Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Menolak dan Dipamiti Itu Juga Perih

Prima Sulistya oleh Prima Sulistya
25 Maret 2017
A A
Menolak dan Dipamiti Itu Juga Perih

Menolak dan Dipamiti Itu Juga Perih

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Sebagai perempuan biasa yang kiranya tidak memenuhi tiga kriteria layak istri menurut Rasulullah, ya sudah pasti saya pernah mengalami penolakan. Baik dalam cinta, pekerjaan, hingga pemeliharaan hewan. Satu dari dua kucing saya, setelah dua tahun bahkan, masih menolak patuh dipanggil namanya. Saat kuliah saya pernah mengajak pacaran orang yang dulu pernah nembak saya, tapi ternyata dia sudah muak sama saya karena pernah ditolak dan memberi tidak sebagai jawaban mentah-mentah. Dan tiga tahun lalu, saya pernah mengirim lamaran kerja ke satu media massa tua di Jakarta untuk posisi staf bahasa yang, hasilnya, jangankan ditolak dengan perkataan yang membesarkan hati, lamaran itu dibalas pun tidak.

(Untuk yang nomor tiga, para pengirim artikel yang ditolak Mojok sesungguhnya lebih berbahagia. Ada Gus Mul yang menjawab email mereka.)

Berbagai pengalaman ditolak menyisakan keyakinan, ditolak itu bikin sakit hati. Ya iyalah. Dan ditolak dengan penjelasan yang muter-muter dan mencoba mengaitkan penolakan itu dengan kebaikan diri si tertolak lebih menyakitkan lagi.

Kemudian saya masuk Mojok.

Sebagai redaktur, tugas saya dan Gus Mul adalah (1) mengurasi email kiriman tulisan yang masuk dan memastikan ada tulisan bagus naik tiap hari pukul 7 pagi, (2) mengasuh rubrik bedebah #CurhatMojok tiap Sabtu malam yang sama bedebahnya, dan (3) kadang-kadang ngadmin media sosial kalau lagi butuh hiburan. Enak, kan? Enak banget. Sejak jadi redaktur Mojok, profesi lain yang saya idam-idamkan dan saya anggap setingkat lebih enak adalah jadi tester kasur yang dibayar cuma untuk tidur.

Ide soal enaknya kerja di Mojok itu datangnya di minggu pertama kerja. Dan di minggu-minggu selanjutnya … eng ing eng … ternyata semua itu salah.

Selain tugas-tugas kecil turunan dari dua tugas utama tadi, nyatanya dua tugas utama itu sendiri sudah bikin galaw. Kadang pada hati kecil kami terbesit keinginan untuk ternak lele saja. Tapi, bahkan sesungguhnya ternak lele pun bukan pekerjaan mudah.

Saya akan mulai dari nomor dua. Menjawab #CurhatMojok itu mudah, tapi tidak cukup sampai situ. Menjawab #CurhatMojok itu mudah kalau kamu tidak berpartner dengan Agus Mulyadi.

Saya bertemu Agus Mulyadi Festival Booklovers di Radio Buku tahun 2014, dua tahun sebelum kami jadi teman kerja. Waktu itu namanya sedang moncer-moncernya di Twitter. Saya dipanggil Muhidin M. Dahlan yang sedang duduk dengan teman-teman lainnya. Ternyata ada Gus Mul di sana. Dan saya disuruh motretin mereka. Ini sedih aja atau sedih banget, ya, tweeps?

Walau dia menyebalkan kalau sudah mulai menyanyi dan berjoget di kantor, atau kalau sudah diajak rapat dan pasti pasang tampang malas-malasan, saya adalah pengagum Agus Mulyadi. Agus pandai mengatur alur tulisan. Dia punya ciri khas dengan punch line-nya. Sebagai orang garing yang guyonannya mentok di tebak-tebakan “kenapa kucing nggak bisa mundur?” dan jawabannya ternyata “karena kucingnya cadel, jadi bisanya mundul”, saya hanya bisa bersujud tersungkur di hadapan tulisan Gus Mul.

Dalam situasi macam itu, kami kudu bergantian menjawab #CurhatMojok. Saya galau: bagaimana kalau kualitas jawaban kami jomplang? Bagaimana kalau semua pengirim hanya mengalamatkan curhatnya ke Gus Mul dan tidak ada yang mau kirim ke saya? Bagaimana kalau saya tidak bisa memberi solusi? Bagaimana kalau masalah yang dicurhatkan sama dengan masalah saya, terus saya baper?

