MOJOK.CO – Kemunculan Zen Aji adalah hal yang lumrah. Internet memungkinkan seseorang menghasilkan karya dan mendistribusikannya dengan mudah. Kenaifannya bisa membuka kemungkinan baru.
Menebas banyak metode berpromosi di era media sosial, nama Zen Aji tiba-tiba saja menyeruak. Ia mengentak blantika musik yang biasanya adem ayem di awal tahun. Dari sebuah akun menfess musik di Twitter, karya dan sosoknya kini ramai dipergunjingkan.
Bukan pujian yang ia dapat, Zen Aji menjadi sasaran tembak kritik dan cemooh. Musiknya dinilai jelek, bahkan ada yang menyarankannya untuk menghapus empat lagunya di Spotify. Di antara mereka banyak pula yang ad hominem, menyerang sisi Zen Aji di luar musik.
Awalnya saya kira ia mengikuti langkah Mawang, musisi gondrong yang mencuri perhatian karena melanggar segala aturan perihal cara musisi membuat dan mempromosikan karya. Fisik? Biasa saja dan cenderung menyebalkan. Suara? Jangan ditanya. Irama musik ke selatan, vokal Mawang ngibrit ke utara, timur, dan tenggara.
Tapi justru di situ efek kejutnya. Tak butuh waktu lama, kita semua tahu bahwa Mawang besar di lingkungan seni. Ia sarjana seni dari Institut Seni Budaya Indonesia. Ia tentu mengerti estetika dan logika industri, sehingga membuat formula ajaibnya itu mujarab. Mawang lalu diundang tampil di acara TV dan merilis album. Akun Instagramnya kini diikuti lebih dari 300 ribu orang.
Mawang jeli memadukan budaya meme dengan humor absurd, sehingga memuaskan dahaga konsumen yang kerap membutuhkan sosok segar. Zen Aji berbeda. Ia serius menggarap karyanya. Setidaknya itu kesan yang saya tangkap dari wawancaranya di Instagram.
Menjadi penggila Pamungkas, Zen Aji terlihat padu bersikap layaknya sang idola tatkala menghadapi hujatan netizen. Masih ingat, kan, bagaimana cara Pamungkas menangkis hujatan terhadap polemik gesek hape penggemar ke peler-nya itu?
Zen Aji tampak sebagai seorang remaja yang sedang keracunan Pamungkas dosis tinggi. Gaya berbusana, tema dan lirik lagu yang Ia buat, hingga lirik lagu sang idola yang kerap ia kutip adalah indikatornya.
Gejala ini menjangkiti hampir semua musisi. Sebelas dua belaslah dengan para personil the Clash dan Joy Division, yang terpacu berkarya setelah menyaksikan pertunjukan live Sex Pistols.
Seperti mereka, Zen Aji terangsang untuk berkarya dan membagikannya ke orang lain. Syukur-syukur bisa diterima. Zaman sudah memungkinkan Zen Aji untuk melakukan itu. Orang mau berkarya, kok, enggak boleh? Daripada dia narkoba atau klitih ya kan?
Menjadi naif dan bahaya self-censorship
Waktu bocah saya lumayan suka menggambar. Di antara pensil warna, spidol, hingga cat air, favorit saya adalah krayon. Suatu waktu saya menemukan metode baru dalam memulas warna objek, yaitu penggradasian dan penambahan kontras warna. Bila cermat dalam memadupadankan warna, suatu objek—katakanlah matahari—akan memancarkan kesan lebih menawan.
Di sekolah, guru kesenian dan beberapa kawan terkesan dan memuji gambar saya. Belum ada yang menggunakan teknik itu di kelas. Saya merasa senang dan menang. Saya merasa pede saat orang tua mendaftarkan saya ke lomba menggambar yang diadakan satu toserba dekat rumah.
Hari-H, betapa terkejutnya saya kala melihat banyaknya bocah yang memiliki teknik menggambar lebih baik. Banyak dari mereka yang menggunakan teknik sketsa dengan pensil, ketimbang langsung menggores gambar dengan krayon. Kepercayaan diri saya runtuh. Teknik saya ternyata tidak sekeren yang saya bayangkan. Kualitas gambar yang saya buat tidak ideal, sangat jauh di bawah mereka.
