MOJOK.CO – Veteran pernikahan tak jarang sinis dengan pasangan yang akan atau baru nikah. “Halah, sekarang sayang-sayang, besok kalau sudah lama lihat saja.”
Sebagai psikolog yang bertugas di puskesmas, saya sudah tidak bisa menghitung berapa kali bertemu dengan pasangan yang akan menikah atau pasangan yang sudah menikah. Selama bekerja dengan pasangan yang akan menikah dan salah satu dari pasangan yang sudah menikah, saya mulai menyadari ada satu perbedaan mendasar di antara mereka.
Pasangan yang akan menikah melihat masalah hanya sebagai potensi dan mereka optimis pasti bisa menyelesaikannya. Sedangkan pasangan yang sudah menikah sering memandang permasalahan sebagai sesuatu yang nyata terpampang di depan mata.
Jika pasangan yang akan menikah selalu memancarkan optimisme, sedangkan pasangan yang sudah menikah punya kecenderungan memancarkan aura-aura sambat yang memancarkan skeptisme.
Para senior dalam kehidupan pernikahan tak jarang terkesan sinis dengan pasangan yang akan atau baru menikah. “Halah, sekarang sayang-sayang, besok kalau sudah lama lihat saja.”
Ketika awal menikah dulu, saya termasuk yang tidak nyaman dengan ocehan pahit para veteran pernikahan ini. Dalam hati, “Kalau pernikahanmu ndak bahagia, ya jangan anggap semua pernikahan akan berjalan ndak bahagia juga, dong, Sukriii!”
Mengingat usia pernikahan saya dan suami menginjak usia sembilan tahun, saya bahkan mengakui kalau saya mulai masuk pada fase-fase suka nyinyir sama muda-mudi yang kebelet nikah. Baru sekarang saya paham kenapa para veteran pernikahan punya hobi pasang wajah “liat-aja-nanti”.
Apakah semakin lama usia pernikahan pasangan yang menjalaninya semakin tidak bahagia? Misalnya ketika akhirnya saya mulai nyinyir juga, apa saya juga mulai ndak bahagia?
Bahagia atau tidak bahagia menjalani pernikahan itu soal pemaknaan. Yang sahih dari bertambahnya usia pernikahan adalah makin berkembang biaknya tantangan. Nah, diksi “tantangan” itu kan arahnya positif, kalau mau pakai bahasa negatifnya: “masalah semakin buanyaaaak, Kakaaak.”
Dulu masalah kita pikir dan selesaikan sendiri, sekarang kita jadi wajib mikirin dan menyelesaikan masalah pasangan kita. Kadang beserta masalah-masalah keluarga mertua kita.
Nah, sebagai bocah yang pinginnya leren saja, bergerak dan bekerja untuk menaklukkan tantangan itu yang bikin ndak bahagia. Kalau malesan ya gitu jadinya, tapi kalau hati dimantapkan untuk menghadapi tantangan ya yang ada malah bikin bahagia. Bahkan ketika masalahnya masih ada.
Sebagai psikolog puskesmas yang selalu berhadapan dengan calon pengantin, satu hal yang selalu saya sampaikan pada pasangan-pasangan ini adalah bahwa mereka harus selalu siap dengan segala bentuk perubahan seusai nikah.
Baik itu perubahan lingkungan, perubahan diri mereka sendiri, plus—wabilkhusus—perubahan pasangan. Misalnya… dulu kayaknya waktu pacaran asyik dan rajin-rajin aja kenapa setelah nikah jadi kayak bekicot gini ya pasangan saya?
Wajar sih. Soalnya, seseorang memutuskan nikah berdasarkan realitas lingkungan, realitas dirinya, dan realitas pasangan pada waktu sekarang. Padahal nikah merupakan panggung pertunjukan dengan durasi panjang berepisode-episode. Sepuluh, dua puluh, bahkan tiga puluh episode lagi.
Apakah diri kita masih sama dengan kita yang sekarang? Apakah pasangan kita masih orang yang sama? Atau apakah lingkungan sekitar kita masih sama seperti ini? Hm, tidak selalu kan?
Maka dari itu saya sering menekankan ke calon pengantin untuk selalu beradaptasi. Inti dari menikah itu ya saling rela beradaptasi dan berusaha tetap satu frekuensi. Tapi namanya adaptasi itu kan ndak pernah nyaman. Dari yang tadinya duit gaji dimakan sendiri, sekarang harus dibagi.
Awalnya mungkin nyaman-nyaman aja, lama-lama jadi ngerasa kurang dan kerja keras pun dipaksa jadi rutinitas. Oleh karena itu, wajar kalau para senior-pernikahan itu suka menyiratkan kalo nikah itu banyak nggak enaknya. Susah.
Kalau yang kamu harapkan dari nikah itu adalah supaya jalan-jalan ada temannya, makan ada temannya, bisa pajang foto mesra di Instagram, ya siap-siap kecewa aja. Mau nikah kok ya ndak napak bumi. Hih.
Tapi, dedek-dedek yang mau dan baru menikah tenang saja. Tak perlu terlalu khawatir dengan bayangan-bayangan seram yang digambarkan oleh para veteran pernikahan. Permasalahan rumah tangga akan datang secara bertahap dan sesuai dengan perkembangan rumah tangga. Ibarat anak SD, tentu tak kan pernah mendapati soal ujian aljabar, karena itu adalah materinya anak SMA.
Apa yang disampaikan oleh pasangan-pasangan senior, anggap saja kisi-kisi ujian. Apa yang ingin mereka sampaikan hanyalah setiap pasangan harus siap dengan realitas pernikahan. Masa depan selalu menjadi misteri, termasuk masa depan pernikahan.
Hanya saja, para veteren itu sering lupa bahwa bayi usia sebulan belum waktunya belajar berjalan dan anak TK belum waktunya berpacaran. Semua orang ada waktu dan prosesnya. Dan, nikmati saja proses yang sedang dijalani sekarang.
BACA JUGA Jangan Menikah Kalau Maunya Cuma Cari Bahagia atau tulisan Lya Fahmi lainnya.