Menjelang 71 tahun kemerdekaan Indonesia, tapi saya kok masih merasa kayak numpang di negeri ini, ya?
Lebih tepatnya penonton bayaran, yang tugasnya cuma bersorak “lalala yeyeye” dan memeragakan gerakan cuci jemur cuci jemur yang seirama dan monoton. Penonton bayaran, yang dibayar untuk memandang tontonan yang menarik, menegangkan, menghibur, dan terbaik dari segala sisi: Jakarta.
Bukannya hiperbolik, tapi coba saja tengok: segala sesuatu yang terjadi di Jakarta selalu menjadi headline dan diangkat menjadi cover, termasuk ditayangkan di TV hingga berhari-hari, eh, berbulan-bulan. Eh, salah, bertahun-tahun malah.
Pemberitaan Pilkada DKI, kemacetan lalu lintas, sampai jalan rusak yang tak rusak-rusak amat jika dibandingkan dengan jalan di luar pulau Jawa, semua mendadak heboh jika berita itu muncul dari Jakarta.
Opung-opung saya, misalnya, (kakek/nenek) di desa Hutagodang, Sumatera Utara, sampai dapat menjelaskan Sandiaga Uno itu siapa dan naik Kopaja hari apa saja karena kelewat sering dicekoki berita soal Pilkada DKI.
Saya, yang lahir dan tumbuh besar hingga saat ini di Sumatera Utara, nyaris setiap hari melihat timeline Facebook isinya berita mengenai Ahok, lengkap dengan analisis teman-teman yang ngeri-ngeri sedap. Mereka bahkan bisa berperang komentar apakah Ahok mengkhianati pendukungnya dengan memilih jalur partai dan bukannya independen.
Itu masih di dunia maya, ya. Di dunia nyata, bapak-bapak di lapo tuak bisa sampai lempar-lemparan gelas karena memperdebatkan, lagi-lagi, Ahok. Fenomena ini membuat saya ingin berbisik ke telinga mereka:
“Bapak/ibu koum saluhutna (saudara semuanya), apakah kalian tidak lelah memperdebatkan Ahok? Dia menang atau tidak di Pilkada DKI, atau siapapun lah, memangnya punya pengaruh apa untuk kita-kita yang ada di Sumatera Utara ini?”
Tetapi, mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya.
Media sudah terbiasa membingkai (framing) mana yang penting dan yang tidak. Gawatnya, apa disajikan media kita, terutama di layar kaca, adalah melulu tentang Jakarta. Dengan habitus ini, masyarakat Indonesia yang notabene hobi menonton TV tanpa sadar terbentuk pola pikirnya untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi di Jakarta adalah representase tunggal tentang Indonesia.
Mereka lupa, misalnya, untuk apa ngurusin Pilkada DKI, yang sebenarnya membosankan, datar, dan nggak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Pilkada Sumut?
Sudah dua Gubernur Sumut berturut-turut gol (istilah Medan untuk menyebut orang yang ditangkap aparat) dijerat KPK dan kejaksaan. Sehingga selama enam tahun terakhir, siklus pemerintahan eksekutif Sumatera Utara adalah sebagai berikut:
A mencalonkan diri menjadi Gubernur Sumut menggandeng B sebagai Wakil Gubernur. A dan B kemudian terpilih, lalu tak berapa lama kemudian A dijerat kasus korupsi. B menjadi Plt Gubernur hingga gantian ia yang mencalonkan diri di Pilkada berikutnya. Untuk wakilnya, B menggandeng C. Mereka pun menang.
Beberapa waktu setelahnya, giliran B yang dijerat kasus korupsi. Tak tanggung-tanggung, B ditangkap dan dijebloskan ke penjara bersama dengan istrinya! Amagoiamang, istri kedua pulak! Sewaktu di penjara, kirim-kiriman surat cinta pulak melalui pengacaranya! Ampun ketua!
Kini, Wakil Gubernur C menjabat sebagai Gubernur Sumut. Namun, hingga sekarang ia masih terus dipanggil dan dimintai keterangan oleh pihak yang berwajib terkait kasus korupsi yang sama seperti yang ditimpakan ke mantan gubernur B yang sudah duluan gol.
