MOJOK.CO – Karena satu oknum, nama baik buaya rusak selamanya. Istilah buaya darat itu sangat tidak adil karena buaya adalah lambang kesetiaan.
Jair Bolsonaro. Lidah Presiden Brasil itu memang luwes banget kalau merancang kalimat-kalimat kontroversial. Sebelumnya, Pak Jair bilang kalau virus corona ini cuma flu biasa. Setelah dirinya kena dan sembuh, Pak Jair menolak dikasih vaksin. Katanya, siapa yang bakal tanggung jawab kalau vaksin bikin manusia jadi buaya?
“Di dalam kontrak Pfizer, sangat jelas bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas efek samping apa pun. Jika Anda berubah menjadi buaya, itu masalah Anda,” katanya, dikutip dari New York Post.
“Jika Anda menjadi manusia super, jika seorang wanita mulai menumbuhkan janggut atau jika seorang pria mulai berbicara dengan suara seperti banci, mereka tidak akan ada hubungannya dengan itu,” tambahnya lagi, merujuk pada vaksin Pfizer. Lentur banget lidahnya Pak Jair kayak giringannya Ronaldinho. Lidah joga bonito.
Nah, sebagai media yang tidak berfaedah dan suka mengadu domba umat, Mojok mengajak kamu semua untuk melihat pernyataan Pak Jair dari sudut berbeda. Dengan mengusung semangat husnudzon, siapa tahu, Pak Jair punya pernyataan tersirat dari kontroversi yang lidahnya produksi itu.
Saya curiga, Pak Jair punya misi tersirat. Coba perhatikan betapa random penggunaan kata “buaya” di pernyataannya soal vaksin. Kenapa harus buaya? Padahal, buaya bukan satwa khas Brasil. Sangat aneh kalau Pak Jair tiba-tiba memilih buaya, bukan anaconda, capybara, atau jaguar sebagai satwa khas negaranya.
Saya curiga, Pak Jair punya misi mengembalikan maruwah atau nama baik buaya! Kita tahu, selama ini, nama baik buaya sudah rusak, terima kasih untuk anomali dan istilah buaya darat. Apalagi, akhir-akhir ini, istilah buaya darat kembali ramai berkat media sosial.
Buaya nggak pernah bikin sebel. Mereka tidak pernah bertanya agamamu apa ketika ketemu buaya baru. Mereka lebih memilih chill sendirian di pinggir sungai ketimbang ikut gowes pagi yang ujungnya makan soto ramai-ramai. Buaya itu baik. Be like them.
Tahukah kamu, buaya itu hewan yang sangat setia kepada pasangan! Sangat kontras dengan arti istilah buaya darat!
Sebuah penelitian dilakukan oleh sekelompok peneliti dari Rockefeller Wildlife Refuge (RWR) di Louisiana, Amerika Serikat pada 2008. Hasil penelitian bikin mereka kagum. Buaya jantan tidak akan pindah ke lain hati, begitu juga sebaliknya.
Pak buaya juga bertindak sebagai bapak yang SIAGA ketika istrinya akan melahirkan. Dia akan melindungi istrinya yang hendak bertelur. Setelah telur itu keluar, dia akan menjaganya sepenuh hati, penuh perhatian, dan dedikasi sampai waktu menetas tiba.
Kelak, ketika istrinya mati lebih dulu, si bapak buaya juga akan setia tidak kawin-mawin lagi. Si bapak buaya pasti considerate banget sama anak-anaknya yang mungkin nggak siap punya ibu baru. Siapa tahu dapat ibu tiri yang galak banget kayak para manusia itu. Oleh sebab itu, buaya dianggap sebagai lambang kesetiaan.
Lambang kesetiaan itu bisa kamu lihat di pernikahan orang Betawi. Pasti ada tuh yang namannye roti buaye. Nah, ntu jadi lambangnye kesetiaan. Napa jadi gini yak nulisnya, set daaah.
Masykur Isnan, tokoh muda Betawi menjelaskan bahwa roti buaya punya nilai sosiologis dan filosofis. Apalagi, etnis Betawi hidup dekat dengan sungai dan rawa, habitat buaya, yang sekarang berubah jadi lahan parkir atau perumahan itu.
