Didamprat istri orang? Pernah. Dikirimin foto-foto tak senonoh, sering. Mengajukan komplain malah dibilang lebay dan dituduh lagi PMS? Pfff, cewek mana yang nggak pernah ngalamin?
Selain kejadian-kejadian nggak penting bin ngehek tersebut, meski punya latar belakang pendidikan yang baik dan keterampilan memadai dan berpenampilan nggak jelek-jelek amat, menjadi perempuan muda juga berarti harus bekerja lebih banyak dan lebih serius dengan apresiasi yang hanya setengah-setengah.
Selepas kuliah dari fakultas teknik, saya bekerja di sebuah perusahaan jasa konstruksi. Kantor saya merupakan sebuah kontraktor lokal yang pekerjanya banyak berada di lapangan dengan manajemen seadanya. Di sana, selain menjadi satu-satunya perempuan, saya juga menjadi satu-satunya yang bisa menggunakan komputer selain untuk fesbukan.
Lalu bagimana jadinya? Ngurus berkas, ngurus pajak, persiapan dokumen lelang, catatan keuangan, menggambar kerja, ngurus izin dari RT ke kecamatan, sampai ngetik surat, siapa lagi kalau bukan saya. Bahkan nyapu kantor dan nyuci gelas. Yah, namanya juga wanita.
Saya sih nggak protes. Sebagai fresh graduate, mendapat beragam pengalaman kerja seperti itu merupakan sebuah pembelajaran yang belum tentu saya dapatkan di kantor-kantor yang terspesialiasi.
Yang bikin dongkol adalah ketika termin turun. Ketika bos dan rekan kerja lain bersenang-senang, saya yang bolak-balik ngurus uang mukanya malah ditinggal. Mengajak saya menikmati Jack Daniels sampai Smirnoff di antara nyanyian dan tarian ladies di sebuah pub memang bukan hal yang pantas. Tapi ketika itu menjadi bonus untuk pekerja lain yang notabene laki-laki semua, apakah saya akan mendapat bonus dalam bentuk lain dan lebih sesuai? Halah, pret!
Hal serupa juga dialami teman saya. Teman saya ini, sebut saja Cinta, bekerja di bagian teknis sebuah kontraktor di daerah lain. Kantor konstruksi Cinta termasuk perusahaan besar di daerahnya, sehingga dalam banyak kesempatan, dia dan para atasan kantornya melakukan perjalanan dinas ke Jakarta. Setiap perjalanan, bisa dipastikan Cintalah yang mengurusi sebagian besar persiapan; mulai dari dokumen sampai tiket dan hotel. Sampai di Jakarta pun, kesepakatan-kesepakatan kerja dengan pihak pusat banyak dikerjakan oleh Cinta.
Nah, sehabis deal tercapai, rombongan kantor Cinta bersenang-senang dong.
Malam itu, Cinta dan para atasannya yang semua lelaki makan malam di restoran mewah. Acara makan dilanjutkan dengan karaoke. Awalnya Cinta biasa saja. Sampai ketika malam mulai meninggi, ruang karaoke didatangi perempuan-perempuan cantik berpakaian seksi. Mereka mulai menari … Cinta cuma bisa melongo.
Salah seorang perempuan mendatangi bos Cinta yang sudah kakek-kakek, lalu melepas atasannya. Belum selesai kaget Cinta, Si Bos melemparkan gigi palsunya. Lalu dengan gigi ompongnya … cup! Kakek-kakek bernostalgia bak bayi yang meminum air susu ibunya.
Setelah acara ‘senang-senang’ kantor Cinta usai, Si Kakek mendatangi Cinta sambil meringis (gigi palsunya sudah terlupakan) dan berkata, “Maaf ya, Cinta. Tadi kami lupa kalau ada kamu.”
Ew. Pengalaman Cinta tadi memang sering jadi bahan tertawaan saya dan teman-teman, tapi sesungguhnya menyebalkan.
Oke, saya dan Cinta tidak mau menghakimi cara bos itu bersenang-senang. Mungkin karena dominasi lelaki di ruang kerja itu, hiburan yang digemari pun begitu patriarkis. Tapi kok ya bisa lupa keberadaan karyawan yang mengerjakann semua tetek bengek yang membuat kamu tambah kaya? Kakek, yang kamu lakukan itu jahat.