Saya harus banyak belajar.
Setidaknya itu yang saya rapalkan dalam hati. Tapi namanya bocah, minat menggambar pelan-pelan terkikis. Kartun dan sepak bola secara perlahan namun meyakinkan mengalihkan dunia. Namun pengalaman kalah berkat ketidaktahuan itu selalu membekas. Dunia ternyata tak selebar daun kelor dan kita jangan seperti katak dalam tempurung.
Kenaifan juga berlaku kepada siapa saja yang memulai hal baru. Jika karyanya dinilai buruk, ya wajar. Namanya juga newbie. Lagian, terdapat ribuan musisi seperti Zen Aji, dengan lagu dan kemasan lebih mentah dan norak. Masak anda lupa dengan band asal Batam bernama Kufaku? Mereka lebih niat, lho, sampai menyewa cewek bule sebagai model video klip segala.
Bedanya dengan Kufaku, jalan Zen Aji di dunia—ehem—showbiz masih lapang. Kufaku, bersama vokalis kharismatiknya Bobi Rian, telah “matang” sebagai musisi. Tapi masakan matang saja belum cukup. Matang belum tentu enak. Yang model begini biasanya susah untuk diubah.
Zen Aji dan Bobi Rian memiliki kesamaan sifat. Orang menyebut ini sebagai kenaifan dan saya pikir kita butuh itu. Hari-hari belakangan, entah di musik atau arena lain, berapa banyak orang takut berkarya demi menghindari cemooh? Mirisnya hal itu datang dari lingkungan terdekat seperti keluarga dan pertemanan. Anak suka menggambar dibilang “mau jadi apa nanti?” Ujug-ujug mengajukan diri baca puisi di acara sekolah, dibilang sok nyastra atau sok nyeni.
Beberapa hari lalu ramai video dua siswa di SMPN 1 Ciawi, Bogor yang menari di depan teman-teman sekolahnya. Aksi mereka mengundang sorak sorai penonton. Sampai sini tidak ada yang aneh. Tapi seseorang di Facebook mengomentari kegiatan tersebut dengan kata-kata paranoid, menilai mereka sebagai generasi rusak yang jauh dari ajaran Islam.
Dari Facebook menyebar ke Twitter dan tentu Instagram. Bola liar bergulir bak avalans, sampai-sampai pihak sekolah meminta maaf dan menyatakan bahwa tidak ada ekskul menari di sekolah tersebut. Caption pada postingan Instagram itu sepertinya sudah diubah setelah Agnez Mo mengomentari sikap sekolah. Menurut sang diva, ketimbang minta maaf, sekolah justru harus membanggakan siswanya yang berprestasi.
Lihat, kan? Sudah lingkungan terdekat tidak mendukung, anak-anak harus menghadapi dakwaan netizen yang siap menyantap mental dan psikis mereka dengan buas. Walhasil akan ada banyak anak yang malu mengekspresikan diri dan bakatnya. Kita akan semakin kekurangan bakat-bakat di bidang seni dan budaya.
Merasa takut mendapat cemooh, mereka akan melakukan self-censorship demi berkompromi dengan moralitas dan konvensi umum. Frasa ‘bakat terpendam’ akan semakin erat digenggam anak-anak muda.
Kenaifan sopir truk asal Mississippi
Alkisah hidup seorang bocah kelahiran Tupelo, Mississippi yang amat senang menyanyi. Ia berasal dari keluarga miskin. Sang ayah adalah penipu yang membuat nasib keluarganya terlunta, sampai harus menumpang hidup ke kerabat. Di balik keterbatasan, ia menemukan oase saat bernyanyi. Ia sama sekali tak memedulikan cemooh teman dan guru yang kerap memandang hobinya dengan sebelah mata.
Caranya bernyanyi dinilai buruk. Lagu yang ia bawakan, pop hillbilly, dianggap musik udik. Saat menginjak bangku SMP, guru memberinya nilai C di pelajaran musik. Sang guru juga memberi catatan khusus: anak ini enggak berbakat sama sekali di bidang musik. Ia juga kerap menjadi objek perisakan karena dianggap anak mama yang manja. Benar-benar malang.
