Saya kaget setengah bingung ketika kemarin, Minggu (14/02/2016), membaca berita di tempo.co yang berjudul: Menteri Yohana Buat Aturan Larangan Siswa Bawa HP ke Sekolah. Sambil bermeditasi sebentar, saya mencoba menelaah maksud si Ibu Menteri tersebut: “Apa, ya, yang ada di pikirannya sampai membuat kebijakan seperti itu?”
Begini, Bu. Di sekolah saya, terutama di pelajaran saya, sistem pembelajaran sudah berbasis teknologi. Sebagai informasi, saya mengajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di mana hampir setiap harinya saya mendesain pembelajaran berbasis pembelajaran kontekstual, project and problem solving untuk mencari informasi, menganalisis dan mengevaluasi permasalahan-permasalahan sosial, politik, hukum, hingga hubungan internasional. Tak jarang saya meminta para peserta didik untuk memperoleh bahan belajar dan penugasan menggunakan tekonologi, seperti laptop, handphone, tablet, dan berbagai sumber berbasis teknologi lainnya.
Maka, ketika saya membaca berita bahwa Ibu Menteri akan membuat kebijakan untuk melarang siswa membawa gawai ke sekolah, saya langsung lemas. Rasanya saya ingin sekali merobek-robek seluruh Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sudah saya buat untuk satu semester ini. Saya seperti harus mendesain ulang proses pembelajaran ala 90-an atau malah mungkin 70-an.
Saya jadi penasaran, apakah Ibu Menteri Yohana itu tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai pola pembelajaran apa yang saat ini tengah diupayakan guna meningkatkan mutu pendidikan? Sudahkah blio memastikan apakah larangan tersebut memiliki dampak pada pola pembelajaran yang menjadi visi misi mereka?
Ibu sudah baca muatan kurikulum 2013, kan? Jadi Ibu tentu paham bahwa kurikulum kontroversial itu pun mewajibkan pola pembelajaran saintifik, di mana setiap proses pembelajaran harus memuat 5 langkah: mengamati, menanyakan, mencari informasi/mengumpulkan data, mengasosiasikan dan mengkomunikasikan. Pada poin mencari informasi/mengumpulkan data, siswa diminta untuk mencari informasi, data, fakta maupun kasus-kasus sesuai materi ajar melalui berbagai sumber, termasuk internet.
Lha, saya yang mengajar ilmu sosial ini bagaimana, Bu? Masa ketika materi ajarnya menganalisis kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, saya justru meminta siswa mengamati tumbuh-tumbuhan di pekarangan sekolah? Jaka Sembung bawa golok kan jadinya?
Kami, para pengajar ini, sudah tidak diizinkan lagi, Bu, mengajar dengan menggunakan pola-pola zaman baheula yang cuma ceramah sampai siswanya budek, tapi mereka tidak memahami realitas yang terjadi di lapangan. Dan tentu akan lebih sulit bagi para peserta didik untuk menganalisis dengan baik jika Ibu membatasi penggunaan teknologi di sekolah.
Maaf, saya bukan bermaksud sombong dengan mengatakan sekolah dan para peserta didik saya sudah lebih canggih, sementara sekolah-sekolah lainnya di Indonesia masih minim infrastruktur. Jangankan menggunakan laptop dan internet saat belajar, gedung sekolah saja mungkin tidak punya. Kalaupun ada, atapnya tinggal menunggu rubuh atau temboknya segera runtuh. Namun demikian, sepanjang yang saya tahu, pihak pemerintah juga sedang berupaya memasifkan teknologi di tiap sekolah.
Oleh karena itu, sekolah-sekolah yang sudah mapan tolong jangan diminta untuk mundur lagi dong, Bu. Bagi saya pribadi, kegunaan HP bagi siswa dalam pembelajaran bahkan lebih dari sekadar alat untuk mencari, tapi juga alat berbagi, menyimpan, sekaligus merekam tugas dan bahan.
Saya paham kok, Bu, kekhawatiran Ibu tentang masalah sosial seperti pornografi yang ibu sebutkan itu. Tapi, apakah begini cara menyelesaikannya? Apakah ketika siswa dilarang menggunakan HP di sekolah, mereka tidak akan menyelewengkannya saat di rumah? Kalau Menteri Yohana bilang di rumah anak-anak itu bisa diawasi, apakah kemudian kami para pengajar ini dianggap tidak mampu mengawasi mereka selama di sekolah? Mestikah guru dan orang tua harus terus mengawasi anak-anak tersebut selama 24 jam penuh untuk memastikan mereka tidak melihat konten-konten terlarang?
Kalau begitu, lebih baik kita sita saja seluruh HP semua anak di Indonesia ini, wahai Ibu Menteri Yohana. Lalu kita lihat: Apakah masalah pornografi ini dapat selesai?
Selain daripada itu, apakah Ibu tidak memikirkan bagaimana komunikasi antara siswa dengan orang tua saat di sekolah jika penggunaan HP tak lagi diperbolehkan? Bagaimana jika ketika si anak sakit, atau ada urusan mendadak lalu minta dijemput oleh orang tua? Ibu mau berdebat dengan pihak sekolah dan orang tua mengenai penanganan hal ini? Tolonglah, Bu, jangan sampai Ibu buat kebijakan semaunya, tapi kami di lapangan yang pusing. Kita semua sudah letih dengan masalah sistem pendidikan di Indonesia.
Saran saya, lebih baik Ibu pakai prinsip pegadaian saja: Mengatasi masalah tanpa masalah. Asyik, kan?
Ibu semestinya bisa memakai cara-cara lain yang lebih efektif untuk mengatasi masalah pornografi itu. Misalnya dengan membuat program sosialisasi yang inovatif dan masif tentang hal tersebut. Karena, setahu saya yang awam ini, Bu, cara paling ampuh dalam mengatasi masalah budaya dan perilaku yang dianggap menyimpang adalah dengan internalisasi nilai-nilai dan pengetahuan yang memadai. Hal itulah yang akan mengawasi para peserta didik, bahkan saat mereka tengah sendirian. Agar mereka malu sendiri jika melakukan penyelewengan nilai dan pemahaman yang mereka miliki dalam hal apa saja.
Terlepas dari segala persoalan akibat kebijakan yang hendak Ibu canangkan tersebut, saya kira sebaiknya Ibu fokus sajalah dalam menangani masalah-masalah krusial menyangkut anak dan perempuan di Indonesia. Saya dengar, angka pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia masih tinggi, angka kematian ibu juga masih sangat tinggi, angka diskriminasi terhadap perempuan di bidang ekonomi, sosial, hukum dan pendidikan pun masih tinggi. Tapi itu tadi, Bu, selesaikanlah tiap masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Menteri Yohana ini tentu orang cerdas, kalau tidak mana mungkin diangkat jadi menteri oleh Pak Jokowi.
Akan tetapi, jika Ibu tetap memaksakan kebijakan tadi, ya apa boleh buat. Barangkali pemerintah Indonesia memang cuma mampu menggunakan cara gampangan dan praktis tiap menyelesaikan masalah tanpa memikirkan dampak yang lain.