Kandungan Romlah sudah masuk hitungan sembilan bulan. Dia hanya menunggu hari untuk melahirkan. Bidan memperkirakan, Romlah akan melahirkan di ujung Ramadan. Dan itulah yang mencemaskan Sunody Abdurrahman, suaminya.
Dia tentu saja berbahagia karena akan segera punya anak dan tanggung jawab baru sebagai seorang bapak. Tapi yang dia kuatirkan adalah keselamatan istrinya saat melahirkan dan keselamatan calon anaknya. Pikirannya sering dipenuhi kecemasan yang bukan-bukan. Takut Romlah begini. Takut bayi mereka begitu.
Nody memang mencintai istrinya. Jauh-jauh hari dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyongsong hari persalinan istrinya. Tapi semakin mendekati hari kelahiran, kecemasannya semakin mengaduk-aduk.
Mau mengadu ke Mat Piti, mertuanya, dia segan. Mau curhat ke Cak Dlahom yang juga mertuanya, apalagi. Dia kebingungan sendiri. Romlah sudah mengingatkan agar Nody tak usah berpikir yang bukan-bukan. Agar menyerahkan semuanya pada Allah.
“Kita kan hanya bisa berusaha, Mas…”
“Iya, Dik, tapi menyerahkan semua pada Allah itu seperti apa? Aku mencemaskanmu. Mencemaskan anak kita. Aku sudah menyerahkan pada Allah, tapi aku tetap cemas.”
Begitulah jawaban Nody ketika Romlah mencoba menenangkan hatinya. Dia sebetulnya juga cemas. Kecemasannya bahkan jauh lebih besar ketimbang kecemasan Nody. Tapi dia berusaha tenang dan mencoba mengerti kegelisahan suaminya.
Dan sudah sebulan terakhir, wajah Nody lebih sering tampak seperti air keruh. Dia tetap selalu tersenyum, tapi matanya seperti menyorotkan sesuatu yang berat.
Cak Dlahom melihat perubahan wajah Nody itu. Dia melihat Nody bukan Nody yang biasa dia lihat: berwajah cerah. Nody akhir-akhir ini adalah Nody yang selalu menyendiri atau hanya berdua dengan Romlah.
Maka pada suatu malam, Cak Dlahom menemui Nody yang sedang bersantai bersama istrinya di teras depan. Dia segera duduk di lantai. Anak dan mantunya itu kaget. Mereka hendak turun dari lincak tapi Cak Dlahom melarang.
“Tak usah turun. Duduk saja di sana…”
Nody dan Romlah tak membantah. Nody menunduk. Romlah memain-mainkan tangannya. Mereka tahu, kalau Cak Dlahom menemui mereka, biasanya akan ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan. Mereka menunggu.
“Nod…”
“Dalem, Cak…”
“Berapa lama kamu menikahi Romlah?”
“Sudah setahun, Cak.”
“Sudah setahun…”
Cak Dlahom bergumam mengulang jawaban Nody. Suasana hening. Romlah dan Nody menunduk.
“Apa yang memberatkan pikiranmu, Nod?”
Nody tak segera menjawab. Mertuanya bertanya tentang sesuatu yang selama ini ingin diutarakannya, tapi kini dia justru kebingungan untuk menjawabnya. Dia mengambil napas dalam-dalam.
“Saya memikirkan Romlah dan calon anak kami, Cak.”
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Keselamatan keduanya…”
“Lalu setelah kamu pikirkan, apa kelak kamu bisa menyelamatkan Romlah dan anakmu?”
“Tentu tidak, Cak.”
“Apa sore tadi kamu mandi, Nod?”
Nody tidak segera menjawab pertanyaan mertuanya itu, tapi Cak Dlamon mengulang pertanyaannya.
“Sudah mandi, Nod?”
“Sudah, Cak?”
“Mandi dengan air?”
“Dalem, Cak…”
“Air bersih?”
“Air yang sama yang kita gunakan setiap hari.”
“Lalu apa kamu lihat ke mana larinya air yang kamu gunakan untuk mandi?”
“Mengalir ke selokan…”
“Benar kamu lihat air itu mengalir ke selokan?”
“Tidak, Cak. Saya hanya melihat air dari kamar mandi masuk ke lubang pembuangan.”
“Mestinya kamu perhatikan ke mana air bekas mandimu itu mengalir.”
Nody tak menjawab. Romlah tak enak hati. Dia ingin menjawab tak mungkin suaminya memperhatikan ke mana air bekas mandinya mengalir, karena itu artinya Nody harus keluar kamar mandi sambil telanjang. Tapi Romlah juga hanya diam saja. Dia tak ingin Cak Dlahom semakin aneh.
“Air mandimu air bersih. Dia membersihkanmu. Membawa kencingmu, membawa semua kotoranmu. Masuk ke lubang pembuangan lalu mengalir ke selokan. Di sana, airmu bertemu dengan air dari kamar mandi dan dapur dari rumah yang lain dengan membawa kotoran lain.
Dari selokan mengalir ke kali yang agak besar. Bertemu dengan air dari rumah-rumah lain dengan membawa kotoran lain yang lebih banyak. Dari kali yang agak besar mengalir ke sungai. Kotoran yang dibawa air bertambah banyak. Kayu, bangkai, ludah, darah, nanah, dan sebagainya. Di beberapa tempat, air sungai dibendung. Sebagian mengalir ke parit, mengalirkan air ke sawa, ke ladang. Tapi air tetap dan terus mengalir. Membawa apa saja yang dibuang kepadanya. Menghanyutkan apa saja.”
Cak Dlahom sebentar berhenti. Seolah memberikan kesempatan kepada Nody dan Romlah untuk mencerna yang diucapkannya. Dia menyalakan rokok. Mengisapnya dalam-dalam.
“Semuanya dibawa oleh air. Dibawanya ke laut. Dan laut menerima semua pembuangan dari seluruh sungai. Dari mana saja. Dan kamu tentu tahu, air kotor itu, semuanya lalu menjadi bersih di laut. Airnya bersih dan membersihkan. Suci mensucikan. Semua yang hidup di dalamnya boleh kamu makan bila kamu mau. Kamu sudah tahu kan, Nod?”
“Dalem, Cak…”
“Apa yang menjadi bebanmu, menjadi pikiranmu, menjadi kecemasanmu, tidaklah seberat beban yang wajib dibawa oleh air, Nod. Air bahkan tak pernah mengeluh, tak pernah murung, tak pernah mencemaskan apa pun yang datang atau dibuang kepadanya.”
“Dalem, Cak…”
“Lalu apa yang kamu cemaskan, Nod? Mengalirlah seperti air. Bawa saja semuanya. Hadapi. Alirkan semuanya hanya menuju kepada Zat Pemelihara. Semata hanya kepada Dia. Tidak ada yang lain. Tidak kepada yang lain…”
“Maturnuwun, Cak…”
Romlah memotong suara Cak Dlahom. Cak Dlahom kembali mengisap kreteknya. Nody turun dari lincak, menghampiri mertuanya lalu mencium tangannya. Romlah menyusul suaminya. Mata Cak Dlahom berkaca-kaca. Sebentar lagi dia akan jadi kakek. Anak dari Romlah dan Nody.
“Terimakasih, Cak. Kami pamit mau masuk kamar. Mau tidur…”