Tapi ia mengabaikan hal-hal itu mengusik mimpi bermusiknya. Tatkala menginjak usia 19, ia mengikuti audisi untuk menjadi personil grup vokal the Songfellows. Sayang, kegagalan kembali menjadi kawan. Ia bahkan didakwa tak bisa bernyanyi oleh pengaudisi.
Di masa-masa itu ia mencari nafkah sebagai supir truk. Di kala senggang, ia merekam beberapa lagu di studio Memphis Recording Service. Bilangnya, sih, untuk menghadiahi ibunya yang berulang tahun. Tapi seorang penulis musik menyebut itu akal-akalan dia saja supaya dilirik pemilik studio, Sam Phillips—yang kelak menjalankan label ternama bernama Sun Records.
Sam, sebagaimana hampir semua orang di kehidupan sang bocah, awalnya tak terkesan dengan kemampuan bernyanyinya. Tapi ia toh menugasi resepsionis kantor untuk mencatat nama bocah tersebut. Sam menggilai black music seperti blues dan membutuhkan penyanyi kulit putih untuk menembus pasar musik.
Di satu malam, ia memanggil bocah-yang-beranjak-remaja itu dan menyuruhnya untuk menyanyikan nomor balada “Without You” milik Jimmy Sweeney. Sam melempar dadu: barangkali remaja ini bisa jadi juru selamat perjudian bisnisnya, dan..
Gagal. Tapi itu hanya seketika.
Di saat musisi-musisi pengiring berbenah untuk pulang, sang bocah memainkan kembali gitarnya dan membawakan “That’s Alright”-nya Arthur Crudup. Sam melongo, lalu menyuruh musisi lain untuk mengiringi permainan sang bocah, yang lantas memainkan lagu itu secara gila-gilaan.
Untungnya Sam tak luput merekamnya. Inilah momen eureka miliknya. Malam bertarikh 5 Juli 1954 adalah saat di mana Sam menemukan mutiara kasar yang kelak akan diingat dunia sebagai raja rock and roll. Sopir truk udik yang besar di Memphis, Tennessee itu bernama Elvis Presley.
Kembali ke Zen Aji.
Menjadi muda dan naif itu hal yang wajar. Mengunggah karya dan mempromosikannya ke khalayak juga wajar. Saya salut dengan kecuekan Zen Aji. Ia mengabaikan komentar-komentar macam ‘jika buruk, ya jangan diunggah dulu, dong!’ ‘Setidaknya belajar vokal dulu sana!,’ dan lain sebagainya.
Netizen kampret lupa atau barangkali tidak tahu. Memasukkan lagu ke platform digital itu mudah dan murah. Ada banyak perusahaan publishing seperti TuneCore dan Dope Stereo yang siap membantu musisi mendistribusikan karya ke berbagai platform seperti Spotify dan Joox.
Era sudah berubah, apa-apa serba instan. Internet menggunting banyak proses dalam berkarya. Jika musik brutal seperti Hanatarash saja ada pendengarnya, apa lagi musik Zen Aji.
Kenaifan ini bisa membawa Zen ke banyak kemungkinan lain. Ia mungkin akan menemukan idola baru, lalu ganti haluan musik (black metal, misal). Ia bisa saja mencari guru dan berlatih dengan sangat giat. Ia sangat dimungkinkan untuk menekuni musik dan menjadi orang di balik layar.
Jika memang—seperti tuduhan netizen—dirinya yang mengunggah postingan ke akun menfess, dengan demikian melakukan promosi terselubung, ribut-ribut ini akan membekas dan menjadi pelajaran baginya. Logika media sosial yang sulit ditebak bisa menjadi anugerah. Tanya saja kepada puluhan orang yang telah sukses menungganginya.
Bacot dan hinaan netizen itu bungkus gorengan: gampang dan selayaknya dibuang. Sudah tahu tidak sesuai selera, kok seselow itu mengulik lagu-lagu Zen Aji yang lain, lalu meluangkan waktu untuk mencibirnya habis-habisan.
Sekarang kalau logikanya dilawan bagaimana? Muka anda jelek, kok berani-beraninya upload foto selfie ke Instagram? Setidaknya skinkeran dulu sana. Atau kalau enggak, perbanyak wudu. Hiya hiya.
Penulis: Fajar Martha
Editor: Purnawan Setyo Adi