Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Mojok Tak Pernah Tepat Waktu

Cepi Sabre oleh Cepi Sabre
27 Mei 2017
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Sebagai sesama penggemar Mojok, saya rasa kita semua punya setidaknya dua hari paling waung dalam hidup kita. Pertama ketika pada hari Selasa, 28 Februari 2017, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Mojok mengumumkan akan menutup situsnya. Dan kedua ketika, bedebahnya, tepat satu bulan kemudian, Selasa, 28 Maret 2017, Mojok benar-benar menutup situsnya. Waung banget kan?

Banyak yang menyayangkan ditutupnya Mojok, terlebih karena situasi di dalam negeri sedang ramai-ramainya. Istilahnya: lagi banyak bahan. Seandainya Mojok masih tetap buka, bukan tidak mungkin mereka akan kebanjiran kiriman tulisan sehingga membuat redaktur-redakturnya nggak akan sempat pacaran atau jadian. Meminjam judul sebuah novel yang fenomenal, orang bisa berkata bahwa “Mojok Tak Pernah Tepat Waktu”.

Padahal, sebenarnya, yang terjadi ketika Mojok tutup itu tidak terlalu ramai-ramai banget juga. Pasca diluluhlantakkannya kelompok “kom” dari Nasakom yang digagas Pak Karno oleh duet maut Pak Harto dan Pak Sarwo, kegaduhan yang terjadi belakangan ini bisa dirangkum dalam satu kalimat saja: pertarungan antara kelompok “nas” dan kelompok “a”.

Kalau ada kelompok tambahan di antara keduanya, itu adalah mereka yang netral dan, kayak saya, sok bijaksana menyerukan perdamaian di antara keduanya; dan satu lagi adalah mereka yang tidak peduli sama sekali, yang penting kontraknya deal. Yang terakhir ini biasanya dihuni oleh para konsultan politik.

Lagi pula banyak kejadian yang sepertinya bisa dituliskan dengan mendaur ulang tulisan-tulisan lama yang pernah dimuat di Mojok.

Yang paling menarik dari pertarungan kedua kubu itu sebenarnya bukan pertarungannya sendiri, tapi kenyataan bahwa keduanya sama-sama menang. Kalau orang bilang dalam setiap kompetisi pasti ada yang menang ada yang kalah, kompetisi kedua kelompok itu kemarin adalah pengecualian, karena keduanya sama-sama menang. Dan ini hanya bisa terjadi ketika Pak Jokowi jadi presiden, atau, lebih tepatnya, ketika Mojok tutup.

Berikut catatan saya tentang kejadian-kejadian yang terjadi ketika Mojok tutup sekaligus tulisan-tulisan lama yang bisa didaur ulang untuk membahasnya.

1. Kemenangan Kecil Kelompok Agama

Sebenarnya kemenangan pertama kelompok “a” ini lebih pas kalau dikasih judul “Terbalaskannya Sebuah Dendam”, tapi kok rasa-rasanya malah jadi mirip judul film lawas yang dibintangi Barry Prima, Advent Bangun, dan Eva Arnaz.

Kemenangan kecil kelompok agama ditandai dengan tumbangnya pasangan Ahok-Djarot di pilkada Jakarta. Tidak bisa dimungkiri bahwa sebagian besar pendukung Anies-Sandi adalah alumni pendukung Pak Prabowo di pilpres yang lalu. Ditambah dengan kasus mulut ember Ahok di Kepulauan Seribu, lengkaplah semuanya.

Entah siapa yang menunggangi siapa, apakah peserta aksi yang berjilid-jilid itu menunggangi lawan politik Ahok-Djarot atau sebaliknya, yang jelas Anies-Sandi akhirnya memenangkan palagan pilkada itu. Lalu situasinya berubah dengan cepat. Ketika dulu Jokowi menang dan pendukung Prabowo dituding susah move on, sekarang justru teman-teman Ahok yang dituduh seperti itu lewat aksi karangan bunga dan seribu lilinnya.

Karma memang kejam dan balas dendam memang paling nikmat disajikan pas masih anget.

Yang menang berhak menyombongkan diri, yang kalah berhak mencibiri yang menang. Seandainya Iqbal Aji Daryono, jokower berpenghasilan 200—300 juta per bulan (masih ditambah sepeda kalau tulisannya viral), waktu itu menulis untuk Mojok, mungkin tulisannya akan diberi judul “Surat Terbuka kepada Pemilih Anies Sedunia”.

2. Kemenangan Besar Kelompok Agama

Iklan

Tumbangnya Ahok-Djarot di pilkada Jakarta bukan satu-satunya kemenangan kelompok agama atas kelompok nasionalis, kemenangan yang lebih besar menanti di depan mata. Apa lagi kalau bukan dijatuhkannya vonis dua tahun penjara untuk Ahok yang dituding menista agama?

Tapi, yang menarik dari proses bocornya mulut Ahok di Kepulauan Seribu sampai dijatuhkannya vonis adalah dramanya. Aksi tiga angka yang digelar berjilid-jilid dan aksi-aksi tandingan yang relatif kecil menyesaki hari-hari kita. Segala macam analisis muncul di akun media-media sosial kita, mulai dari soal bahasa, tafsir agama, aliran dana penggagas aksi, sampai rencana-rencana konspirasi.

Yang paling fenomenal tentu saja bertebarannya spanduk yang menolak menyalatkan jenazah pendukung Ahok di masjid-masjid Ibu Kota. Seolah-olah menjadi pendukung yang satu akan membuat orang menjadi lebih beriman dari pendukung yang lain.

