Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Mengenang 4 Tahun Wafatnya Macan Cisewu

Chris Wibisana oleh Chris Wibisana
14 Maret 2021
A A
harimau
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Telah empat tahun Macan Cisewu berpulang (14 Maret 2017-14 Maret 2021), namun sumbangsihnya pada bangsa ini tak boleh terlupa.

— Sebuah sambutan dari penggemar

Dalam peringatan empat tahun wafatnya Macan Cisewu ini, saya bermaksud kembali mengenang jasa-jasa Almarhum yang jika ditelaah lebih dalam, ternyata sangat besar dibanding usia viralnya yang demikian singkat. Singkatnya, macan ini seharusnya menjadi legenda. Wajahnya yang murah senyum telah mengajarkan warga republik ini makna persatuan yang jauh lebih hakiki, sejati, dan terutama, bebas lendir.

Tanpa harus berpanjang kata, saya berani menisbatkan ia sebagai ikon pemersatu bangsa kontemporer. Paling tidak dua tingkat di bawah Sumpah Pemuda dan Panca Sila.

Sebagai pemersatu bangsa, saya sadar Macan Cisewu dinilai sebagian orang sebagai pelecehan. Apalagi untuk bapak-bapak (dan mungkin ibu?) tentara yang fardu hukumnya untuk kelihatan gagah, seram, dan tidak terlalu banyak mempromosikan pasta giginya lewat senyuman. Patung macan yang tampak berbahagia sepertimu menjadi sebuah penistaan.

Tetapi sadarlah, jasanya kelewat besar untuk mengajarkan kita tentang persatuan.

Ingatkah kita bagaimana situasi republik di pengujung usia Macan Cisewu pada 2017 itu? Di sepertiga tahun itu, sebagian besar perhatian masyarakat terpusat pada pilkada DKI Jakarta 2017. Tensi politik begitu tinggi. Bibit-bibit perselisihan yang sudah tumbuh sejak 2014, semakin mekar. Pendukung masing-masing kubu sudah pasang kuda-kuda menunggu dentang lonceng untuk maju bergelut. Jurus-jurus Wan Bango hingga Wan Pete sudah dikeluarkan. Dan seperti biasa, ketika pendukungnya bercucuran air mata dan keringat, calon yang didukung justru duduk bareng, foto bersama, lalu tertawa bersama Ira Koesno.

Di tengah situasi itu, semesta menggerakkan hati seorang warganet yang melewati ruas Jalan Pangalengan di Kabupaten Garut, Jawa Barat untuk mengabadikan fotonya yang, harus saya akui, memiliki wajah seolah tanpa beban. Untunglah, jingga di tubuhnya lebih cerah dibandingkan rompi KPK. Salah-salah, jika warna jingganya sama atau mirip, tak rela saya kalau ia disejajarkan dengan koruptor dan pencoleng. Naudzubillah!

Apa yang terjadi kepadanya sesudah itu?

Sungguh tak diduga. Macan Cisewu meledak dan terkenal luar biasa! Wajahnya mendadak ada di mana-mana. Fotonya dijadikan foto profil banyak akun media sosial. Komunitas meme kebanjiran tenaga dan jadi produktif luar biasa. Macan Cisewu membawa berkah. Ia berhasil menyunggingkan senyum di bibir banyak orang. Siapa nyana, sedetik foto senyuman berhasil mengalahkan banyak komedian garing yang bertahun-tahun nongol di televisi untuk melucu, namun sejatinya hanya melecehkan kecerdasan penonton.

Tetapi Macan Cisewu bukan hanya pemantik senyum yang jenaka. Dengan perhatian orang yang teralih kepadanya di tengah situasi pilkada yang membuat sepaneng, ditimpali ancaman ayat-mayat pula, netizen Indonesia yang tadinya nyaris terpolarisasi antara nomor 1, 2, dan 3, antara Jakarta Maju atau Jakarta Bahagia, kemudian terbahak-bahak bersama untuk sesaat. Wahai, Macan Cisewu, sekurang-kurangnya engkau telah merekatkan kembali yang terpecah lewat senda dan tawa.

Dari kasus ini, Macan Cisewu mengingatkan saya pada referat Tubagus Dedi Gumelar a.k.a. Mi’ing Bagito yang pernah ia sampaikan dalam sebuah diskusi budaya “Humor Masa Kini” di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, 11 Maret 2016.