Itu belum selesai. Ketika Cinta pulang dari dinas luar kota bersama rombongan atasan, lambe-lambe nyiyir di kantornya mulai beraksi. Kalau Cinta terlihat kusut pas masuk kantor, dibilang kelelahan ‘melayani’. Kalau penampilan Cinta terlihat on point, dibilang keenakan habis diajak jalan-jalan.
Sementara saya, setelah pindah kantor ke konsultan perencanaan–yang bagian teknisnya juga didominasi lelaki, pernah dibilang jadi ‘pemanis’ ketika perjalanan dinas ke luar kota. Padahal kan saya yang presentasi, dengan desain yang saya bikin sendiri karena saya arsiteknya. Hih, KZL!
Hal yang kurang lebih sama juga dihadapi para Kartini lapangan. Saya, waktu awal-awal ke lapangan selalu disuit-suiti gerombolan tukang. Apalagi kalau lagi keliling lapangan sendirian, beh, suit-suitannya sudah menjurus ke sana-sini. Kalau saya curhat ke rekan kerja masalah ini, jawabannya: “Wajar, mereka kan kerjanya laki-laki semua, jadi kalau lihat yang bening dikit begitu.”
Satu-satunya cara yang bisa bikin mereka respek ke saya kalau saya mulai pasang tanduk dan mulai bersikap sebagai ‘atasan’ yang marah. Ya gimana lagi, niat awalnya saya juga mau bekerja secara egaliter, tapi tiap ngomong baik-baik dijawab mesum.
Ditambah lagi ada yang sms-sms gak jelas dari orang-orang lapangan. Kadang yang masuk berupa pesan-pesan jorok yang ew mengganggu banget. Bahkan kadang ada yang ngirimin foto-foto (((pribadi))). Satu nomor diblokir, muncul lagi nomor lain.
Nah, buat temen-temen cewek yang sering menghadapi kejadian begitu, tips dari saya: berpura-puralah kalau kamu adalah laki-laki. Kalau ditelepon nomor-nomor ngehek itu, kadang saya minta temen cowok saya yang ngangkat, atau saya pura-pura jadi ‘suami’ yang membalas sms.
Apa mau dikata, laki-laki model begitu lebih menghargai laki-laki lain yang memiliki si perempuan ketimbang perempuannya sendiri.
Memang, nggak semua lelaki seperti ini. Ada kok yang baik-baik, tapi ya cerita-cerita ini bukan berarti nggak ada dan dianggap biasa saja. Saya juga sadar, penindasan tidak hanya terjadi berbasis gender. Laki-laki juga banyak kok yang menderita karena kerja. Bahkan sampai ada yang meninggal karena kebanyakan kerja, tapi ya itu kan bahasan lain lagi.
Di antara pengalaman-pengalaman tersebut, yang paling berkesan buat saya adalah ketika pertama kali didamprat istri orang. Waktu itu saya masih bekerja di kantor lama. Salah seorang pegawai sana, sebut saja Budi, kadang memang mengirim pesan kerja dengan embel-embel merayu. Tapi saya selalu berkomunikasi dengannya secara profesional, sumpah, bahkan kadang galak soalnya dia nyebelin.
Pada suatu hari Minggu, ponsel saya ditelepon nomor tak dikenal. Saya angkat, ternyata istri Budi.
“Heh kamu! Kamu sekantor dengan Budi, kan? Kenapa kamu sms-an sama dia? Kok nomormu ada di hapenya?”
Saya, yang gelagapan diserang begitu cuma bisa menjawab terbata, “Iya … kan sekantor … urusan kerja.”
“Alah, ALESAN!” Semprotnya. “Pasti kamu curhat-curhatan berdua pas di kantor! Ganggu-ganggu suami orang. Aku datengin kamu, ya!”
Lalu telepon ditutup. Dan menyebalkannya, setelah telepon ditutup itu saya baru mulai merasa marah. Berbagai macam argumen yang telat datangnya mulai berlintasan di kepala. Untungnya (?) beberapa saat kemudian Si Istri Budi menelepon lagi.
Samar-samar terdengar suara Budi, tapi istrinya berteriak. “Nih aku lagi sama Budi! Katanya dia suka sama kamu! Mau apa kamu??”
“Lah, aku nggak mau sama Budi!” jawab saya.
“Heh, Bud! Denger tuh, dia nggak mau sama kamu. Lagian cewek mana yang mau sama kamu? Aku juga udah nggak mau lagi! HUH!”
Hahaha. Kasiaaan deh lu, Bud!