Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Pelajaran Nahwu-Sharaf untuk Kak Hafidz Ary yang Cerdas

Edi AH Iyubenu oleh Edi AH Iyubenu
8 Juni 2015
A A
Pelajaran Nahwu-Sharaf untuk Kak Hafidz Ary yang Cerdas

Pelajaran Nahwu-Sharaf untuk Kak Hafidz Ary yang Cerdas

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Gara-gara twit Akhmad Sahal, saya jadi kepo siapa sesebenarnya Hafidz Ary. Maklum, belum pernah sebelumnya saya mendengar nama itu di jagat intelektual Islam Indonesia.

Oh, ternyata Hafidz Ary itu aktivis Indonesia Tanpa JIL (ITJ). Oh, ahli twitwar yang demen nyerang-nyerang kelompok lain. Oh, orang yang di tahun 2013 pernah bilang, “….orang kafir lebih baik bunuh diri saja, toh percuma hidup lama karena ujungnya neraka juga.” Oh, orang yang kini nyinyirin gerakan #AyoMondok yang dilaunching PBNU pada tanggal 1 Juni 2015 kemarin.

Selebihnya, saya tak tahu beliyonya berafiliasi ke kepentingan apa, faksi apa, juga sanad ilmunya dari mana. Itu bukan urusan saya. Keenakan beliyonya kalau saya urusin. Nyebutin akun twiternya di sini saja pastilah saya berhak atas jubelan pahala, karena niscaya dengan segera ia akan dikepoin orang-orang se-Indonesia Raya. Kesan saya sih, beliyonya ini memang suka cari perhatian.

Tetapi, sekali lagi, ini gara-gara Gus Sahal saja. Beliau yang tulisannya dalam buku Kontroversi Khilafah bersanding dengan banyak cendekiawan muslim terkemuka, seperti Komaruddin Hidayat, jelas bukan orang sembarangan. Mateng totok di pesantren, trah kiai, plus kini menimba ilmu doktoral di Amerika.

 Ada apa ini kok Gus Sahal sampai terpanggil ngajak Ary debat terbuka tentang Islam? Setelah kepo, saya pun dapat jawaban logisnya: Ary nyinyirin gerakan #AyoMondok begini:

“Gerombolan sepilis ga pantas ikut2an pake hestek #AyoMondok, mrk pantasnya pake hestek #AyoMabok #AyoMojok atau #AyoBeasiswaGakPerluPinter.”

“….Masalahnya mereka cuma pernah pesantren, belajar ilmu alat. Nah bagian ini yang dijadikan andalannya. Ini mah kosong.”

Woalah, ya pantes beliyonya ini bikin banyak orang gemes. Masih mending kalau yang nggemesin itu dedek-dedek GMZ. Ini Hafidz Ary, masak iya pantas disebut dedek Hafidz Ary GMZ. Nggak cucok, bo. Beberapa orang malah nyebut dia Stupidz Ary.

Tapi begini, Kak Ary yang pintar…

Seorang tukang tenun terbaik di Lombok yang pernah saya jumpai bulan Mei 2015 lalu, nenek berumur 65 tahun, selalu membutuhkan alat-alat untuk menenun. Alat-alat tenun di tangannya bergerak gemulai menghasilkan helai-helai kain kaya estetika bernilai jutaan rupiah. Ingat, alat-alat di tangan ahlinya yang jelas bertopang keilmuan, tradisi, pengalaman, dan penjiwaan selalu menjad kunci karya hebat.

Seorang tukang ukir terbaik dari kota Jepara sukses mengubah batang jati menjadi gebyok sedemikian mempesonanya berharga puluhan juta rupiah ya berkat alat-alat. Di tangannya, ditopang keilmuan, tradisi, pengalaman, dan penjiwaan, alat-alat bekerja sedemikian indahnya.

Sampai di sini, catat, tak ada seorang pun yang bisa menghasikan sesuatu tanpa alat. Ia harus kenal alat-alat, ahli mengoperasikannya, dan kreatif menelisik inversi-inversinya. Semua itu butuh ilmu, kemampuan, pengalaman, tradisi, dan penjiwaan.

Di pondok pesantren, sepengalaman saya nyantri di Denanyar, Jombang, nggak hanya diajari ilmu alat (Nahwu, Sharaf, Mantiq, Balaghah hingga Ushul Fiqh), melainkan juga etika, kedisiplinan, ketrampilan, hingga barakah. Nalar Kak Ary mungkin akan bengep-ndak-nyandak menyaksikan seorang santri kerjaannya bukan ngaji kayak yang lain-lain tetapi memasak, menimba air, mencuci piring, membersihkan WC, tetapi ketika pulang puluhan tahun berikutnya ia menjelma tokoh panutan masyarakat.

