Seandainya Mikha jauh-jauh hari tidak meramalkan –untuk menggenapi nubuat Yesaya—bahwa Yesus akan dilahirkan di Betlehem, mungkin sekarang media sosial juga akan diisi perdebatan kenapa beliau dilahirkan di kota yang kelak diperebutkan oleh penganut tiga agama besar dunia dan justru jadi sumber masalah bagi perdamaian dunia itu untuk melengkapi perdebatan soal atribut dan boleh tidaknya memberi ucapan selamat setiap kali Natal tiba.
Orang yang skeptis akan menyebut bahwa itu kebetulan semata. Kebetulan Kaisar Agustus menghelat sensus penduduk pertama di dunia, kebetulan Yusuf yang tinggal di Nazaret aslinya adalah orang Betlehem sehingga harus pulang kampung, dan kebetulan Maria sedang hamil besar. Kebetulan yang lain adalah, bisa jadi, kebetulan ada kandang domba yang palungannya juga kebetulan masih penuh jerami. Cukup hangat untuk menyambut bayi yang, kata Yesaya, akan dinamai Imanuel.
Momen –dan waktu—jelas penting dari kelahiran dan alasan kenapa Betlehem jadi tempat dilahirkannya Yesus Kristus karena seandainya Yesus baru akan dilahirkan beberapa hari ke depan, kemungkinan beliau akan dilahirkan di Jakarta – mungkin di Rawa Belong atau Condet—karena Pak Anies Baswedan, “sang gubernur Oktober”, beberapa waktu yang lalu mengundang umat Kristen untuk merayakan Natal bersama di Monas – walaupun ditolak oleh PGI dan Keuskupan Agung Jakarta dan akhirnya malah dibatalkan.
Mungkin kalau Yesus dilahirkan di Jakarta, alih-alih mengirim malaikat kepada gembala-gembala yang sedang menjaga ternak di padang, Tuhan justru akan mengirim malaikatnya itu ke rumah para aktivis media sosial –gembala-gembala status—yang lagi mantengin blog atau grup debat agama mereka untuk berkata, untuk berkata, untuk berkata, untuk berkata, untuk berkata, untuk berkata, “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat di kota Jekardah, dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpainya terbaring di tengah mal, dikelilingi oleh karyawan-karyawan mal yang dipaksa pake baju Sinterklas.”
Dan sebelum malaikat itu benar-benar kembali ke surga, dia berhenti sebentar lalu noleh untuk menambahkan, “O iya, satu lagi tandanya: Ormas-ormas yang hobi sweeping, akan mendukung perayaan kelahirannya di Monas.”
Walaupun sudah diramalkan oleh nabi-nabi –yang kebetulan orang Yahudi semua—bahwa Yesus akan dilahirkan di Betlehem, tapi tidak ada satu pun nats di dalam Alkitab yang menyebut bahwa beliau akan dilahirkan di kandang domba. Begitupun, semua umat Kristen tahu bahwa tujuan Tuhan berbuat begitu adalah supaya anaknya itu tidak ditinggikan atau dipuja-puja, supaya beliau dianggap sama seperti manusia lainnya, dan akhirnya supaya manusia juga tidak takut-takut untuk datang kepada-Nya.
Masih untung Yesus didaulat sebagai Anak Tuhan sehingga orang Kristen bisa memanggil Tuhannya ‘Bapa’, coba kalau beliau dipilih jadi presiden, dengan latar belakang yang suram begitu mungkin beliau akan terus di-bully di media sosial sebagai presiden ndeso, plonga-plongo, pencitraan, dan lain sebagainya. Terus nanti ada yang posting foto Yesus lagi nyerut kayu mengingat Yusuf, bapaknya, adalah tukang kayu.