Mi’ing menekankan ketika itu tentang fungsi humor sebagai sebuah katarsis atas ketegangan politik. “Lebih baik orang bisa ketawa ger-geran dan tersindir daripada berteriak di jalanan dan tidak didengarkan,” tukasnya. Lebih lanjut lagi, pendapat Mi’ing ditimpali oleh penulis Arswendo Atmowiloto, “Dalam zaman yang serbabrutal, kita sebenarnya masih bisa mengusahakan humor yang tidak menyudutkan, suatu bentuk humor tanpa korban!”

Sebagaimana kita semua tahu, demikian besar peran Macan Cisewu sebagai bentuk ventilasi atas pengapnya tensi dan suhu politik tak berlangsung lama. Sungguh ini teramat kita sesali. Tawa berubah jadi kekecewaan mendalam ketika Macan Cisewu disingkirkan Koramil Cisewu, tempat ia bernaung sejak 2011.

Iklan

Koramil Cisewu memutuskan mengganti Macan Cisewu dengan patung macan lain yang lebih gagah, seram, dan tak sudi menyimpulkan senyum manis di wajahnya.

Empat tahun sesudah kepergian Macan Cisewu mendorong dan memotivasi saya untuk membuat sebuah monumen atas perjuangan dan jasa besarnya mempererat lagi persatuan bangsa yang koyak karena politik yang makin berangasan.

Sebagai sebuah mimpi, izinkan saya menyampaikan usul, agar pohon beringin di Garuda Panca Sila lebih baik digantikan wajah Macan Cisewu saja. Sebagai lambang persatuan, wajahnya masih murni, belum dipolitisasi seperti beringin yang sempat jadi lambang penguasa negeri selama tiga dasawarsa—dan kabarnya tengah menyiapkan the legend continuous yang akan diluncurkan dalam waktu dekat. Bersatu dalam tawa, seperti yang Macan Cisewu teladankan, nyatanya lebih menyehatkan dan manjur dibanding persatuan dalam “Bisa share link-nya, Bosque?”

Engkau mengajarkan kami tertawa tanpa menyerang. Engkau mengajarkan kami bersatu tanpa dipaksa. Ternyata, di dalam kesesakan, tetap tak ada yang bisa mengalahkan senyum dan kegembiraan.

Macan Cisewu est mort ! Vive le Macan Cisewu !

BACA JUGA Surat Terbuka kepada Danramil Cisewu dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 15 Maret 2021 oleh

Tags: koramil cisewumacan cisewuNasionalismePersatuan
Chris Wibisana

Chris Wibisana

Artikel Terkait

3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini MOJOK.CO
Esai

3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini

26 Februari 2025
Ragam

Kedunguan Kabinet Prabowo dan Cara Pandang pada Papua yang Tak Berubah

30 Oktober 2024
Melihat Nasionalisme dari Luar Lapangan Piala Dunia 2022 MOJOK.CO
Esai

Melihat Nasionalisme dari Luar Lapangan Piala Dunia 2022

6 Desember 2022
KPAI
Kepala Suku

Apa yang Sedang Koyak di Negeri yang Merindukan Persatuan Ini?

23 Mei 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

bapakmu kiper.MOJOK.CO

Fedi Nuril Jadi Mantan “Raja Tarkam” dan Tukang Judi Bola di Film Bapakmu Kiper

17 Desember 2025
Makin ke sini pulang merantau dari perantauan makin tak ada ada waktu buat nongkrong. Karena rumah terasa amat sentimentil MOJOK.CO

Pulang dari Perantauan: Dulu Habiskan Waktu Nongkrong bareng Teman, Kini Menghindar dan Lebih Banyak di Rumah karena Takut Menyesal

12 Desember 2025
Elang Jawa terbang bebas di Gunung Gede Pangrango, tapi masih berada dalam ancaman MOJOK.CO

Elang Jawa Terbang Bebas di Gunung Gede Pangrango, Tapi Masih Berada dalam Ancaman

13 Desember 2025
bantul, korupsi politik, budaya korupsi.MOJOK.CO

Raibnya Miliaran Dana Kalurahan di Bantul, Ada Penyelewengan

16 Desember 2025
Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025
Peringatan Hari Monyet Ekor Panjang Sedunia di Jogja. MOJOK.CO

Pilu di Balik Atraksi Topeng Monyet Ekor Panjang, Hari-hari Diburu, Disiksa, hingga Terancam Punah

15 Desember 2025

Video Terbaru

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025
Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

10 Desember 2025
Sirno Ilang Rasaning Rat: Ketika Sengkalan 00 Menjadi Nyata

Sirno Ilang Rasaning Rat: Ketika Sengkalan 00 Menjadi Nyata

6 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.