Jika suatu saat ia juga gol, bayangkan betapa ampuhnya siklus pemerintahan eksekutif Sumatera Utara dalam mencetak koruptor?
Begitu juga dengan drama pemerintahan eksekutif di kota Medan. Siklusnya sama persis. Nah, jika kita ingin menurut kepada logika media pemberitaan Indonesia yang mencintai sensasi dan drama, mana yang lebih dramatis, menegangkan, dan menghibur?
Ahok yang hanya marah-marah kepada supir angkot, atau drama telenovela kursi panas Sumut 1 di atas? Namun, karena drama tersebut tidak terjadi di Jawa, khususnya Jakarta, maka kegawatan tersebut dikesampingkan.
Itu masih soal Pilkada DKI saja. Saya menonton pemberitaan soal jalan rusak di Jakarta merasa antara ingin tertawa atau menangis.
Definisi jalan rusak di Jakarta adalah lubang sebesar tidak sampai satu meter dengan beberapa jalan bergelombang yang tergolong unyu-unyu manja jika dibandingkan dengan jalanan di Sumatera Utara atau wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Di tempat kami, jalanan rusak itu levelnya sudah setara dengan reli Paris Dakar!
Jalan terbelah sampai kubangan air mirip kolam renang merupakan pemandangan biasa di jalanan, baik jalan raya di perkotaan, perkampungan, bahkan jalan lintas provinsi. Jika dikaitkan dengan kebijakan dan tanggungjawab pemerintah, bah, ini lebih memusingkan lagi.
Jalan lintas provinsi, misalnya, pemerintah daerah mengklaim ini bukan tanggungjawab mereka karena jalur tersebut melibatkan banyak kepentingan daerah dan provinsi, sehingga seharusnya pemerintah pusatlah yang bertanggungjawab mengurusi perbaikannya.
Sementara itu, pemerintah pusat berdalih. Oleh karena jalan tersebut berlokasi di daerah dan sudah ada otonomi daerah yang berlaku, sehingga pemerintah daerah menjadi pihak yang seharusnya bertanggungjawab. Kedua pihak ini pun terus-terusan bertengkar dan saling lempar tanggung jawab hingga bumi kiamat kubra.
Berbicara mengenai kebijakan pusat yang melulu berkaca kepada Jakarta saja, pernyataan Mendikbud mengenai full day school adalah yang paling menggelikan di antara semua—kendati ia meralatnya di kemudian hari.
Di Jakarta, kebijakan full day school mungkin relevan, melihat tingkat kesibukan kota ini yang mampu menyerap waktu, tenaga, dan spirit kerja warganya dari sebelum terbit fajar hingga terbenam matahari. Namun, apakah kebijakan ini memiliki fungsi apapun di sebagian besar daerah di Indonesia?
Orang tua masih memiliki waktu yang cukup untuk mengawasi dan melakukan kegiatan bersama dengan anak sepulang sekolah. Lingkungan sekitar anak juga masih menawarkan berbagai aktivitas yang menarik minat sekaligus membangun karakter anak. Mulai dari bermain di bukit dekat rumah dan sungai, sampai membantu orangtua ke sawah dan ladang.
Banyak teman saya yang suka sekali tertawa mengenang masa kecil mereka yang begitu bahagia. Salah satunya adalah ikut ke peternakan keluarga membantu memberi makan babi (peternakan babi merupakan salah satu usaha pertanian yang banyak dilakoni di Sumatera Utara).
Mereka berkisah, sewaktu kecil mereka sudah ikut mengangkut pakan babi yang beratnya mencapai tiga kilogram. Memberi makan babi-babi tersebut di tengah kandang yang jorok, bau, dan licin. Tak jarang mereka terpeleset kotoran si babi. Lalu pada sore hari mereka berteriak memanggil babi-babi dengan panggilan khas “hurje……!!!” agar pulang ke kandang.
