MOJOK.CO – Sebuah ingatan buruk masa kecil, ketika takbir diteriakkan sambil mengintimidasi bahkan sambil membunuh meninggalkan kesan yang sangat mengerikan bagi saya.
Tahun 2000 adalah periode paling kelam di kampung saya, Kecamatan Tellulimpoe, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Saat itu jadi pemandangan biasa ketika takbir dipekikkan sembari menenteng parang dan tombak.
Saya yang masih kelas 3 SD saat itu, mengingat selalu dua truk melintas di depan sekolah saya. Truk-truk itu mengangkut penuh rombongan. Semuanya laki-laki. Di pinggangnya diselipkan parang panjang. Ada pula yang membawa tombak.
Di luar kelas, saya mendengar guru saya menyebut seseorang baru saja dibunuh tadi subuh. Cerita ini melengkapi cerita-cerita horor di kampung lain. Keluarga di kampung seberang mengungsi ke rumah saya. Mereka membawa ternak dan keluarganya.
Saya masih bocah dan satu-satunya yang saya ingat adalah situasi mencekam. Suatu waktu, saya lari ketakutan melewati hutan bersama sepupu saya saat pulang sekolah karena takut amukan massa. Sekolah sempat diliburkan karena konflik berdarah saat itu.
Dua buah paragraf di atas bukan cerita fiktif. Memang bukan cerita besar—karena tak berhasil membesar—yang patut ditulis di buku sejarah. Namun peristwa itu meninggalkan trauma di ingatan saya tentang orang-orang yang menyebut dirinya hendak menegakkan agama tauhid dengan parang dan tombak.
Warga menyebut mereka yang suka teriak takbir ketika melakukan aksinya ini dengan istilah “massa”, seperti sekumpulan orang yang merasa perlu untuk memberantas praktik-praktik yang disebutnya wujud kesyirikan dengan cara memaksa. Satu fenomena yang rupanya kini menjadi ramai kembali dan memaksa ingatan saya berkelebat ke peristiwa 18 tahun lalu itu.
Mereka—dengan membawa parang dan berteriak takbir—ingin memusnahkan tradisi orang-orang kampung. Tempat-tempat yang disakralkan atau tempat-tempat yang sering dijadikan tempat judi dan minum tuak disisir. Rumah-rumah yang dianggap di dalamnya terdapat benda-benda yang dianggap menyekutukan Allah didatangi dan dibongkar paksa. Bagi mereka kebiasaan itu adalah sikap jahiliyah yang harus dibinasakan.
Mereka dipimpin oleh ustaz-ustaz yang mengaku mewakili Allah dengan selalu meneriakkan takbir hendak menegakkan syariat di daerah saya. Rombongan mereka inilah yang disebut oleh orang-orang kampung saya dengan sebutan; “massa”. Saya tidak tahu kalau mereka punya nama sendiri secara spesifik—saya tidak begitu ingat.
Pada akhirnya, mereka yang masih suka bawa makanan ke sungai, ke pohon besar, menaruh benda-benda aneh di rumah jadi sasaran. Selain itu mereka menyasar penjudi, peminum ballo atau tuak, dan pencuri.
Tersebutlah seorang di kampung—sebut saja Pung Ck—yang disebut-sebut sebagai pimpinan pencuri.
Pencuri bagi mereka ya juga penjudi dan peminum ballo/tuak. Pung Ck dipanggil menghadap. Namun pada suatu hari rombongan massa mendatangi rumahnya. Pung Ck dikepung di rumah panggungnya. Massa menombaknya dari kolong rumah. Tak kena. Pung Ck naik ke timpa’ laja’ (Bugis Sinjai: bagian atas rumah kayu) dan masih belum roboh.
Singkat cerita, massa berhasil membunuhnya di samping rumah. Pekik takbir menggema, seperti sebuah teriakan kemenangan.
Usai meninggalnya Pung Ck dengan pekik takbir itu, massa makin gencar mendatangi satu per satu rumah warga. Setiap warga disisir untuk diceramahi dan tentu tak boleh membantah. Mereka mengajak (kalau tak mau pakai kata “memaksa”) bergabung, orang-orang yang diajak ini kemudian diklaim telah “diinsyafkannya”. Dan berhasil. Beberapa orang bergabung dan kekuatan mereka makin besar. Mereka pun semakin percaya diri untuk bertindak.
Merasa sudah di atas angin, mereka makin sewenang-sewenang. Mereka datang ke pasar-pasar. Sasaran mereka adalah ibu-ibu yang tidak berjilbab. Saat itu jilbab belum seheboh sekarang. Yah, namanya ibu-ibu di kampung-kampung, tentu kamu juga tahu kalau nggak semua dari mereka pakai jilbab.
Sayangnya, massa yang makin merasa berkuasa ini tak hanya mengajak, tapi memaksa bahkan memukul. Ya, mereka sampai berani memukul perempuan karena persoalan jilbab. Maka ketika hari pasar tiba dan para perempuan menyadari kedatangan mereka, sudah jadi pemandangan biasa kalau siapa pun yang perempuan akan lari terbirit-birit. Yang tidak berjilbab mengambil begitu saja jilbab yang sedang dipajang penjualnya.
