MOJOK.CO – Apakah kavaleri berkuda sudah tak digunakan lagi di era yang serba-mesin sekarang-sekarang ini? Eit, jangan salah. Ada kok.
Sebentar lagi semester genap akan berakhir, bagi pembaca Mojok yang sudah duduk di bangku kelas 3 SMA atau SMK, mungkin ada yang berminat menjadi anggota TNI, khususnya Angkatan Darat, semoga tulisan berikut bisa sedikit memberi gambaran.
Perlu diketahui, awal Januari yang lalu, saya diundang oleh Mbak Prima Mojok, untuk menulis semacam “TNI untuk pemula”. Kita sepakati sekitar lima tulisan terkait tema tersebut, namun bukan sebuah serial, karena masing-masing tulisan bisa berdiri sendiri.
Akan saya mulai dengan tulisan soal satuan kavaleri berkuda. Mengapa dimulai dengan satuan ini? Tidak ada alasan spesial, spontan saja. Hehe.
Salah satu pertimbangannya unik saja, karena di era pergerakan pasukan yang serba cepat, TNI AD masih menjaga satuan yang menggunakan kuda sebagai “kendaraan” bagi prajurit.
Satuan kavaleri berkuda, yang nama resminya adalah Denkavkud (Detasemen Kavaleri Berkuda), kompleks atau ksatriannya terletak di Parongpong, Cisarua, tidak jauh dari kawasan wisata Lembang (Bandung).
Bagi yang pernah wisata ke Lembang dan sekitarnya, mudah-mudahan bisa membayangkan kawasan tersebut, yang kini masuk wilayah administratif Kabupaten Bandung Barat.
Keberadaan satuan itu sebenarnya lebih untuk menjaga nilai atau tradisi, bahwa satuan kavaleri dulu berasal dari pasukan yang menunggang kuda, sebelum dikenal kendaraan tempur (ranpur) seperti tank atau panser di era modern.
Dengan demikian keberadaannya bukan untuk kepentingan operasional, namun untuk kegiatan upacara, protokoler, termasuk mendukung olahraga berkuda nasional.
Sebagai bagian dari semangat menjaga tradisi tersebut, komunitas perwira kavaleri wajib memiliki kemampuan menunggang kuda, yang sudah tentu berlatihnya di komplek Denkavkud.
Sekadar informasi tambahan, mengingat kantor Mojok ada di Jogja, di sekitaran Jogja juga satuan kavaleri, yaitu Kompi Kavaleri Panser 2/JRTR yang ksatriannya terletak di Demakijo (Sleman). Kemudian agak jauh sedikit, ada Bataliyon Kavaleri 2/Turangga Ceta (kuda putih), ksatriannya terletak di Ambarawa (Kabupaten Semarang).
Sejauh yang saya tahu, di DIY dan Jateng, hanya dua satuan itulah yang berasal dari korps kavaleri. Dan dua satuan tersebut berada di bawah kendali Kodam IV/Diponegoro.
Berdasar perkembangan yang ada, ada juga satuan infanteri, yang kemudian juga dipersenjatai atau mengawaki panser, yang sebelumnya identik dengan kavaleri, seperti Bataliyon Infanteri (Yonif) 411 (Salatiga), Yonif 412 (Purworejo), dan Yonif 413 (Solo).
Namun dari segi korps mereka tetap infanteri, oleh karena itu satuan mereka kemudian disebut yonif mekanis, kosa kata (mekanis) merujuk pada cara mereka dalam bergerak, yakni menggunakan ranpur, tidak lagi berjalan kaki atau naik truk, sebagaimana pasukan infanteri umumnya.
Kavaleri hanyalah salah satu korps dalam Angkatan Darat, selain itu ada infanteri, artileri, zeni, peralatan, perhubungan, polisi militer, keuangan, kesehatan, dan seterusnya. Dalam internal AD, istilah korps lebih sering disebut sebagai kecabangan, yang merujuk pada fungsinya dalam formasi tempur.
Dalam formasi tempur, satuan infanteri selalu di depan, kemudian di-backup oleh kavaleri atau artileri (khususnya artileri medan). Kemudian lapis berikutnya adalah bantuan tempur (banpur), yakni zeni, peralatan, dan perhubungan.
Dari sekian nama kecabangan tersebut, rasanya yang paling unik adalah zeni, karena akar katanya berasal dari bahasa Belanda (genie). Sementara sebutan atau istilah kecabangan lainnya memiliki padanan dalam bahasa Inggris, yang lebih populer bagi generasi milenial.
Dari sebutan (genie) kemudian disesuaikan dengan “lidah” kita menjadi menjadi zeni, sebagaimana yang kita kenal sekarang. Padanan genie (Belanda) adalah engine (Inggris), benar, kecabangan zeni adalah mengurus soal teknik, seperti menyiapkan jembatan darurat dalam pergerakan pasukan, demolisi, elektrifikasi asrama satuan di daerah tugas, dan seterusnya.
Korps atau kecabangan yang disebut di atas adalah satuan operasional, sebab di TNI AD ada lagi satuan, yang disebut koter (komando teritorial), yang jelas sangat familier bagi pembaca. Siapa yang tak kenal satuan (saya sebut secara berjenjang): koramil, kodim, korem dan kodam. Untuk figur pimpinannya tinggal menyesuaikan, yakni danramil, dandim, danrem, dan pangdam.
Khusus untuk DIY, koter tertingginya adalah Korem 072/Pamungkas, yang membawahi sekian kodim, antara lain Kodim Yogyakarta, Kodim Sleman, Kodim Bantul, dan seterusnya. Pangkat Danrem 072, sejak lama sudah berpangkat brigjen (brigadir jenderal), ketika danrem di tempat lainmasih berpangkat kolonel. Namun sejak setahun terakhir ini pangkat seluruh danrem adalah brigjen, atawa satu bintang di pundak.
Satu lagi catatan, terkait kecabangan, antara satuan operasional dan koter, terdapat “karakter” yang sebaiknya diketahui. Dalam satuan operasional, seluruh anggota berasal dari korps yang sama, mulai dari pimpinan sampai prajurit rendahan.
Misalnya, Yonif 403 yang bermarkas di Kentungan (Yogya), mulai komandan (danyon) sampai prajurit bawahan, seluruhnya berasal dari korps infenteri. Sementara koter, asal-usul korps bisa beragam, karena fungsinya juga berbeda.
BACA JUGA Pola Percintaan Perwira Muda di Lingkungan TNI dan tulisan dari pengamat militer Aris Santoso lainnya.