Permulaan kejadiannya adalah sebagai berikut: Tiga orang wanita dengan daster motif bunga berdiri berdempetan sambil memilih pelbagai macam sayuran yang digelar di gerobak Cak Sopyan. Saya di sisi seberang, mendengar percakapan mereka mengenai uang arisan dan sulam alis dan, pada akhirnya, pencapaian anak-anak mereka.
“Dion ikut les Inggris, Jeng,” kata wanita yang berdiri di tengah. Matanya berbinar lebih cerah ketimbang matahari pagi itu ketika ia melanjutkan, “Ya ampun, sekarang dia lancar banget ngomong Inggrisnya. Mertua saya sampai gelagapan pas diajak ngobrol Dion di telepon kemarin.”
Kedua wanita di sisinya berdecak kagum untuk kemudian bercerita mengenai pencapaian anak mereka sendiri. Wanita bersuara cempreng di sisi kanan berkata bahwa anaknya tahun depan bakal disekolahkan ke Jakarta, di sekolah yang lebih banyak mencetak siswa juara olimpiade ketimbang sekolah di daerah manapun yang tercantum di peta. Wanita di sisi satunya, yang lupa menghapus kosmetik sisa semalam sehingga wajahnya berbelang aneh, mengisahkan macam-macam les yang diikuti anaknya agar kelak ia menjadi manusia yang berguna.
Berapa usia anak mereka? Barangkali dua atau tiga belas tahun, atau lebih tua lagi. Tetapi ketika saya bertanya pada ketiga wanita itu, mereka menjawab serempak seperti paduan suara: empat tahun!
Jawaban itulah yang kemudian membuat saya kaget, tak percaya, dan kemudian membatin dalam hati: Taeeeeeeeeeeeeeek
Pola pengasuhan pendidikan seperti yang dicontohkan oleh tiga wanita tadi mungkin sekarang sudah sangat biasa dan lumrah, dan ini memunculkan sebuah pertanyaan penting bagi saya: sebenarnya, apa tujuan kita memiliki anak?
Jawabannya amat beragam dan subjektif, tetapi saya curiga bahwa motif kita memiliki anak adalah sekadar menggenapi kodrat. Pasangan yang lama menikah tapi tak kunjung memiliki anak jamak mendapat cap miring dari masyarakat. Maka, saat usia pernikahan sudah menyamai tenor kredit motor tapi telat datang bulan pun belum pernah, kelabakanlah kita. Tujuan memiliki anak tiba-tiba hanya sekadar untuk menyumpal mulut orang-orang, tidak yang lain.
Itu sama belaka dengan pernikahan; ada banyak pasangan kebelet nikah yang sebenarnya tak tahu untuk apa mereka menikah selain melengkapi ruang kosong di hati yang, mereka pikir, tak mungkin bisa diisi dengan kegiatan berguna lainnya —memelihara bonsai, atau mengurus ikan cupang, misalnya. Maka, berbondong-bondonglah mereka ke KUA, dengan membawa mas kawin sekarung mimpi utopis sembari menolak ingat bahwa pernikahan bukan kegiatan yang cocok untuk mengisi waktu luang.
Namun, mendidik anak memang lebih rumit daripada menyiapkan resepsi pernikahan. Terkadang kita terjebak dalam kerangka pikir orang dewasa yang kaku dan linier ketika berhadapan dengan anak yang berpikiran terbuka pada hal apa pun dan tampak tak terpola. Kita lebih senang mengunci pintu dan menutup jendela lalu menyuruh anak agar tidur secepatnya dengan durasi yang selama mungkin, semata agar kita tak perlu susah payah mengejarnya di halaman. Anak yang rajin duduk manis di dalam rumah selalu tampak sebagai anak ideal bagi orang dewasa, terutama mereka yang kondisi fisiknya mulai mengharukan sehingga bersahabat karib dengan param kocok dan koyo cabe.
Masih ingat dengan slogan banyak anak banyak rezeki? Itu slogan bijak di era sulit pasca-kemerdekaan. Anak dianggap sebagai investasi terbaik di masa tua, sehingga semakin banyak anak memberi jaminan pensiun yang semakin besar. Itu bila semua anaknya bekerja dan mapan dan tidak meniru kelakuan Malin Kundang.