“Bagi orang Betawi, kesetiaan buaya cuma salah satu wujud yang diteladani. Sebab, dalam roti buaya turut melambangkan hal lainnya juga seperti kejantanan, penuh kekuatan, serta kesabaran saat berburu mangsa. Jadi, dalam roti buaya yang menjadi seserahan, semua sifat buaya yang baik-baik itu dapat terwakili dalam roti buaya,” kata Masykur Isnan seperti dikutip VOI.
Nah, sudah jelas kalau buaya itu hewan yang setia. Beda banget sama istilah buaya darat. Lantas, dari mana istilah buaya darat itu berasal?
Nggak ada sumber pasti dari munculnya istilah buaya darat. Merujuk Samsudin Adlawi, wartawan senior, di majalah Tempo, istilah buaya darat berawal dari cerita masyarakat Soronganyit, Jember, Jawa Timur pada 1971.
Ceritanya, di Soronganyit ada sebuah tambak buaya. Jadwal aktivitas buaya di darat dan air begitu ketat. Mungkin itu tambaknya militer buaya. Telat nyemplung air suruh push-up.
Suatu hari, seekor buaya jantan menghilang. Warga geger, takut menjadi mangsa. Tiga bulan kemudian, buaya tadi ditemukan sudah bersama buaya betina bukan pasangan sahnya. Betina itu baru seumur anaknya sendiri. Untung Pak RT di sana baik, ya. Nggak mengarak pasangan bukan mahram itu sambil telanjang keliling kampung.
Warga yang menemukan mengumpat “Dasar buaya!” Tentu bakal kocak banget kalau malah mengumpat “Dasar kecoa!” ada-ada saja.
“Sejak saat itu, ketika ada lelaki punya hubungan gelap dengan perempuan yang bukan pasangan sahnya, ia spontan dikatani ‘lelaki buaya darat’,” tulis Samsudin Adlawi di Tempo.
Susu sebelanga rusak karena nila setitik. Nama baik buaya rusak karena satu oknum saja! ini bentuk ketidakadilan untuk para buaya di luar sana yang setia kepada pasangan dan sudah menjadi father figure yang baik untuk anak-anaknya yang masih kicik.
Sekarang, kalau ada cowok yang bilang, “Aku kayak gini cuma sama kamu,” pasti langsung kena cap buaya darat. Lho, siapa tahu, dia begitu cuma sama kamu beneran.
Atau, ada cowok perhatian tulus lalu bilang, “Kamu jangan sakit, ya. aku anterin makan ke kos?” Eh, dianggap buaya darat, lagi nyari mangsa di kos-kosan bebas biasanya di daerah [REDACTED] di utara Jogja.
Atau, ketika cowok bilang, “Wah hujannya deres, nonton film di kosku aja, yuk.” Eh, dianggap buaya darat mau mesum saja. Siapa tahu, si cowok memang ingin diskusi film secara dia seorang sinefil ternama di [REDACTED] yang sudah bikin esai soal film dengan judul [REDACTED].
Ketulusan manusia dicurigai, dicap pakai istilah buaya darat. Padahal, di sudut Sungai Musi, seekor buaya betina sedang sangat bahagia karena suaminya ternyata sangat setia. Antara omongan dan kelakuan tidak berbeda. Pak buaya ternyata calon suami yang baik. Kebapakan banget.
Apa salah buaya? Saya curiga, Pak Jair Bolsonaro sadar bahwa salah paham ini perlu diluruskan. Perlu diperbaiki karena nama baik buaya rusak karena oknum!
Terutama perlu dicari juga orang yang nyeletuk bilang “Dasar buaya!” pada 1971. Dia harus tanggung jawab karena celetukannya membuat kehidupan para buaya jadi berbeda! Nama baik mereka tercoreng oleh oknum dan celetukan!
Mulai saat ini, jangan kita pakai istilah buaya darat. Saya mengusulkan pakai istilah “kelinci darat” saja karena kelinci suka free seks tanpa pengaman dan ngajak nonton film di kos-kosan bebas pas hujan deras di daerah [REDACTED] di utara Jogja.
BACA JUGA Air Mata Buaya, Sebuah Lambang Kesedihan Palsu atau tulisan lainnya di rubrik ESAI.