Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Misteri Desa Kecil di Selatan Surabaya

Peran pemerintah Desa Wage sangat sentral dan harus lebih sebagai fasilitator, supervisi, dan pengembangan kapasitas desa.

Abdus Sair oleh Abdus Sair
25 Mei 2022
A A
Misteri Desa Kecil di Selatan Surabaya MOJOK.CO

Ilustrasi Desa Wage, desa kecil di selatan Surabaya. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Satu hal yang pasti, geliat “desa kecil” di selatan Surabaya itu semakin terasa. Menjadi desa yang kuat secara ekonomi dan sosial.

Sebagai kaum urban, saya melihat ada geliat ekonomi yang meyakinkan di desa ini. Sebuah desa kecil dengan penduduk sangat padat. Mengintip data 2018, penduduk di desa ini sudah mencapai 22.257 jiwa. Angka ini paling banyak se-Kecamatan.

Adalah Desa Wage. Sebuah desa kecil di Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, tidak jauh dari Surabaya. Desa Wage bukan desa biasa. Ia telah bermetamorfosis menjadi desa besar yang menampung banyak penduduk urban.

Secara geografis, desa ini masuk ke wilayah Kabupaten Sidoarjo. Namun, melihat ke peta, Desa Wage sangat dekat dengan Surabaya.

Sebelah utara desa merupakan akses menuju ke Terminal Purabaya. Di sisi timur merupakan akses menuju ke Bandara Juanda. Desa ini juga dikelilingi banyak industri, mulai Maspion, hingga industri baja Ispatindo.

Melihat landmark yang mengelilingi desa, kita bisa meraba besarnya potensi yang tersimpan di Wage. Namun, tahukah kamu, desa ini belum lama dikenal oleh kalangan luas, apalagi oleh mereka yang tinggal di Sidoarjo dan Surabaya. Baru sekitar tahun 1960an, Desa Wage perlahan dikenal.

Dulu, desa ini hanya berstatus “persinggahan”. Sebuah desa yang sangat sepi. Dikepung padang ilalang (ara-ara). Orang lokal menyebutnya grumbul atau deretan rumpun bambu.

Nama desa ini juga unik. Diambil dari nama hari pasaran kalender Jawa; Paing, Pon, Wage, Legi, dan Kliwon. Pemilihan nama Wage selalu dihubungkan dengan legenda Ratu Ayu. Seorang tokoh perempuan cantik dengan kesakten yang tinggi. Pundennya masih ada dan kemudian diabadikan sebagai jalan utama di desa ini dengan nama Jalan Ratu Ayu.

Kondisi Desa Wage saat ini

Desa Wage saat ini tak lagi sama dengan desa yang mulai dikenal 62 tahun yang lalu. Wage menjadi desa terkenal karena penghuni barunya. Kaum urban yang datang dari berbagai pelosok tanah air untuk mendiami desa “misterius” di selatan Surabaya ini.

Yang mengejutkan adalah Desa Wage kini justru sudah menjadi semacam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pertumbuhan ekonominya paling cepat dibandingkan dengan kawasan di sekitar Sidoarjo dan Surabaya.

Sepanjang Jalan Taruna, misalnya, yang membelah Desa Wage menjadi dua; utara dan selatan. Membentang dari timur ke barat, sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer, adalah pusat perekonomian masyarakat di mana perputaran ekonominya terbilang dahsyat

Di sepanjang Jalan Taruna ini, berdiri banyak toko dan kios-kios. Besar dan kecil. Di tengah-tengahnya ada pasar tradisional yang menjadi pusat belanja kebutuhan sehari-hari bagi warga.

Kemudian di sebelah baratnya lagi berdiri banyak kios kuliner. Mulai dari Bakso & Mie Ayam Pak Kumis, Ayam Bakar Pak D, Ayam Lodho Bu Hartini, dan lapangan kulineran UD Kresno. Semuanya juga telah tersedia di Google Map. Di kawasan ini, perputaran uang yang terjadi sangat tinggi. Lebih-lebih pada bulan puasa.

Di bulan puasa, perputaran uang di kawasan Jalan Taruna jauh lebih tinggi. Dalam hitungan kasar, satu minggunya bisa mencapai Rp3,8 miliar dengan perhitungan sebagai berikut:

Iklan

Perkiraan jumlah orang yang belanja atau transaksi separuh dari jumlah penduduk, yakni 11 ribu orang. Kita andaikan saja mereka menghabiskan Rp50 ribu saja sekali belanja (dibuat rata-rata).

Maka, perputaran uangnya mencapai Rp550 juta per harinya. Jika jumlah ini dikalikan tujuh hari, angkanya sebesar Rp3,85 miliar. Angka ini tidak sedikit dan menunjukkan kondisi ekonomi yang sehat dan berkembang.

Itu sebabnya, kawasan Jalan Taruna menjadi kawasan bisnis yang menjanjikan. Warga lokal yang memiliki tanah di pinggir jalan mendapatkan hikmahnya.

Harga sewa lahan atau lapak bisa mencapai Rp3 juta per bulan dengan ukuran yang tidak lerlalu besar. Apalagi jual beli tanah. Harganya mulai tak masuk akal. Mencapai Rp5 juta, bahkan lebih, untuk per meter persegi. Tentu ini untuk hitungan sebuah desa yang “masih dianggap kecil” oleh banyak orang, termasuk untuk penduduk Sidoarjo dan Surabaya.