Seandainya saya harus menulis buat Mojok tentang ini, saya akan memilih mendaur ulang tulisan si gadis NU Kalis Mardiasih yang seingat saya diberi judul “Sebuah Curhat untuk Girlband Jilbab Syar’i”. Soal judulnya mau diganti apa, tentunya saya serahkan kepada yang lebih berhak: Mas Agus Mulyadi.

Ya tentu saja karena beliau redakturnya, bukan karena sebab-sebab yang lain ….

3. Kemenangan Kecil Kaum Nasionalis

Dari sini segalanya mulai menarik. Sebab, ternyata yang merasakan euforia kemenangan bukan cuma kelompok agama, melainkan juga kelompok yang mendaku dirinya nasionalis. Kemenangan paling sederhana yang bisa dirayakan oleh mereka yang selalu membawa jargon “NKRI harga mati” itu adalah diumumkannya pembubaran ormas HTI. Setidaknya dalam waktu dekat singkatannya belum akan diganti jadi NKRS, Negara Kedaulatan Republik Suriah.

Soal apakah pembubaran sebuah ormas harus melalui proses pengadilan atau boleh langsung diumumkan begitu saja oleh seseorang yang mirip Pak Wiranto (kita tidak bisa yakin itu Wiranto betulan atau bukan mengingat kepiawaian beliau dalam hal menyamar) bisa diabaikan. Pokoknya bubar dulu, dirayakan dulu. Toh, aksi-aksi masyarakat sudah mendahuluinya. Misalnya di Malang ketika acara Ustaz Felix Siauw dibubarkan polisi.

Soal yang satu ini, HTI dan utamanya Ustaz Felix Siauw, hanya satu orang yang layak menuliskannya: Arman Dhani. Tentu saja, karena dulu beliau yang menulis “Secarik Pledoi untuk Felix Siauw Bosku”. Ketika bosnya tertimpa masalah (lagi), tentu menuliskan ple(i)doi sekali lagi untuk beliau bukan masalah besar untuk Mas Dhani.

4. Kemenangan Besar Kaum Nasionalis

Peristiwa yang satu ini, saya tahu, belum terjadi. Tapi, melihat perkembangan terkini, saya rasa peluangnya untuk terjadi sangat besar. Ada dua kemungkinan yang bisa membuat kelompok nasionalis mendapatkan kemenangan besarnya: dipenjarakannya imam besar FPI Habib Rizieq atau dibebaskannya Ahok.

Habib Rizieq yang kita tidak tahu apa sedang memenuhi undangan Raja Salman, umrah, meneruskan pendidikannya, atau bersembunyi dari penembak jitu yang terbukti nggak jitu-jitu banget sepertinya akan sulit lolos dari lubang jarum. Banyak sekali kasus yang melilit beliau, mulai dari tuduhan percakapan mesum, penghinaan Pancasila, penghinaan mata uang, hansip, penistaan agama, ujaran kebencian, dan entah apa lagi.

Dan untuk yang satu ini, saya kira kita sepakat bahwa tulisan terbaik untuk didaur ulang adalah “Surat Terbuka untuk Mas Anang Hermansyah” dari redaktur kesayangan kita semua, Mas Agus Mulyadi, yang saking lamanya menjomblo sampai harus menunggu Mojok tutup dulu untuk merasakan pedihnya jadi mantan.

Jadi, kesimpulan dari semua ini, menyebut “Mojok Tak Pernah Tepat Waktu” itu tidak berdasar dan justru tidak tepat. Isu-isu yang terjadi ketika Mojok tutup terbukti tidak perlu dibahas di Mojok karena berisiko menjadi ajang daur ulang tulisan-tulisan lama Mojok. Yang perlu kita tanyakan kepada Mojok sebenarnya adalah motivasinya ketika dulu menutup situsnya, apakah memang benar karena mereka tidak merasa perlu membahas isu-isu yang terjadi ketika mereka tutup, atau karena mereka memang nggak cinta sama kita?

Jawaban terbaik mungkin ada di beberapa kalimat di novel fenomenal yang saya singgung di atas dan judulnya saya pelesetkan jadi judul tulisan ini.

Tolong jangan pernah bilang lagi padaku bahwa kalau aku mencintaimu mengapa aku meninggalkanmu? Please … jangan bebani aku dengan pertanyaan seperti itu. Itu pedih sekali ….

Terakhir diperbarui pada 16 Oktober 2018 oleh

Tags: Agus MulyadiAnang HermansyahCinta Tak Penah tepat WaktuHabib RizieqKalis MardiasihMojokPuthut EARizieq Shihab
Cepi Sabre

Cepi Sabre

Artikel Terkait

Menjadi penulis jika ingin sejahtera maka jangan hanya fokus menulis MOJOK.CO
Ragam

Panduan untuk Calon Penulis agar Hidup Sejahtera, Karena Tak Cukup kalau Andalkan Royalti Saja

19 Januari 2025
Ngobrol Santuy Bareng Puthut EA Selain Soal Kepenulisan
Video

Ngobrol Santuy Bareng Puthut EA Selain Soal Kepenulisan

24 November 2024
Mempertanyakan ‘Marriage is Scary’ Bersama Lya Fahmi dan Agus Mulyadi di Festival Mojok 2024
Video

Mempertanyakan ‘Marriage is Scary’ Bersama Lya Fahmi dan Agus Mulyadi di Festival Mojok 2024

26 Oktober 2024
Puthut EA: 25 Tahun Berkarya Rilis Buku Waktu yang Pendek untuk Cinta yang Panjang
Video

Puthut EA: 25 Tahun Berkarya Rilis Buku Waktu yang Pendek untuk Cinta yang Panjang

24 Oktober 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.