MOJOK.CO – Mengurus SIM dan STNK dengan wajib punya BPJS ini sebetulnya cuma akal-akalan pemerintah buat memetakan “tipe penduduk”.
Keputusan penguasa bagi rakyat untuk mengurus SIM dan STNK harus punya BPJS, sebenarnya sudah saya tebak dari jauh hari. Melihat pola dari sertifikat vaksinasi yang jadi syarat masuk tempat perbelanjaan dan nyatanya sukses, penguasa pastinya melirik strategi ini untuk diterapkan di birokrasi lain.
Tetapi tunggu dulu. Program vaksinasi itu gratis. Kendalanya paling cuma pandangan masyarakat yang termakan hoaks. Tapi ini BPJS, lho. Asuransi ambisius yang ke depannya harus dimiliki semua penduduk. Ada premi yang harus dibayar sesuai kelasnya, Rp35 ribu untuk kelas tiga yang sudah dipotong subsidi, Rp100 ribu untuk kelas dua, dan Rp150 ribu untuk kelas satu.
Bisa, sih, gratis. Tapi mohon maaf, itu untuk masyarakat Penerima Bantuan Iuran (PBI) saja. Penerimanya harus masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Ini daftar khusus bagi mereka yang masuk kriteria fakir miskin atau orang tidak mampu.
Jika tidak terdata bagaimana? Tenang, masyarakat bisa jadi PBI dengan mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) lewat pemerintah desa beserta serangkaian birokrasinya.
Beberapa bulan yang lalu, saya pernah menghubungi salah satu kepala desa perihal daftar masyarakat yang menjadi PBI. Kebetulan, mayoritas masyarakat yang dipimpin beliau bekerja sebagai petani.
Selayaknya petani, dengan harga pupuk yang melambung dan ketidakpastian soal hasil panen, dengan mudah saya menarik kesimpulan bahwa kebanyakan dari mereka, kemungkinan merupakan masyarakat miskin. Sedihnya, dugaan saya tadi diamini oleh kepala desa.
“Lha terus bagaimana, Pak? Apa semuanya masuk DTKS?”
Tanya saya ke Pak Kades.
“Kalau sekarang belum semua, Mas. Kami usahakan mereka yang layak segera masuk DTKS.”
“Kalau begini, mungkin 70 persen penduduk bisa masuk DTKS. Bapak bisa memasukan semua?”
Kalimat di atas jelas tidak keluar dari mulut saya. Cuma saya batin saja biar nggak terjadi prahara di antara kita.
Masalahnya begini. Masyarakat desa yang umumnya bekerja sebagai petani, mayoritas dari mereka, kurang memprioritaskan kesehatan apalagi asuransi semacam BPJS. Bisa dipahami karena di kondisi sekarang, cari uang saja sudah susah. Kesehatan tidak masuk dalam daftar prioritas mereka. Mereka sadar banget sama kata pepatah: “Orang miskin dilarang sakit.”
Kesadaran ini juga diperkuat dengan aktivitas mereka sehari-hari yang berkutat dengan fisik. Mencangkul, menanam padi, memanen, dan mengeringkan gabah. Semuanya menggunakan otot dan mengeluarkan keringat. Membuat mereka yakin bahwa tubuh mereka benar-benar sehat.
Keyakinan tersebut akan terus bergaung sampai penyakit serius benar-benar datang ke badan mereka. Serangan jantung atau stroke, misalnya, dan membutuhkan BPJS.
Yang bikin saya miris, kebanyakan mereka yang datang ke fasilitas kesehatan dengan penyakit mendadak ini, sebagian besar, tidak tahu bagaimana status kepesertaan BPJS-nya. Kalau aktif, alhamdulillah, kalau tidak aktif atau tidak terdaftar, ya masya Allah.
BPJS sendiri, sudah menentukan bahwa pembayaran paling cepat bisa dilakukan setelah 14 hari Virtual Account diterbitkan. Otomatis, para pasien yang tidak masuk PBI, harus mengeluarkan biaya pribadi selama dua minggu masa pengobatan. Pintar ya BPJS, mereka tidak ingin masyarakat hanya datang ketika ada maunya.