Didorong oleh pola pikir tersebut, sembari mengesampingkan kemungkinan anaknya bertumbuh tak sesuai harapan, kebanyakan orangtua menitipkan beban yang sedemikian besar kepada anaknya supaya rajin bersekolah agar kelak menjadi pegawai di perusahaan besar, syukur-syukur bila menjadi insinyur. Di negara yang sibuk membangun, insinyur adalah cita-cita nomor satu. Penulis di nomor empat ratus dua puluh sembilan.
Masalahnya, tak semua anak senang menjadi insinyur, dan tak sedikit pula yang enggan menjadi pegawai seumur hidup. Semua anak terlahir dengan bakat masing-masing, yang apabila dikembangkan tentu akan mengantar mereka ke puncak kesuksesan. Namun, ego orangtualah yang menjadikan seorang calon maestro musik klasik berakhir sebagai seorang juru ketik Kelurahan, atau calon pemecah rekor renang Olimpiade malah sibuk menyortir paketan pos, atau penerus terbaik Karl Marx terpaksa harus jadi tukang pencatat meteran listrik.
Egoisme orangtua mendapat dukungan dari pemerintah, sedihnya begitu. Dengan kurikulum yang ada sejak dulu hingga kini, akuilah bahwa sekolah adalah peternakan manusia terbaik, yang ketika lulus akan segera diambil daging atau telur atau bulunya. Murid yang memiliki ketertarikan pada bidang menyulam atau tata rias atau fotografi, akan mendapati kesulitan besar mengembangkan bakatnya di sekolah umum, dan ketika lulus ia akan semakin gamang.
Ah ya, mengenai sekolah, ada satu kisah yang saya dapat dari Ali, teman kerja saya yang jenaka. Ia bertutur tentang anak kakaknya yang duduk di bangku kelas 1 SD dan pintar luar biasa. Lancar membaca sejak balita, sudah mengaji Quran ketika sebayanya masih gagap mengeja Juz Amma, hapal perkalian dasar hingga angka sepuluh, maka tak susah membayangkannya menjadi siswa cemerlang kelak. Dan memang itu yang terjadi; ia diganjar rangking 3 di semester pertamanya bersekolah. Itu sesuatu yang membikin bangga siapapun, kecuali orangtuanya.
“Kakakku gendheng,” kata Ali dengan paras seperti hendak menelan orang. “Dia bilang kalau seharusnya itu anak bisa dapat juara 1, kayak dia pas sekolah dulu, bukannya juara 3 yang cuma bikin malu dirinya.”
Kawan, itulah seburuk-buruknya perlakuan terhadap anak, lebih buruk ketimbang kelakuan tiga wanita di atas, dan sama jahatnya dengan menampar anak di muka umum. Anak butuh dihargai, sesepele apa pun pencapaian yang ia dapat, dan pengabaian terhadap kebutuhan itu akan mencetak remaja banyak tingkah yang kalap membuktikan eksistensinya untuk kemudian menjadi orang dewasa yang profilnya Anda temui di halaman muka koran kuning.
Maka, untuk Anda yang sudah memiliki anak, ada baiknya Anda meluangkan waktu lebih banyak untuk anak Anda. Lupakan sejenak Pokemon Go, abaikan sebentar lirikan manja istri Anda, lalu ajaklah anak Anda bermain di luar. Tanyakanlah apa saja yang ia alami dan rasakan hari ini, dan ceritakanlah apa-apa yang menarik tentang dunia yang sedang ia tinggali.
Sementara Anda yang kepingin punya anak, ada baiknya bila Anda mendiskusikannya ulang dengan pasangan. Sebelum Anda melucuti apa-apa yang bisa dilucuti malam nanti, bertanyalah pada dia dan pada diri sendiri: sudah pantaskah kita menjadi orangtua saat ini?
Dan Anda yang masih sendiri dan mulai dihinggapi rasa cemas kalau-kalau KUA roboh sebelum Anda bertemu jodoh, duduklah dengan tenang. Ambil hape Anda dan mainkan game apa pun yang Anda suka dan berhentilah berpikir bahwa memiliki anak itu enak. Indonesia termasuk negara yang penduduknya rajin sekali beranak, dan keputusan Anda untuk menjomblo hingga akhir hayat adalah KB terbaik di muka bumi, jauh lebih efektif dan murah ketimbang memasang spiral.