MOJOK.CO – Jika masih ragu-ragu menetukan calon presiden untuk dicoblos April mendatang. Coba baca kitab Kuno Cina, Zizhi Tongjian dulu. Siapa tahu dapat ilham.
Dibandingkan Sun Zi Bingfa alias Seni Perang Sun Tzu, Zizhi Tongjian—yang kalau diterjemahkan secara ngak-ngik-ngok berarti Cermin Komprehensif Untuk Menyelamatkan Pemerintahan—agaknya belum cukup familiar di Indonesia.
Padahal, andai ada terjemahan bahasa Indonesianya. Kitab 294 jilid yang ditulis selama 19 tahun oleh sejarawan cum politikus ulung dinasti Song bernama Sima Guang itu. Saya rasa sangat layak kita baca wabil khusus ketika musim politik tiba.
Bukannya apa. Selain utamanya berisi kisah sejarah, penulis Zizhi Tongjian juga banyak menyelipkan wejangan. Wejangan ini mengenai orang macam apa yang layak menjadi pemimpin dan bagaimana negerinya mesti dikelola agar tidak “bubar” atau bahkan “punah” di kemudian hari.
Mari saya dongengkan salah satu ceritanya di sini.
Begini. Tahun 403 SM menjadi titik mula penulisan Zizhi Tongjian. Itu adalah cikal bakal Cina terjerembap ke dalam suatu masa yang dinamai “periode negara berperang” (zhanguo shidai). Zaman ini baru berakhir pada tahun 221 SM. Yakni sesudah dinasti Qin berhasil menyatukan enam negara—yang telah sekian lama saling baku hantam—ke dalam satu tatanan pemerintahan.
Mereka bertempur beneran, lho! Bukan cuma adu kekuatan jempol macam gelutnya cebong versus kampret di medsos kita sekarang.
Oke, lanjut.
Ying Zheng lantas naik tahta menjadi raja pertama dinasti Qin. Dia menggelari dirinya “Qin shi huangdi” yang artinya kira-kira: maharaja perintis dinasti Qin.
Oh iya, “huangdi” adalah istilah anyar yang merupakan gabungan huruf Cina “huang” dan “di”. Keduanya sebenarnya sama-sama bermakna “raja”. Hanya saja, Ying Zheng nampaknya sengaja memakainya untuk mengindikasikan bahwa dia lebih dari sekadar raja biasa.
Singkatnya, Ying Zheng mendaku dirinya adalah rajanya raja. “Intinya inti, dan core of the core,” kalau dideskripsikan pakai slogannya Pak Ndul.
Wajar. Ying Zheng merupakan penganut fanatik mazhab filsafat legalisme (fa jia) besutan Shang Yang (390–338 SM). Yang mana ajarannya sangat bertolak belakang dengan konfusianisme.
Dalam urusan kepemerintahan, umpamanya, Konfusius a.k.a Konghucu (551–479 SM) menganjurkan agar rakyat diperintah pakai suri teladan akhlaqul karimah (de) dan kasih sayang (ren) pemimpinnya. Kata Konghucu dalam kitab Lun Yu (Petuah Hikmah) bab 12 ayat 19:
“Sebagai pemimpin, ngapain kamu memerintah dengan membunuhi rakyatmu? Kalau kamu baik, rakyatmu akan baik. Akhlak pemimpin itu bagaikan angin, sedangkan akhlak rakyat bagaikan rumput. Ke arah mana angin bertiup, ke arah mana pula rumput itu condong.”
Sementara Shang Yang, beranggapan bahwa, “Kodrat manusia pada dasarnya adalah jahat” (ren xing ben e). Rakyat, karenanya, perlu diawasi ketat menggunakan perangkat hukum yang keras lagi menakutkan. Makanya, seorang penguasa harus memerintah dengan tangan besi. Penguasa berhak membuat hukum dan aturan. Selain itu, juga bisa kapan saja mengubahnya bila berkenan.
Berbekal ajaran demikian, begitu menaiki singgasana, Ying Zheng segera mempekerjakan rakyatnya secara paksa. Mereka dipaksa untuk membangun Tembok Besar guna menangkal serangan musuh-musuhnya. Tak peduli rakyatnya yang masih missqueen-missqueen kala itu. Dia tetap kenakan pajak selangit buat membiayai megaproyek benteng pertahanan tersebut. Konon, jutaan rakyatnya meninggal dan mayatnya, karena terdesak waktu, dijejalkan begitu saja ke dalam batu-batu bersusun yang membentang ribuan kilometer itu.
Berani membangkang? Silakan saja kalau siap diganjar dengan hukuman “qian”: dibuang ke pengasingan terpencil dan kerja rodi di sana sampai koit.