Akibatnya, badan saya seketika lemas ketika ada keluarga pasien yang bilang begini: “Dok, Bapak kami ini sedang sakit. Kami juga tidak punya uang, masa Dokter tega sama kami? Apa tidak bisa kalau kami dibikinkan surat dari sini supaya bisa mendapat BPJS?”
Dengan hati terenyuh dan lidah yang juga tidak bisa berkata banyak, ada maksud hati menyalahkan aturan BPJS, tetapi BPJS juga punya alasan tersendiri terkait peraturan tersebut. Saya kemudian hanya bisa menjelaskan alasan-alasan mengapa hal tersebut tidak bisa dilakukan. Keluarga itu harus ikhlas menghadapi dua minggu yang mengguncang ekonomi mereka.
Seakan-akan, kami ini menjadi musuh pasien karena aturan ini. Padahal, kami ini cuma buruh yang patuh aturan.
Maka, saya coba berpesan kepada Anda semua. Sudah, di masa ini, Anda jangan termakan gengsi. Kalau memang pendapatan bulanan rasanya tidak mampu membayar semua anggota keluarga untuk BPJS kelas tiga, sudah, jangan sok, terima kalau Anda termasuk golongan miskin. Segera pastikan data Anda beserta keluarga masuk DTKS. Kalau belum, segera urus SKTM.
Jujur saja, cukup berat bagi penerima gaji UMR di bawah Rp2 juta untuk membayar BPJS. Misalnya ada empat anggota keluarga yang terdaftar di BPJS kelas tiga, perlu uang Rp140 ribu untuk melunasi biaya asuransi selama satu bulan. Hanya untuk berjaga-jaga, hampir 10 persen gaji dihabiskan. Syukur kalau sudah dibayarkan perusahaan tempat Anda bekerja. Kalau belum, sekali lagi, segera urus SKTM.
Saya berkesimpulan, mengurus SIM dan STNK dengan wajib punya BPJS ini sebetulnya cuma akal-akalan pemerintah buat memetakan mana penduduk miskin, dan mana penduduk yang mampu. Tercatat, pada 8 Oktober 2021, peserta PBI APBN berjumlah 83.548.401 jiwa, sudah 30 persen penduduk Indonesia.
Kabar terakhir menyebutkan kalau Polri akan mengubah Peraturan Polri (Perpol) untuk menyesuaikan persyaratan tersebut.
“Menyempurnakan regulasi, khususnya Perpol Nomor 7 Tahun 2001 tentang Regident Ranmor yang mewajibkan persyaratan layanan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dengan kartu peserta aktif BPJS. Tentunya Polri harus koordinasi dengan instansi terkait,” ujar Jubir Divisi Humas Polri Kombes Hendra Rochmawan dalam jumpa pers di Mabes Polri.
Lucunya, menurut Pak Polisi ya, kebijakan ini harus didukung karena penguasa sedang ingin membangun “semangat persatuan”.
“Kita semua harus memahami dan dukung apa yang jadi garis kebijakan pemerintah. Cara pandang harus kita lihat dari keinginan pemerintah untuk bangun semangat persatuan dan semangat kebersamaan bagi seluruh bangsa Indonesia, wajib ikut jadi peserta aktif BPJS. Yang peruntukannya adalah seluruh warga Indonesia,” kata Pak Jubir Hendra. Lucu, ya.
Yah, dengan kebijakan ini, mari kita tunggu sampai berapa banyak penduduk miskin di negara kita. Jika Anda masuk dalam daftar masyarakat miskin, tenang, temannya banyak kok, dari 10 warga, tiga orang masuk golongan miskin, dan akan bertambah.
Persetan gengsi! Kalau memang miskin, ya terima!
BACA JUGA BPJS Naik, Cara Pemerintah Menguji Kesabaran Masyarakat Indonesia dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Prima Ardiansah
Editor: Yamadipati Seno