, kemudian seperti ini. Runtut. Persis cerpenis menyusun plot cerita. Sayang, jalinan cerita berbentuk imajinasi ini gampang dipatahkan. Sebab, tidak didukung dengan analisis dan bukti secanggih cara Sherlock Holmes.
Kalau Anda tahu Alfian Tanjung, ya seperti itulah tipikal pegiat teori konspirasi. Kalau dikasih mik, dia bakal ngerocos soal bank, vaksin, imunisasi, dan tentu saja imajinasinya soal PKI. Menciptakan imajinasinya sendiri, dipercaya sendiri, dan mengajak orang lain mempercayai igauannya. Kalau nggak ikut pandangan dia pasti dituduh antek PKI.
Ya, jika di mata Donald Trump kita adalah orang kere, bagian dari fuqara dan masakin, di mata Alfian Tanjung, selain dirinya dan kelompoknya, semua adalah pendukung komunis. Pe ka i. Anak buah Wahyu Setiaji. Titik. Siapa Wahyu Setiaji ini? Cari sendirilah. Saya bosan menerangkan imajinasi orang.
2. Sikap sok yes
Dia menganggap dirinya sejenius Hercule Poirot. Padahal babar blas. Ketika bom Bali 1 terjadi, saya membaca analisis sok yes ini dari majalah Sabili. Awalnya, sebagaimana pencinta majalah ini, saya mengimani (hahaha) teorinya bahwa CIA ada di balik pengeboman mengerikan itu dan Imam Samudra, Mukhlas, dan Amrozi hanyalah pion. Tapi, kemudian saya meyakini ini adalah teori sampah. Sebab, trio bomber ini pun menuliskan kisahnya dan saya punya buku karya ketiganya sebelum dieksekusi.
Setahun sebelumnya, ketika menara kembar WTC meledak pada 11 September, teori konspirasi juga muncul. Bla bla bla. Percaya terserah, nggak percaya juga tidak masalah. Sebab, berdebat dengan penganut teori konspirasi sama halnya membuang waktu untuk berdebat soal apakah 3 loli Milkita memang setara dengan segelas susu.
3. Penyuka film Hollywood
Saya hakul yakin kalau penyuka teori konspirasi ini adalah penggemar berat film Hollywood. Kalau dia penggemar Bollywood, pasti dia suka nyanyi dan menari. Kalau suka Hollywood, dia pasti suka film genre eksyen-konspirasi seperti “Traitor”, “Conspiracy Theory”, “JFK”, “All President’s Men”, dan sebagainya. Namanya juga teori konspirasi, pasti ada dalang, pion, kisah berbelit, dan teori.
Jika setelah menonton film-film konspirasi lalu meyakini analisis kita bakal setajam para detektif, seharusnya kita menonton film Jackie Chan, Donnie Yen, dan Jet Li juga lalu mengimani apabila kemampuan bela diri kita bakal setara dengan mereka.
4. Antek Amerika
Lho, kok bisa? Jelas. Penganut teori konspirasi biasanya menuduh AS sebagai dalang. Mereka pelaku, kita korban. Mereka penganiaya, kita dizalimi. Narasi demikian terus saja dilanggengkan sampai meteor cokelat menghantam ladang gandum dan jadilah Koko Krunch. Makanya, saya curiga mereka ini antek Amrik yang sedang menyamar. Kok semuanya dihubungkan dengan superioritas Amrik.
Di Indonesia, penganut teori konspirasi ini biasanya nongol saat ada peristiwa yang memakan korban jiwa. Misalnya, pengeboman. Saat bom Thamrin meledak, mereka bilang ini hanya ulah pemerintah untuk mengalihkan isu. Ketika dikejar, isu apa? Mbuletlah jawabannya.
Ketika ada orang mencelakai pastur dan berniat meledakkan diri di gereja di Medan, sontak nongol teori ini. Katanya, orang kafir berniat menjelek-jelekkan citra Islam, bla bla bla disertai analisis kelas kompor meleduk. Lalu di-share rame-rame hingga terbukti pelakunya muslim dan orangtuanya minta maaf di hadapan pers. Kejadian di Samarinda juga sama. Bom diledakkan dan seorang balita menjadi korban. Lagi-lagi teori konspirasi muncul. Ini, itu, settingan polisi dan sebagainya.
Saya percaya jika setiap peristiwa terjadi karena jalinan berbagai faktor. Ada alasan rasional membuktikannya. Tapi, jika setiap kejadian, khususnya pengeboman maupun penembakan yang memakan korban jiwa dianggap settingan, teori konspirasi, pengalihan isu, dan sebagainya, saya curiga jangan-jangan mereka ini diam-diam mendukung ISIS maupun teroris berkedok agama. Teroris haruslah tetap disebut teroris. Kalau dia disebut “mujahid” saya khawatir kelak maling pun hanya disebut sebagai “pemindah barang”.
Wallahu a’lam bisshawab.
Baca juga tulisan menarik lainnya Rijal Mumazziq.