Namun tidak semua rela menerima perlakuan seperti itu. Di Lambari, warga yang marah dan tidak terima perlakuan massa mengepung rumah seorang warga yang bergabung dengan massa. Lalu parang tertebas, jari-jari anggota massa itu dipotong, isi perutnya terburai. Beruntung istri dan anaknya masih sempat melarikan diri dari amukan warga saat itu.
Kalau pulang kampung, saya biasa melewati rumahnya yang kini tak berpenghuni. Ingatan saya selalu mengenang peristiwa itu. Dan saya menjadi mual dan ngeri sendiri.
Massa juga mendapat perlawanan di kampung sebelahnya, Kampung Pakokko namanya. Di sana mereka tertahan oleh warga yang sudah siaga. Salah seorang di antara massa terkena tebasan parang. Situasinya benar-benar seperti perang.
“Beruntung mereka tidak menghadapi tentara yang sudah bersiaga,” kata kakak saya ketika saya mencoba menanyakan detail peristiwa belasan tahun lalu itu.
Tentara tentu punya berhak mengambil tindakan ketika menghadapi kelompok yang suka memaksa dan bertindak kelewat batas.
Konflik akhirnya mereda setelah Brimob diterjunkan. Masing-masing ada satu korban dari massa dan warga yang tewas karena konflik berdarah atas nama penegakan syariat ini. Setelahnya tak lagi pernah terjadi konflik serupa sampai kini—semoga sampai seterusnya.
Kampung saya mulai kondusif. Massa mulai pergi tetapi tidak dengan trauma. Sebuah ingatan buruk bagaimana nama-nama Tuhan diteriakkan sambil mengintimidasi, menakut-nakuti, dan bahkan membunuh benar-benar jadi kenangan buruk bagi saya.
Setelah mereka membuat kekacauan, beberapa tahun sesudahnya ya sama saja. Kembali seperti dahulu: yang judi tetap judi, yang minum tetap minum, yang korupsi ya tetap korupsi, yang bawa sesajen ke tempat-tempat tertentu kembali lagi.
Hal seperti ini sebenarnya menunjukkan sesuatu: seorang mungkin bisa diubah penampilan dan kebiasannya, namun dalam jika perubahan itu bentuknya paksaan maka tidak akan ada hati yang tergerak berubah. Karena semua berubah cuma satu alasan saja, yakni takut.
Sampai sekarang masih ada yang tetap selamatan. Apakah mereka benar-benar menyekutukan Allah? Saya tak tahu pasti. Namun yang ingin saya tanyakan, apakah orang-orang ini pernah mencoba dialog langsung terlebih dahulu sebelum memaksakan kehendaknya?
Saat ini tak sedikit anak muda yang datang ke kota untuk kuliah. Tak sedikit tentu yang ikut kajian entah di teras masjid, di kelas, atau di beranda Facebook. Beberapa di antaranya menjadi suka mudah menuduh sesat, syirik, dan bidah. Mereka pun pulang kampung dengan perasaan telah menemukan kebenaran Islam yang murni lalu mencoba membenarkan kampung mereka.
Tanpa petantang-petenteng, mereka langsung mencap orang lain musik eh musyrik, kafir, calon penghuni kerak neraka tanpa mau lebih dulu untuk berdialog mendekati warga yang kadung dianggap musyrik itu.
Saya jadi bertanya, bukankah para Wali Songo dahulu tidak melakukan praktik demikian? Yang namanya tradisi akan sulit mereka ubah. Kalaupun berhasil diubah secara kasat mata, belum tentu berubah hatinya. Seperti di daerah saya, para ulama biasanya dengan sabar mengubah maksud sesajen dari dalam, niatnya yang diluruskan, bukan wujud kasatnya.
Jika sesaji tadinya untuk jin atau makhluk gaib, diubah jadi diniatkan untuk Allah, lalu hasilnya dimakan bersama-sama. Tentu tidak semua langsung berhasil, hasilnya pun tidak instan, tapi itu jauh lebih bisa menyentuh hati ketimbang memaksakan perilaku yang cuma tampak di permukaan.
Lagian, sejauh sepengetahuan agama saya yang dangkal, dakwah memiliki metode-metode tersendiri. Tak langsung main hantam kiri kanan depan belakang apalagi menuduh musyrik dan kafir begitu saja tanpa ada dialog terlebih dulu.
Bukankah tugas kita menyampaikan dengan cara-cara yang baik? Soal perubahan hati, itu sudah sebenar-benarnya urusan Allah. Sebab bagi saya, mana bisa hidayah dipaksakan?
Jika menyebut asma Allah seharusnya saya tertunduk kagum dan haru, tapi ketika belakangan mulai banyak yang berteriak lantang sambil bawa parang lagi, entah kenapa yang saya rasakan malah takut. Seolah ingatan 18 tahun silam mendadak hadir kembali dan membukakan kembali luka trauma masa kecil saya.