Dominasi Miftah Maulana sebagai penceramah
Lebih dari itu, yang sedang diperagakan Miftah itu dalam praktiknya justru mencerminkan dinamika dominasi. Pelawak (dalam hal ini pemuka agama), memanfaatkan posisinya untuk memperkuat kontrol simbolik atas audiens. Mengapa?
“Sebab panggung keagamaan adalah ruang di mana “modal simbolik” berperan penting,” begitu kira-kira ceramah Gus Pierre Bourdieu (1993) dalam buku The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature, Bab 1. Nah, itulah kenapa ketika humor Miftah Maulana dipindah ke dunia maya tanpa konteks panggung dan nuansa lokal yang menyertainya, ketimpangan kuasa ini menjadi lebih mencolok dan justru mengundang kritik.
Selain itu, watak media sosial sendiri cenderung menciptakan medan baru bagi humor keagamaan. Feltmate, yang di awal tulisan ini bukunya saya rujuk, menunjukkan bahwa humor religius ketika dilepaskan dari konteks lokalnya sering berubah jadi bahan perdebatan moral.
Jadi kalau misalnya Miftah atau timnya bertanya-tanya kenapa viral, maka jawabannya adalah karena dunia maya tidak hanya berisi jemaahnya saja. Media sosial juga menghadirkan audiens dari beragam latar belakang yang tidak selalu memahami konteks budaya atau norma komunitas tempat lelucon itu berasal atau dilontarkan.
Humor itu selalu milik audiens global, bukan peserta ceramah saja
Fenomena ini sejalan dengan konsep global village McLuhan (1964) di mana digitalisasi menciptakan ruang komunikasi global yang simultan. Dalam ruang ini, humor tak lagi hanya milik audiens lokal, tetapi menjadi konsumsi global dengan segala risiko misinterpretasi dan kritik.
Miftah Maulana, dengan demikian, mestinya bisa lebih peka bahwa dakwah di panggung keagamaan yang disponsori oleh kekuasaan itu peluangnya lebih menggelincirkan. Di sana, ada ratusan atau ribuan kamera yang siap menerkam dan memamahnya kapan saja.
Oke, mungkin pihak Miftah Maulana bisa saja berkilah bahwa leluconnya dimaksudkan sebagai humor ringan. Atau, bisa juga alasannya adalah karena gaya dakwah Miftah selama ini memang terlihat spontan, termasuk dalam hal bercanda. Dan, toh, Miftah pada akhirnya memborong es teh dari penjual yang telah diolok-olok sebelumnya.
Humor dalam Islam yang saya kenal
Tapi begini ya jamaah Miftah Maulana rahimakumullah. Humor jenis apa yang dimaksudkan untuk menghibur tapi justru menimbulkan rasa getir? Bukankah humor religius seharusnya mencerminkan nilai-nilai agama itu sendiri?
Saya memang tidak cukup punya kapasitas untuk bicara Islam. Namun, Islam yang saya kenal adalah Islam dengan nilai-nilai luhur seperti penghormatan, kasih sayang, dan keberpihakkan terhadap mustadh’afin yang seharusnya menjadi kompas moral dalam setiap tindak-tanduk humor. Maka ketika humor kehilangan nilai-nilai ini, ia bukan hanya gagal menyampaikan pesan moral, tetapi juga merusak citra agama itu sendiri.
Lepas dari ontran-ontran ceramah Miftah Maulana, sekali lagi, saya ingin sampaikan salam respect kepada Pak Pun. Saya tidak tahu persis betapa struggling-nya kehidupan Pak Pun dan seberapa jauh dia pernah dilemparkan badai, tapi kalau mengutip Iwan Fals dalam “Nyanyian Jiwa”… nyatanya Pak Pun tetap berdiri!!! Tegar, Pak!
Penulis: Anwar Kurniawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Gus Miftah Ajak Selawatan Pemandu Karaoke di Klub Malam dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.