Cara memandang dan memaknai Petisi Bulaksumur
Dua pernyataan sikap politik dari institusi pendidikan dengan kadar intelektualitas tinggi dan berintegritas tersebut sontak memancing reaksi politisi. Fahri Hamzah, dalam unggahannya di X @Fahrihamzah (1 Februari, 2024) menuduh bahwa sikap politik para cendekia itu hanyalah akal-akalan agenda politik untuk menjegal transisi kepemimpinan bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
Dia menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir ini kampus bungkam kenapa sekarang baru bersuara, memfitnah para civitas akademika sebagai orang yang akan bikin keruh suasana sampai akhir, dengan macam-macam hoaks dan isu jahat akan dipakai. Mereka kejam dan kasar karena ambisi pribadi menggelapkan mata.
Sampai di sini Anda tidak boleh murka sama cuitan @Fahrihamzah. Namanya juga Fahri Hamzah. Kalau Anda seorang terpelajar dan jadi emosi membaca cuitan Fahri Hamzah, maka tingkat intelektualitas Anda yang justru disangsikan.
Bagi Anda yang pro dengan Fahri Hamzah dan berkubu ke Jokowi, dapat dipastikan bahwa Anda ikutan mencibir UGM. Saya membayangkan bahwa Anda mungkin punya pikiran bahwa kampus ini bersikap leda-lede, esuk tempe sore dhele, dulunya begitu sekarang begini. Atau Anda bisa saja bergosip, “Wah negara ini kisruh gara-gara anak UGM.” Boleh saja. Itu hak semua orang dengan perspektifnya.
Kampus ini sedang menunjukkan akal sehat
Akan tetapi, sikap UGM ini bukan sekadar keberpihakan atau penolakan terhadap paslon tertentu. Kampus ini sedang menunjukkan akal sehat. Seperti yang selalu diajarkan dan menjadi tujuan utama menempuh pendidikan di sini, yaitu menjadi insan yang tercerahkan dan mampu berpikiran kritis.
Kalau mau adil sejak dalam pikiran, petisi para intelektuil ini justru menunjukkan integritas dalam bersikap membela keadilan. Tidaklah mungkin sekelas guru besar UGM terburu-buru menyatakan sikap tanpa riset, observasi, dan analisis yang jelas.
Tidaklah mungkin pula orang yang terpelajar menutup mata atas ketidakadilan dan kesewenangan dalam proses mulusnya Gibran menjadi cawapres ini. Cendekiawan sejati tidak mungkin sebuta itu. Kecuali, pikirannya telah tertutupi dengan duit atau godaan kekuasaan politik lainnya.
Jika argumen ini dibenturkan dengan kenyataan bahwa Jokowi adalah lulusan UGM, apalagi Pratikno adalah guru besar ilmu politik, “Kenapa justru mereka malah memporak-porandakan perpolitikan negara ini? “
Ada falsafah luhur Jawa yang berbunyi “melik nggendhong lali”. Keinginan untuk memburu kepemilikan, atau nafsu kekuasaan yang berlebih itu selalu disertai dengan sifat lupa diri, terlena, terbuai, dan tidak eling akan jati diri.
Politik itu menghancurkan pribadi seseorang
Barangkali menjadi orang berkuasa di negeri ini godaannya memang begitu menggiurkan. Makanya muncul kerakusan dan membuat para anak UGM itu lupa diri. Kita sebagai rakyat biasa tak pernah tahu sebesar apa godaaanya. Dan jika dibuai dengan godaan seperti itu, belum tentu juga kita mampu menahan diri.
Otto von Bismarck, Kanselir Jerman I, mengatakan bahwa, “Politic ruins the character.” Politik itu menghancurkan pribadi seseorang. Barangkali untuk menjadi politisi memang benar harus rela kehilangan karakter. Politik telah menghancurkan jati diri anak-anak UGM itu.