Kenalkan, Al-Duali. Bukan Al-Kuali lho, Kak Ary. Beliau tercatat dalam sejarah ilmu Nahwu kala berinisiatif mengharakati Alqur’an, surat al-Taubah ayat 3. Ia mendengar seseorang membaca ayat tersebut begini: “Innallaha barii’un minal musyrikiina wa rasulihi.” Artinya: “Sesungguhnya Allah membiarkan orang-orang musyrik dan rasulNya.”

Al-Duali kaget. Ini kesalahan baca yang fatal sekali, akibat buta Nahwu, sehingga maknanya berubah sedemikian telaknya. Harusnya ayat tersebut dibaca: “Innallaha barii’un minal musyrikiina wa rasuluhu.” Artinya: “Sesungguhnya Allah dan RasulNya membiarkan orang musyrik.”  (Dengan dhammah, bukan kasrah, pada huruf lam di kata rasulahu).

Pada pembacaan pertama, kata rasulihi diposisikan sebagai lanjutan dari huruf wa yang mengekor pada kata musyrikiin yang dibaca kasrah karena ada huruf jar (min). Padahal, yang benar secara Nahwu, harus dibaca rasuluhu, sebab lanjutan dari huruf wa itu merujuk pada kata barii’un (bukan musyrikiin) yang harus dibaca dhammah karena berposisi sebagai khabar dari inna. Hukum inna, mubtada-nya (ism-nya) harus dibaca fathah dan khabar-nya dibaca dhammah. Berbanding terbalik dengan hukum kana. (Pusing, ya? Bagi yang belum pernah mondok, pasti memusingkan sekali. Tapi di pesantren-pesantren, santri tahun pertama pun bisa dengan mudah memahami ini.)

Iklan

Bagi Kak Ary yang ahli elektro boleh jadi itu hal sepele. Tapi bagi yang tahu ilmu Nahwu—yang dianggap Kak Ary “kosong”, itu sangat prinsipil. Sebab sangat mempengaruhi maknanya kemudian.

Sekarang contoh ilmu Sharaf ya, Kak Ary.

Ibnu Abbas r.a., sahabat Rasul, yang dikenal luas sebagai penerjemah Al-Quran pernah kebingungan memaknai kalimat “fathirus samawati” dalam Al-Quran karena tidak mengenalnya sama sekali. Ia baru tahu makna kalimat itu setelah berjumpa dua orang Arab dari kabilah non-Quraisy dan berkata salah satunya pada Umar bin Khattab tentang sebuah sumur: “Ya Amiral Mu’minin, ana fathartuha.” (Wahai Amirul Mukminin, saya yang membuat sumur itu).

Ibnu Abbas baru ngeh saat itu kalau makna “fathirus samawati” adalah “pencipta langit”. Tentu saja, Ibnu Abbas tetap takkan paham makna fa’il “fathir” bila ia buta ilmu Sharaf, sebab orang Arab itu berkata dalam fi’il madhi (fathartu), bukan fa’il (fathir).

Lain lagi kisahnya bila sampel pentingnya ilmu alat diluaskan ke ranah fiqh, yakni Ushul Fiqh. Saya sebut satu contoh saja: ‘urf.

Abdul Wahab Khallaf bilang,‘urf adalah tradisi yang diakomodasi oleh fiqh sebagai salah satu metode penggalian hukum Islam (istinbath al-hukmy). Orang yang buta alat ini akan mati-matian menolak gaya dakwah Sunan Kalijaga—sebagai contoh. Lha di Arab nggak ada gamelan begitu. Itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan di neraka. Hoyooh, raimu wae bid’ah lho, Kak Ary, sebab di masa Nabi kan nggak ada muka sepertimu. Berarti Ente sudah sesat sejak lahir, sejak dalam pikiran bahkan.

Akhirnya, saya dan jutaan umat muslim Indonesia yang alumnus pesantren berharap banget Kak Ary menerima undangan Gus Sahal untuk debat terbuka itu. Ndak usah khawatir, tho. Gus Sahal sudah mengizinkan Ente pakai buku-buku terjemahan kok, sebab Ente nggak bisa baca kitab Arab. Ente kan ngentengin ilmu-ilmu alat macam Nahwu dan Sharaf, sehingga Ente bakal puyeng misahin mubtada dari khabar-nya.

Oh iya, satu lagi, Kak Ary, dalam tradisi keilmuan kiai dan santri, debat bukan untuk ber-thagut kok, tapi tabayyun al-‘ilmi. Thagut-thagutan itu, dalam bahasa orang kafir—yang kata Ente hidupnya sia-sia dan sebaiknya bunuh diri: logical fallacy. Alias, otakmu korslet.

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: #AyoMondokHafidz AryNahwu-Sharaf
Edi AH Iyubenu

Edi AH Iyubenu

Yang punya Kafe Basabasi.

Artikel Terkait

Person of The Year 2015
Esai

Mojok Person of The Year 2015

1 Januari 2016
Menolak Gerakan #AyoMondok
Esai

Menolak Gerakan #AyoMondok

6 Juni 2015
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.