Sudah sepatutnya penduduk Wage bersyukur akan situasi (ekonomi) ini. Warga lokal selalu mengatakan bahwa Desa Wage memang “tanah yang dijanjikan”. Seperti ratu ayu (cantik) yang memesona. Dengan demikian, Wage selalu didorong menjadi kelurahan, walau itu tidak penting menurut saya. Tetaplah menjadi “desa kecil”, namun ekonominya melampaui kelurahan.

Pengelolaan yang baik

Perkembangan pesat di sektor ekonomi di atas memang bukan potensi satu-satunya. Desa Wage memiliki potensi lain berupa sosial budaya.

Tradisi budaya semacam sedekah desa, ruwatan, wayangan, patrol, dan gotong royong masih dilestarikan. Ditambah lagi tradisi agama, seperti yasinan, tahlilan, salawatan, pengajian ibu-ibu, dan juga banjarian masih sering dikerjakan.

Namun demikian, semua potensi itu menjadi tidak berarti manakala pemerintah desa tidak mampu mengelola dengan baik. Pemerintah desa mutlak harus menangkap potensi itu dengan banyak belajar dan membuka diri, serta berkolaborasi dengan banyak pihak. Terutama dari Sidoarjo dan Surabaya yang memiliki potensi besar untuk engagement Desa Wage di media sosial.

Sedikitnya ada tiga alasan yang mesti diperhatikan. Pertama, posisi Desa Wage bukan lagi “desa seperti desa pada umumnya”, yakni menjadi penyokong Surabaya atau Sidoarjo (hinterland).

Desa Wage bahkan berpotensi menjadi entitas yang sejajar dengan kehidupan di perkotaan. Kondisi sosiologis ini tidak bisa dikelola dengan cara biasa. Harus dikelola dengan cara baru, yakni pengelolaan yang lebih professional.

Kedua, jumlah penduduk Desa Wage akan terus meningkat dalam tahun-tahun berikutnya. Mengelola jumlah penduduk yang banyak ini tidak mudah. Karena itu, peningkatan kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi sangat penting. Terutama kepala desa sendiri, perangkat desa, kaur desa hingga perangkat di level RT dan RW.

Ketiga, adalah soal tantangan, cepat atau lambat, masyarakat Wage akan mengalami banyak tantangan. Karena itu, Wage harus didorong menjadi entitas desa yang mandiri, otonom, bercorak lokalitas, dan menempatkan warga sebagai subjek dalam pembangunan.

Ini agar Wage menjadi basis penghidupan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Di saat yang sama, peran pemerintah Desa Wage sangat sentral dan harus lebih sebagai fasilitator, supervisi, dan pengembangan kapasitas desa.

Dengan memperhatikan tiga hal di atas, segala potensi yang dimiliki Wage saat ini akan sangat menguntungkan bagi pemerintah dan masyarakat kebanyakan. Apalagi di era Undang-Undang Desa (UU Desa) ini, di mana desa didorong menjadi garda terdepan dalam pembangunan.

Jika regulasinya sudah ada, geliat ekonominya juga sudah ada, maka tidak ada asalan bagi Desa Wage untuk tidak berkembang dan maju. Ini tentu butuh komitmen, kerja sama, dan kemauan politik yang tinggi.

Satu hal yang pasti, geliat “desa kecil” di selatan Surabaya itu semakin terasa. Menjadi desa yang kuat secara ekonomi dan sosial. Ingat, pembangunan yang sehat berawal dari lingkaran terkecil dulu. Yah, itu kalau menurut saya.

BACA JUGA 5 Hal Konyol yang Bisa Kalian Temukan di Jalanan Kota Surabaya dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis:

Editor: Yamadipati Seno

Terakhir diperbarui pada 25 Mei 2022 oleh

Tags: Desa WageJawa TimurSidoarjoSurabaya
Abdus Sair

Abdus Sair

Dosen Sosiologi, Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.

Artikel Terkait

Sirilus Siko (24). Jadi kurir JNE di Surabaya, dapat beasiswa kuliah kampus swasta, dan mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola amputasi MOJOK.CO
Sosok

Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

16 Desember 2025
Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO
Esai

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025
Perantau Sidoarjo nekat jadi wasit futsal demi bertahan hidup di Jogja hingga akhirnya menyerah MOJOK.CO
Ragam

Perantau Sidoarjo Nekat Jadi Wasit Futsal demi Hidup di Jogja, Berujung Menyerah Kejar Mimpi di Kota Pelajar karena Realita

28 November 2025
Job fair untuk penyandang disabilitas di Surabaya buka ratusan lowongan kerja, dikawal sampai tanda tangan kontrak MOJOK.CO
Aktual

Menutup Bayangan Nganggur bagi Disabilitas Surabaya: Diberi Pelatihan, Dikawal hingga Tanda Tangan Kontrak Kerja

26 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pasar Petamburan di Jakarta Barat jadi siksu perjuangan gen Z lulusan SMA. MOJOK.CO

Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah

19 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Wali Kota Semarang uji coba teknologi bola GPS untuk mitigasi banjir Semarang MOJOK.CO

Bola GPS Jadi Teknologi Mitigasi Sumbatan Air Penyebab Banjir di Simpang Lima Semarang

13 Desember 2025
Saat banyak teman langsungkan pernikahan, saya pilih tidak menikah demi fokus rawat orang tua MOJOK.CO

Pilih Tidak Menikah demi Fokus Bahagiakan Orang Tua, Justru Merasa Hidup Lebih Lega dan Tak Punya Beban

15 Desember 2025
Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025
elang jawa.MOJOK.CO

Mempertaruhkan Nasib Sang Garuda di Sisa Hutan Purba

18 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.