Dunia mendadak jadi kompleks, dan pikiran jadi peternak lele datang lagi. Dulu, malam Minggu adalah hari terindah dalam seminggu. Sekarang, malam Minggu pukul 7 adalah deadline bagi saya, jomblo pertengahan umur 20-an, untuk memikirkan masalah percintaan orang lain. Krai.

Kalau menjawab curhat jadi susah karena kami harus menulis, harusnya mengurasi naskah lebih gampang? Oh tidak bisa.

Saya pribadi yang nga tegaan. Sekarang, saya harus menolak naskah orang. Puja kerang ajaib, ini karma yang harusnya baik, tapi kok malah jadi simalakama.

Iklan

Ternyata menolak bukan hal sederhana. Apalagi kalau kamu nggak tegaan. Apalagi kalau kamu nggak tegaan tapi kamu nggak punya kuasa untuk membuat pilihan lain. Ada tulisan yang sebenarnya bagus, tapi tidak bisa naik karena ada yang jauh lebih bagus dan aktual. Ada tulisan yang biasa saja, tapi saya merasa pembuatnya bersungguh-sungguh menuliskannya. Ada pula yang tulisannya biasa saja, namun email dari nama yang sama datang berkali-kali, dan kami jadi salut sendiri. Menolak kok bisa jadi sesentimentil ini.

Dalam bahasa Jawa, ada kata-kata begini, nek lanang menang milih, neng wedok menang nolak. Artinya, laki-laki itu untung karena bisa memilih, tetapi perempuan juga untung karena bisa menolak. Oke, saya kasih tahu sekarang, kalimat itu prek. Mbel. Nggak benar. Kami harus memilih dan menolak sekaligus. Dan itu nga enak. Nga. Mending disuruh makan nasi lauk es batu.

Sekarang saya paham, kenapa ada film macam Up in the Air yang bercerita tentang seseorang yang pekerjaannya cuma jadi tukang mecatin orang karena perusahaan-perusahaan yang bersangkutan nggak tega untuk mecat sendiri.

Ketika Panjul alias Eddward S. Kennedy (sumpah, benci menyebutkan namanya yang sok ngamerika ini) memutuskan pindah dari Mojok ke Kumparan, dia sempat bikin tulisan yang sedih banget. Saya ikut terenyuh membacanya. Sekarang saya mau kasih tahu dia: dia harusnya bersyukur sudah pamitan ke Mojok duluan; sudah meninggalkan Mojok duluan. Kalau dia masih ada di Mojok sampai hari ini, berada di posisi saya sekarang yang dipamiti Mojok; yang ditinggalkan oleh Mojok; yang disuruh Kepala Suku membuat tulisan perpisahan seperti ini, dia akan tahu, dipamiti itu jauh, jauh lebih menyakitkan daripada berpamitan.

Harusnya tulisan ini tayang pukul 7 pagi ini, tapi saya baru selesai menuliskannya pukul 07.30. Terasa berat karena sembari membayangkan, empat hari lagi tanggal 29 Maret 2017, di hari Rabu yang biasanya adalah hari piket saya, saya akan terbangun pukul 6 pagi dan menyalakan laptop, lalu sadar, hari itu saya tidak perlu posting apa-apa, tidak perlu ngadmin apa-apa.

Terakhir diperbarui pada 4 Juni 2021 oleh

Tags: curhat mojokditolakfeaturedmenolakmojok bubar
Prima Sulistya

Prima Sulistya

Penulis dan penyunting, tinggal di Yogyakarta

Artikel Terkait

teman kantor bossy teman kantor menyebalkan rekan kerja menyebalkan cara mengatasi
Curhat

Cara Mengatasi Teman Kantor yang Suka Menindas

4 Oktober 2019
Pojokan

FYI, Ada yang Lebih Urgen daripada Tolak Hasil Pilpres

21 Mei 2019
Love-Me-Love-Me-Not-MOJOK.CO
Curhat

Tiga Cara Mendekati Pria untuk Wanita yang Belum Pernah Pacaran

23 Juni 2018
rebo wekasan
Curhat

Mengatasi Rasa Takut Membuka Obrolan dengan Gebetan

9 Juni 2018
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.