Tidak ada satu pun dari teman saya tersebut yang menyesal dengan masa kecilnya, bahkan terlihat sangat bahagia; lebih bahagia dari anak-anak yang tumbuh di perkotaan dan terbebani dengan segenap les, kursus, diselingi dengan hiburan mall.
Teman-teman saya juga tidak tumbuh menjadi pribadi yang gagal, rusak, atau liar. Meskipun beberapa kalangan “intelektual” dan “aktivis” Jakarta akan menggolongkan anak-anak ini sebagai korban dari child labour.
Child Labour, makjang! Aduh… emang susah dan salah terus jadi orang kampung.
Saya yakin, sebagian besar anak-anak yang tinggal di wilayah lainnya di Indonesia juga memiliki pengalaman masa kecil yang sama dengan kami di Sumatera Utara. Maka bayangkan jika misalnya kebijakan full day school tersebut diterapkan, apa yang akan dilakukan oleh anak-anak tersebut di ruang kelas mulai pukul 07.30-17.00?
Jangan bayangkan ruang kelas mereka memiliki rak buku, AC, meja, dan kursi serta fasilitas lainnya yang memadai. Jangankan AC, media pembelajaran yang dipakai di sekolah-sekolah juga belum berubah sejak zaman Soeharto. Belum lagi suhu di dalamnya yang panas minta ampun.
Sistem full day school yang tidak dibarengi dengan fasilitas dan media pembelajaran yang berimbang membuat semuanya malah jadi marsamburetan (tidak jelas). Dan apa urgensinya untuk anak-anak, merupakan misteri besar bagi orang ‘daerah’ seperti kami.
Jakarta memang menghipnotis. Indonesia berotasi mengelilingi Jakarta. Sistem pendidikan di Jakarta adalah yang terbaik, gaya berbicara Jakarta (dan, uhuk, Jawa) adalah yang paling beradab. Menjadi warga Jakarta serta mampu bertahan hidup di Jakarta adalah simbol dari keberhasilan.
Orang-orang yang tinggal di luar Jakarta (dan, uhuk lagi, di luar pulau Jawa) tinggal menjadi penonton bayaran yang terkagum-kagum dengan utopia ala Jakarta.
Jika penonton bayaran yang kerap berlalala yeyeye di acara musik TV dibayar dengan bayaran minimal Rp50.000 per tampil, kami hanya “dibayar” dengan rasa mabuk kepayang yang timbul ketika memandang Jawa dan Jakarta sebagai manifestasi kesuksesan pembangunan infrastruktur dan kualitas manusia.
Setiap tahunnya saudara-saudara kami yang tinggal di Jakarta mudik ke kampung dengan membawa “oleh-oleh” khas Jakarte yakni logat “elu-gue” yang dipaksakan, lengkap dengan tren fashion terbaru seperti yang telah membius kami di acara-acara TV.
Kesuksesan memang membutuhkan penonton. Dan Jakarta membutuhkan rakyat Indonesia lainnya, sebagai penonton.
Terakhir, saya ingin bercerita pengalaman saya ketika mengikuti sebuah forum pemuda di Jakarta yang melibatkan pemuda-pemudi dari seluruh wilayah Indonesia. Kami dikarantina dan tinggal bersama selama hampir tiga minggu. Saat pelaksanaan agenda refleksi yang merupakan agenda terakhir forum, salah seorang teman saya yang berasal dari Jogjakarta menyampaikan kritikan kepada saya dengan halus:
“Mbak, saya dan teman-teman lain ingin menyampaikan sedikit perbaikan untuk Mbak. Mbak tuh, sayang loh, wajahnya ayu, tapi kok kalo ngomong suka kasar, sih? Terkadang masih suka pakai kata ‘aku’, kesannya sombong loh, Mbak. Terus, suara ketawanya itu, lho, kuat banget. Banyak yang sakit hati jadinya, Mbak. Apalagi Mbak kan perempuan…”
Cobaklah ito bayangkan! Apa nggak rusak barang tu!
BACA JUGA Medan Dulu Paris van Sumatra, Sekarang Jadi Jalur Gaza dan artikel Yuri Nasution lainnya.