Itu belum ada seupil-upilnya. Pada tahun 213 SM, misalnya, Ying Zheng mengeluarkan titah yang belakangan dikenal dengan sebutan “fen shu keng ru” (membakar buku, mengubur hidup-hidup pengamal ajaran Konghucu).
Alasannya sepele: dia dibikin naik pitam oleh cendekiawan-cendekiawan konfusianisme yang lancang mengkritik sistem pemerintahannya karena dipandang telah melenceng dari ajaran Konghucu.
Tak terima, Ying Zheng sontak memerintahkan pembakaran buku-buku konfusianisme. Lalu, hampir sebanyak 500 orang pakar konfusianisme dikubur hidup-hidup sebagai ganjarannya. Biar apa? Jelas supaya membawa efek jera agar yang lain nggak berani coba-coba.
Boleh jadi, itulah sensor besar-besaran terhadap ilmu pengetahuan yang pertama kali terjadi di dunia. Atau jangan-jangan, mereka yang bertindak seenak udel menangkap orang. Ataupun merazia buku yang dianggap menyebarkan paham berbahaya laten bagi ideologi negara +62 ini, memperoleh inspirasi dari apa yang dilakukan oleh Ying Zheng itu? Entahlah.
Namun klimaksnya, sebagaimana pernah diprediksi Mbah Pram, “Lama-lama orang (akan) bosen juga pada ketakutannya sendiri, dan melawan.” Dinasti Qin pun akhirnya ditumbangkan rakyatnya sendiri yang memberontak pada 207 SM.
Ya, berbeda dengan dinasti-dinasti Cina lainnya yang berumur sampai berabad-abad. Usia dinasti Qin memang amat singkat: 14 tahun.
Kenapa? Sima Guang bilang karena penguasanya tiran. Dia tentu paham bahwa bersatu jauh lebih baik daripada berseteru. Stabil lebih nyaman ketimbang labil. Pengalaman kecil Sima Guang mengatakan begitu: dia lahir selepas zaman Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (907–960). Saat itu, Cina—yang sebelumnya bersatu—tercerai-berai menjadi lima dinasti yang beruntun menguasai Cina bagian utara. Serta sepuluh negara kecil yang saling memperebutkan kekuasaan di Cina bagian selatan dan barat. Keadaan tersebut baru usai setelah dinasti Song berdiri.
Walakin, Sima Guang jelas tidak menginginkan atmosfer negeri yang mencekam di bawah cengkeraman penguasa zalim layaknya sikon dinasti Qin.
Oleh karena itu, dalam pembukaan Zizhi Tongjian, dengan gaya satire yang Mojok banget. Dia mewanti-wanti pembacanya, “Dalam hal memilih pemimpin, kalau tidak menemukan yang bijaksana, daripada memilih ‘orang pintar tapi kejam’ (xiao ren), mending pilih ‘orang dungu’ (yu ren) saja.”
Lah kok gitu? Sebab, terang Sima Guang, “Begini, ‘orang dungu’ itu, sekalipun ingin berbuat baik, jangankan bertindak, berpikir saja dia tidak akan mampu.” Mashoookkk!
Sima Guang lalu ngegas melanjutkan kenyinyirannya.
“Sedangkan ‘orang pintar tapi kejam’, tidak hanya mempunyai akal bulus yang turah-turah untuk berbuat segala jenis tipu muslihat. Tetapi juga memiliki kekuatan yang berlimpah untuk melakukan beragam bentuk kejahatan terhadap rakyatnya. Dengan memilihnya sebagai pemimpinmu, itu sama saja kamu telah memberi sayap kepada harimau. Bahayanya bakal berlipat ganda!”
Ngeri sekali, bukan?
Nah, kita sebenarnya pernah berpuluh tahun hidup dalam kebrutalan suatu rezim laiknya rakyat Cina pada era dinasti Qin itu. Kala itu, apa-apa jika sudah, “atas instruksi bapak presiden”, seberapa absurd pun, tetaplah wajib dilaksanakan. Kalau bung dan nona tidak mau dibuang ke Pulau Buru atau esok harinya hilang entah di mana rimbanya.
Untung ada Reformasi 1998 yang menjadikan kita pada 17 April nanti berkesempatan menentukan presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan. Kesempatan ini sayang sekali untuk disia-siakan.
Bagi yang masih galau menentukan pilihan, nasihat Sima Guang di atas mungkin bisa dijadikan rujukan: pilihlah yang paling bijaksana dari dari dua kandidat yang berkompetensi. Jika tidak ada, demi menghindari kerusakan (darul mafaasid), cobloslah yang sekiranya tidak berpotensi mengubah negeri ini menjadi negeri tirani kembali.
Eh, gimana? Saya sudah kelihatan bijak dan tidak memihak, belum?