Namun, akan tidak adil pula jika masyarakat gebyah uyah mengatakan bahwa lulusan UGM ternyata bosok kabeh. Bikin kisruh negara ini. Yang namanya institusi/lembaga pendidikan, hanya mempunyai kuasa untuk mendidik selama proses sekolah murid.
Setelah lulus, mau jadi apa juga sudah di luar kendali institusi tersebut. Hal ini berlaku untuk lembaga pendidikan mana saja. Kita juga tidak bisa menganggap semua lulusan pesantren adalah orang religius, toh ada juga yang bikin bom jadi teroris. Begitu pula lulusan sekolah polisi, ada juga yang malah membunuh polisi.
Kenapa UGM baru sekarang menyatakan sikap?
Dahulu begitu bangga mengelu-elukan alumninya yang mampu mencapai tampuk pimpinan negeri. Kenapa menjewernya baru sekarang? wingi-wingi wong UGM ki dha ngapa wae?
Saya yakin dari semenjak isu MK dan cawapres Gibran, kaum cendekiawan sudah gerah sekali ingin menyatakan sikap. Bahkan sebenarnya, kita dapat menjumpai kegeraman dan kemarahan para intelektual ini dalam berbagai esai di media, dan forum-forum yang sayangnya tidak terbaca atau terlihat masyarakat luas.
Pembahasan tentang ini jadi cenderung eksklusif, untuk kalangan terbatas, buat yang mau-mau aja. Padahal rakyat membutuhkan pencerahan-pencerahan seperti itu agar pikirannya ketularan terang dan jernih. Memang teriakan lantang para cendekiawan agak terlambat, tapi sudahlah, daripada tidak sama sekali.
Saya juga yakin para cendekiawan selama ini senantiasa menimbang dan memperhitungkan momentum yang tepat untuk menyatakan sikap, bukan sekadar oportunis menunggu bagi-bagi jatah perpolitikan. Saya yakin masih sangat banyak cendekiawan yang berintegritas.
Menunggu waktu yang tepat
Untuk kasus seperti itu, Plato pernah dialog dengan Sokrates dalam kisah manusia gua yang terkenal itu. Ceritanya, ada beberapa tawanan yang terpasung menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah berada di sana seumur hidup dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa melihat ke depan saja.
Mereka hanya dapat mengimajinasikan kehidupan luar gua melalui bayangan pada dinding gua yang terpantul dari aktivitas dunia luar. Suatu hari, salah seorang tawanan lepas. Dia keluar dari gua dan melihat realita. Dia melihat dunia luas. Lalu dia kembali ke gua lagi dan menceritakan realita kepada kawan-kawannya.
Akan tetapi, kawan-kawannya justru marah karena hal ini tidak sesuai dengan bayang ilusi yang selama ini dipercayainya. Akhirnya mereka bukannya terima kasih, tetapi sangat marah dan membunuhnya.
Sebagai orang yang tercerahkan, para guru besar itu tentu memahami filsafat ini. Mereka mencari cara yang paling tepat untuk membawa terang ke khalayak yang masih terselubungi kegelapan. Karena kalau terburu-buru, malah akan menghancurkan dirinya sendiri.
Sebagai guru, mereka juga pasti pernah membaca pameo ini: “Setidaknya terdapat 3 orang yang hampir mustahil untuk dinasihati. Orang yang jatuh cinta, perokok yang dinasihati berhenti merokok, dan orang yang sedang mabuk kekuasaan.”
Sialnya, golongan terakhir itu adalah alumni-alumni UGM.
Demikian rasan-rasan dari saya, Paksi Raras Alit, Ketua KAGAMA FIB UGM dan pernah diwisuda sebagai lulusan terbaik pascasarjana UGM.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Cara Terjitu Memprediksi Kondisi Negara: Dengarkan Apa yang Dikatakan Jokowi, Lalu Lihat Sebaliknya dan pemikiran menarik lainnya di rubrik ESAI.