Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Obrolan Bersama Seorang Kawan yang Organisasinya Barusan Dilarang

Puthut EA oleh Puthut EA
6 November 2017
A A
obrolan-mojok

obrolan-mojok

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Kami sudah lama tak bertemu. Mungkin empat tahunan. Malam itu saya tahu, kami akan bertemu. Lalu kami melipir keluar dari tengah reriungan banyak orang, pamit untuk makan malam.

Setelah menentukan rumah makan, memilih menu, kami ngobrol. Tidak canggung. Rileks saja. Saya tahu dia akan bercerita. Kisah akan disusun. Dan memang demikianlah yang terjadi….

Saya akan memakai istilah yang paling mudah dimengerti untuk hal ini. Orang-orang biasa menyebutnya dengan kata: hijrah. Saya tidak ingin berbaku bantah soal istilah. Ini hanya untuk mempermudah saja. Dia, kawan lama saya itu, telah memutuskan untuk “berhijrah”.

Saya bukan hakim; berusaha tidak menjadi tukang vonis. Tidak ada palu di tangan saya dan tidak ada meja pengadilan di depan saya. Tak ada yang perlu saya ketok dan putuskan.

Sebetulnya saya sudah mendengar soal hijrah yang ditempuhnya sejak lama. Tapi, saya bukan orang yang suka mengurusi urusan orang lain. Juga tidak suka desas-desus. Tidak ada untungnya buat orang lain, apalagi buat saya.

Wajah di depan saya memang tampak jauh lebih matang dari terakhir kami bertemu. Lebih tenang. Dan jujur saja, roman mukanya lebih teduh.

“Saya marah sekali waktu itu… tapi tidak tahu harus berbuat apa.” Dia mencopot kacamatanya. Tersenyum.

“Saya ini bandel. Tapi sebandel-bandelnya saya, entah kenapa saya tak makan babi.” Dia tertawa kecil. Saya ikut tertawa. Tiba-tiba saya teringat sahabat saya Bagor, tokoh yang saya tulis di buku Para Bajingan yang Menyenangkan.

“Jadi di perjalanan selama hampir dua minggu di negara itu, saya berusaha mencari makanan yang tidak mengandung babi. Sulitnya bukan main.”

Dia seorang penulis. Seorang pengelana. Seorang penulis laporan perjalanan. Sudah sangat berpengalaman ke mancanegara, tapi saya baru tahu kalau dia tidak makan babi.

“Padahal kamu tahu, saya peminum alkohol.” Lagi-lagi dia tertawa. Tidak menutupi masa lalunya. Toh percuma saja. Saya tahu masa lalunya. Terakhir kami bertemu, kami berdua minum alkohol sampai agak berat kepala.

“Tapi malam itu saya marah dengan teman bule seperjalanan saya ketika kami agak mabuk, dan saya tak mau makan babi. Dia menghina agama saya. Dia menghina nabi saya. Enggak tahu saya, kenapa saya marah.”

Saya diam. Saya tidak sedang bergulat dengan kata menghina, tapi tentang kata kawan. Kawan seperjalanan. Ah, kalian tentu tahu maksud saya….

“Ketika saya marah dan keberatan, dia bilang: ‘Aku sudah baca kitab sucimu, ayo kalau mau berdebat!’ Di situlah saya terenyak. Di situlah saya menyadari bahwa saya tak tahu apa-apa tentang agama saya, dan tentang kitab suci saya.”

Iklan

Makanan datang. Kami menyantap dengan tenang. “Kamu ta’aruf?” tanya saya iseng sambil melahap kepala ikan mayong, ikan lezat yang belum pernah saya makan.

Dia mengangguk sambil tersenyum. Lalu dia bercerita agak panjang soal proses ta’arufnya. Sengaja bagian ini tidak saya ceritakan. Bukan apa-apa, saya menghormati para jomblo yang membaca kisah ini.

“Maaf, saya merokok ya…,” saya meminta izin karena tahu kalau dia sudah tidak merokok lagi. Dia lagi-lagi tertawa sambil mempersilakan. Makanan memang sudah tandas.

“Pulang dari bepergian itu, langsung saya datang ke sebuah kedai kopi. Saya kenal seorang ustad yang sering nongkrong di sana. Tanpa basa-basi, saya bilang: ‘Bang, ajari saya soal agama!’”

Saya meminta asbak kepada pelayan rumah makan itu. Dua batang langsung saya habiskan bersambung ketika mendengarkan kisah dia mulai mengaji.

“Ketika beberapa kawan tahu kalau aku sudah hijrah, mereka suka. Enggak ada masalah. Saya masih sering ngopi dengan mereka. Hanya pasti mereka bilang, ‘Ya hijrah sih hijrah, tapi kenapa harus hijrah ke HTI?’

“Ya saya jawab, karena satu-satunya ustad yang saya kenal kebetulan ustad HTI. Seandainya saya kenal ustad Salafi, Jama’ah Tabligh, NU, atau Muhammadiyah, ya mungkin saya akan datang kepada mereka.”

