MOJOK.CO – Telah empat tahun Macan Cisewu berpulang (14 Maret 2017-14 Maret 2021), namun sumbangsihnya pada bangsa ini tak boleh terlupa.
— Sebuah sambutan dari penggemar
Dalam peringatan empat tahun wafatnya Macan Cisewu ini, saya bermaksud kembali mengenang jasa-jasa Almarhum yang jika ditelaah lebih dalam, ternyata sangat besar dibanding usia viralnya yang demikian singkat. Singkatnya, macan ini seharusnya menjadi legenda. Wajahnya yang murah senyum telah mengajarkan warga republik ini makna persatuan yang jauh lebih hakiki, sejati, dan terutama, bebas lendir.
Tanpa harus berpanjang kata, saya berani menisbatkan ia sebagai ikon pemersatu bangsa kontemporer. Paling tidak dua tingkat di bawah Sumpah Pemuda dan Panca Sila.
Sebagai pemersatu bangsa, saya sadar Macan Cisewu dinilai sebagian orang sebagai pelecehan. Apalagi untuk bapak-bapak (dan mungkin ibu?) tentara yang fardu hukumnya untuk kelihatan gagah, seram, dan tidak terlalu banyak mempromosikan pasta giginya lewat senyuman. Patung macan yang tampak berbahagia sepertimu menjadi sebuah penistaan.
Tetapi sadarlah, jasanya kelewat besar untuk mengajarkan kita tentang persatuan.
Ingatkah kita bagaimana situasi republik di pengujung usia Macan Cisewu pada 2017 itu? Di sepertiga tahun itu, sebagian besar perhatian masyarakat terpusat pada pilkada DKI Jakarta 2017. Tensi politik begitu tinggi. Bibit-bibit perselisihan yang sudah tumbuh sejak 2014, semakin mekar. Pendukung masing-masing kubu sudah pasang kuda-kuda menunggu dentang lonceng untuk maju bergelut. Jurus-jurus Wan Bango hingga Wan Pete sudah dikeluarkan. Dan seperti biasa, ketika pendukungnya bercucuran air mata dan keringat, calon yang didukung justru duduk bareng, foto bersama, lalu tertawa bersama Ira Koesno.
Di tengah situasi itu, semesta menggerakkan hati seorang warganet yang melewati ruas Jalan Pangalengan di Kabupaten Garut, Jawa Barat untuk mengabadikan fotonya yang, harus saya akui, memiliki wajah seolah tanpa beban. Untunglah, jingga di tubuhnya lebih cerah dibandingkan rompi KPK. Salah-salah, jika warna jingganya sama atau mirip, tak rela saya kalau ia disejajarkan dengan koruptor dan pencoleng. Naudzubillah!
Apa yang terjadi kepadanya sesudah itu?
Sungguh tak diduga. Macan Cisewu meledak dan terkenal luar biasa! Wajahnya mendadak ada di mana-mana. Fotonya dijadikan foto profil banyak akun media sosial. Komunitas meme kebanjiran tenaga dan jadi produktif luar biasa. Macan Cisewu membawa berkah. Ia berhasil menyunggingkan senyum di bibir banyak orang. Siapa nyana, sedetik foto senyuman berhasil mengalahkan banyak komedian garing yang bertahun-tahun nongol di televisi untuk melucu, namun sejatinya hanya melecehkan kecerdasan penonton.
Tetapi Macan Cisewu bukan hanya pemantik senyum yang jenaka. Dengan perhatian orang yang teralih kepadanya di tengah situasi pilkada yang membuat sepaneng, ditimpali ancaman ayat-mayat pula, netizen Indonesia yang tadinya nyaris terpolarisasi antara nomor 1, 2, dan 3, antara Jakarta Maju atau Jakarta Bahagia, kemudian terbahak-bahak bersama untuk sesaat. Wahai, Macan Cisewu, sekurang-kurangnya engkau telah merekatkan kembali yang terpecah lewat senda dan tawa.
Dari kasus ini, Macan Cisewu mengingatkan saya pada referat Tubagus Dedi Gumelar a.k.a. Mi’ing Bagito yang pernah ia sampaikan dalam sebuah diskusi budaya “Humor Masa Kini” di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, 11 Maret 2016.
Mi’ing menekankan ketika itu tentang fungsi humor sebagai sebuah katarsis atas ketegangan politik. “Lebih baik orang bisa ketawa ger-geran dan tersindir daripada berteriak di jalanan dan tidak didengarkan,” tukasnya. Lebih lanjut lagi, pendapat Mi’ing ditimpali oleh penulis Arswendo Atmowiloto, “Dalam zaman yang serbabrutal, kita sebenarnya masih bisa mengusahakan humor yang tidak menyudutkan, suatu bentuk humor tanpa korban!”
Sebagaimana kita semua tahu, demikian besar peran Macan Cisewu sebagai bentuk ventilasi atas pengapnya tensi dan suhu politik tak berlangsung lama. Sungguh ini teramat kita sesali. Tawa berubah jadi kekecewaan mendalam ketika Macan Cisewu disingkirkan Koramil Cisewu, tempat ia bernaung sejak 2011.
Koramil Cisewu memutuskan mengganti Macan Cisewu dengan patung macan lain yang lebih gagah, seram, dan tak sudi menyimpulkan senyum manis di wajahnya.
Empat tahun sesudah kepergian Macan Cisewu mendorong dan memotivasi saya untuk membuat sebuah monumen atas perjuangan dan jasa besarnya mempererat lagi persatuan bangsa yang koyak karena politik yang makin berangasan.
Sebagai sebuah mimpi, izinkan saya menyampaikan usul, agar pohon beringin di Garuda Panca Sila lebih baik digantikan wajah Macan Cisewu saja. Sebagai lambang persatuan, wajahnya masih murni, belum dipolitisasi seperti beringin yang sempat jadi lambang penguasa negeri selama tiga dasawarsa—dan kabarnya tengah menyiapkan the legend continuous yang akan diluncurkan dalam waktu dekat. Bersatu dalam tawa, seperti yang Macan Cisewu teladankan, nyatanya lebih menyehatkan dan manjur dibanding persatuan dalam “Bisa share link-nya, Bosque?”
Engkau mengajarkan kami tertawa tanpa menyerang. Engkau mengajarkan kami bersatu tanpa dipaksa. Ternyata, di dalam kesesakan, tetap tak ada yang bisa mengalahkan senyum dan kegembiraan.
Macan Cisewu est mort ! Vive le Macan Cisewu !
BACA JUGA Surat Terbuka kepada Danramil Cisewu dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.