Tapi kalau kata candaan Gus Dur, umat beragama yang paling dekat dengan Tuhan ya orang Kristen itu, karena sementara umat Islam harus memanggil Tuhannya pakai toa dan orang Hindu memanggil Tuhannya ‘Om’, cuma orang Kristen yang memanggil Tuhannya ‘Bapa’. Rekor ini mungkin baru bisa dipecahkan kalau ada agama baru yang Tuhannya dipanggil ‘Bro’ oleh umatnya.
Kembali ke soal kelahiran Yesus, Yusuf dan Maria tidak sempat berdebat apakah anaknya harus dilahirkan outdoor atau indoor, apakah kandang domba itu didesain sebagai tempat untuk melahirkan atau tidak. Selak mbrojol kalau kata nenek saya di Virginia Barat sana. Kesederhanaan adalah kata yang terus dikaitkan dengan kelahiran Yesus. Buktinya ya kandang domba itu. Jadi malah aneh kalau ada imam yang lebih kaya dari umatnya.
Maria juga tidak sempat berdebat dengan ibu-ibu yang lainnya. Apakah akan lahir alami atau operasi sesar, mau asi ekslusif atau susu formula, boro-boro mau debat soal vaksin dan anti vaksin (jangan anti vaksin plis). Karena yang jelas, walaupun Yusuf dan Maria datang ke Betlehem untuk memenuhi panggilan Kaisar Agustus, tapi tidak sepeser pun APBD Israel –apalagi APBN Romawi—yang digunakan untuk membiayai persalinan Maria.
Sudah ditanggung BPJS? Ya ndak. Kasih-Nya seperti sungai, my love.
Persekutuan Gereja Indonesia dan Keuskupan Agung Jakarta seharusnya menolak perayaan Natal secara berlebihan bukan hanya karena akan digelar di ruang terbuka yang konon tidak didesain untuk pengumpulan massa untuk melakukan kegiatan keagamaan, tapi juga karena itu tadi, kelahiran Yesus Kristus dipenuhi dengan simbol-simbol kesederhaan. Dan tidak pernah membebani APBD. Memelintir –tidak mengutip supaya gak dimarahin Tere Liye—sebuah judul buku, “Dirayakan atau tidak dirayakan, besok itu tetap Natal” atau “Natal yang tidak dirayakan, tak akan membenci Monas.”
Kain lampin itu juga simbol kesederhanaan. Yudas Iskariot berpikir bahwa Yesus diutus untuk jadi raja Israel sampai-sampai dia tega menyerahkan lambung junjungannya itu untuk ditikam Longginus supaya rakyat Israel demo berjilid-jilid. Ini politisasi dan PGI dan KJA sudah benar kalau cemas perayaan Natal bersama juga akan dipolitisasi. Tapi kalau PGI dan KAJ khawatir Natal di Monas itu akan dipolitisasi, maka mereka seharusnya juga cemas pada komersialisasi Natal karena toh bayi Yesus dibungkus kain lampin, bukan seragam merah-putih Sinterklas hasil rekaan Coca cola.
Ini bukan merah-putih nasionalisme lho ya, karena nasionalisme kan gak ada dalilnya di Alkitab.
Palungan itu juga kesederhanaan. Di dunia ini, tempat paling hina adalah hati manusia. Selain –tentu saja—ada kebaikan di dalamnya, tapi di dalam hati manusia juga ada ambisi, hawa nafsu, dan keserakahan. Tugas umat Kristen adalah menyiapkan hatinya sebagai palungan –menyediakan jerami yang hangat—sebagai tempat Yesus untuk dilahirkan kembali. Selain di gereja masing-masing, maka tempat terbaik untuk merayakan Natal, kalau kata saya, adalah di hati semua umat Kristen. Gokil banget saya ya?
Akhirnya, selamat Natal kepada semua pembaca Mojok yang merayakannya. Milikilah hati yang sederhana tapi tetap hangat seperti tumpukan jerami di dalam palungan. Jadilah terang dan garam dunia seperti kata Layla di gim Mobile Legend, “I will drive away the darkness.”
Eh, Mojok haram gak sih ngucapin selamat Natal?