Saya mengangguk. Mengerti. Agus Mulyadi, salah seorang kru Mojok yang terkenal itu, juga pernah ikut Jama’ah Tabligh. Mungkin sampai sekarang, sekalipun tidak aktif benar seperti dulu. Saya pernah bertanya kepadanya, kenapa memilih organisasi Jama’ah Tabligh, jawaban dia simpel: “Lha saya mau belajar mengaji di musala dekat rumah saya. Guru yang mengajar orang Jama’ah Tabligh. Kalau guru yang mengajar orang Muhammadiyah atau NU, mungkin saya juga ikut NU atau Muhammadiyah.”

Rumah makan mau tutup. Kami bergeser ke sebuah kedai kopi. Obrokan kami lanjutkan.

“Menurut Mas, bagaimana ke depan HTI ini setelah dibubarkan?”

Pertanyaan itu bukan dari saya. Tapi dari dia, ditujukan kepada saya. Tentu saja saya terkejut. Tak siap dengan pertanyaan itu.

Saya berpikir sebentar. Saya hampir membalikkan pertanyaan, bukankah mestinya saya yang bertanya seperti itu kepadamu? Tapi saya urungkan. Rasanya tidak bijak. “Mmm… memang setelah dibubarkan, apakah kamu terus berubah keyakinan?”

Dia menggelengkan kepala. “Malah kami makin solid. Makin mantap. Silaturahmi makin terjaga. Makin giat mengaji. Makin memperdalam ilmu.”

“Ya kalau begitu, peraturan itu tidak akan mampu melakukan apa-apa,” jawab saya agak asal.

“Dalam guyonan kami, HTI kan dibubarkan oleh aturan pemerintah, bukan oleh Allah.”

Saya hampir berteriak, “Takbiiiiiir!” Tapi lagi-lagi saya tarik teriakan itu dari rongga mulut. Tidak baik bercanda yang berlebihan dalam situasi seperti ini.

“Dulu kan PRD juga pernah dilarang. PKI bukan hanya dilarang, malah banyak pengikutnya dibantai. Masyumi juga pernah dibubarkan.” Saya memberi komentar yang sebetulnya dia juga sudah tahu.

Dia menggangguk. “Tapi, Mas setuju enggak dengan pembubaran HTI?”

Lagi-lagi pertanyaan itu membuat posisi saya agak tidak bagus. Saya bisa saja tidak menjawabnya. Toh, dia tidak sedang menekan saya.

“Mmm… begini… Prinsip membubarkan itu, saya tidak setuju. Kalau ada anggota organisasi tertentu yang salah, hukum saja orangnya. Masalahnya, mungkin teman-temanmu juga keberatan kalau misalnya saya bilang: PKI tidak perlu dilarang. Semua organisasi boleh berdiri dan tidak boleh dibubarkan termasuk PKI.”

Dia terdiam. Tercenung.

“Dan kamu pasti tahu,” lanjut saya, “orang-orang yang menolak aturan pembubaran itu kebanyakan adalah orang-orang yang sering dicap oleh teman-temanmu sebagai orang liberal. Jadi sekarang, kalian dan orang-orang liberal: berteman. Setidaknya satu suaralah….”

Dia tersentak. Terdiam. Lalu tersenyum.

“Tapi, ngomong-ngomong, kamu terlihat makin tenang dibanding dulu ya?” tanya saya sembari berdiri. Saya memang harus balik ke penginapan.

“Ya, saya menemukan kebahagiaan di sini,” jawabnya sembari berjalan menuju parkiran.

“Itu yang mahal harganya. Nikmatilah….”

Saya kemudian diantar ke penginapan. Kami pun berpisah dengan bersalaman tangan erat.

Begitu masuk ke dalam kamar, sambil menggeletakkan badan, saya menyimak Twitland sambil sesekali membuat cuitan. Lalu ada sebuah akun yang mengkritik saya karena menyebut alhamdulillah hanya karena di bio saya tertera: Anak Kesayangan Tuhan.

Begini ini yang bikin saya agak kesal. Jancuk.

Terakhir diperbarui pada 6 November 2017 oleh

Tags: hijrahHTILiberalobrolanPerppu OrmasPKI
Puthut EA

Puthut EA

Kepala Suku Mojok. Anak kesayangan Tuhan.

Artikel Terkait

PKI dan Politik Ingatan: Dari Demonisasi hingga Penghapusan Sejarah
Video

PKI dan Politik Ingatan: Dari Demonisasi hingga Penghapusan Sejarah

27 September 2025
Ustaz Salman Al-Jugjawy: Saat Rasa Takut Kematian Merubah Jalan Kehiupan
Video

Ustaz Salman Al-Jugjawy: Saat Rasa Takut Kematian Merubah Jalan Kehidupan

3 September 2025
Dakwoh membuktikan bahwa hijrah nggak harus ninggalin dunia lama. Simak perjalanan hidupnya yang penuh tantangan dan inspirasi
Video

Motivasi Hidup Ala Dabwok: Hijrah Nggak Harus Ninggalin Musik

17 Mei 2025
bti, petani, tani.MOJOK.CO
Ragam

Rumus “3S-4J-4H” Wajib Dijalankan Pemerintah Kalau Mau Petani di Indonesia Maju

28 Januari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.