MOJOK.CO – Ada 3 tesis terkait Malang yang ternyata penuh dengan kebenaran. Saya membuktikan sendiri ketika menghabiskan 4 hari di Malang Raya.
Saya sekeluarga menghabiskan liburan akhir tahun dengan berkeliling beberapa kota di Jawa Timur. Kota paling terakhir yang kami singgahi dalam perjalanan itu adalah wilayah Malang Raya, salah satu dari kawasan piknik favorit di Indonesia selain Jogja dan Bali.
Selama vacation 4 hari 3 malam di Malang Raya, setidaknya saya menemukan 3 pondasi penting identitas kota yang sukar disangkal kebenarannya akan Bumi Ken Arok ini.
Pertama, semua bakso di Malang enak!
Kami termasuk keluarga yang menempatkan kuliner sebagai tujuan penting dalam setiap trip liburan. Jadi, bakso khas Malang yang sudah sangat kondang kemasyhurannya itu menjadi perhatian khusus. Mulai dari bakso restoran dengan pendingin ruangan yang sering muncul di aneka medsos dan sudah mempunyai cabang di kota-kota besar, hingga bakso gerobak/krombong dengan sepeda atau motor yang keliling.
Meskipun, di zaman dengan mobilitas tinggi ketika ruang dan waktu sudah hampir tertaklukkan manusia ini kita dapat jajan bakso Malang di kota mana saja. Namun, namanya orisinalitas dan otentisitas “keaslian” tak dapat disingkirkan dari pikiran. Makan bakso Malang ya harus di Malang.
Selama di Kota Malang, Batu, dan Kabupaten Malang, hampir tiap hari saya makan bakso. Kebetulan rumah yang kami sewa dilewati kang bakso gerobakan yang berbeda setiap pagi, siang, sore, dan malam.
Ada diktum dalam dunia kuliner, bahwa “Beberapa makanan hanya enak dimasak oleh tangan suku tertentu.” Seperti misal mi instan lebih enak jika dimasak oleh orang Kuningan, lele dan aksesoris pecelnya oleh orang Lamongan, bebek goreng oleh orang Madura, sementara pecel masih diperebutkan antara orang Blitar, Madiun, dan Magetan.
Entah memang sudah digariskan, bahwa tangan-tangan orang Malang sangat tepat meracik bakso khas mereka. Bagi saya yang selama ini hanya terbiasa makan bakso gagrak Wonogirian, bakso Malang yang disajikan dengan prasmanan a la carte jelas menghadirkan sensasi yang berbeda.
Kota rawon
Selain bakso, Malang juga layak mendapatkan predikat sebagai kota rawon. Sebelum piknik, saya dan keluarga sempat singgah selama 2 hari di Surabaya. Dari aneka rekomendasi kuliner di medsos yang saya telusuri, rawon adalah menu yang katanya adalah fardhu ain disantap di Malang dan Surabaya.
Beberapa akun medsos mencoba memberikan perbandingan antara rawon Surabaya dan Malang. Namun, bagi saya yang bukan pakar rawon, kedua rawon di 2 kota tersebut sama-sama enak, hampir tiada perbedaan berarti.
Pantas saja jika rawon mendapat anugerah sajian sup terenak di dunia. Rawon berdiri di posisi puncak dalam daftar teranyar yang dirilis Taste Atlas pada Juli 2023.
Secara keseluruhan, sajian rawon mendapatkan raihan 4,8 bintang. Raihan ini mengungguli 10 sajian sup lainnya yang juga tak kalah enak. Rawon bahkan mengalahkan ramen Jepang. Kesimpulan singkat saya, keluwak dan daging sapi hanya lezat jika disentuh tangan-tangan yang tepat, yaitu “tangan arek-arek”.
Meskipun kedua kota tersebut terkadang saling berseteru terutama ketika ada pertandingan antara Persebaya dan Arema, tapi rawon mereka tetap bersatu. Bhinneka tunggal rawon!
Semuanya Aremania!
Fakta selanjutnya adalah semua orang Malang adalah Aremania! Termasuk para kang bakso yang ngider tadi, pemilik dan pelayan warung rawon, pejabat, bos hotel dan restoran. Ibu-ibu, adek-adek, sugeh ataupun mlarat, boomer maupun Gen Z, semuanya Singo Edan.
Di Malang saya bertemu seorang kawan arek Malang, seorang politisi dan petinggi (orang dalam) federasi sepak bola di sana, untuk menggali lebih lanjut tentang fenomena Aremania. Menurut kawan saya ini, bagi arek Malang, Arema bukan sekadar sepak bola. Ini adalah spirit, bukan sekadar akronim “Arek Malang”. Ini sudah beyond atau di luar olahraga. Aremania adalah ruh-ruh yang telah bersenyawa menjadi semangat, identitas, dan kebanggaan bagi siapa saja yg bersentuhan dengan Malang.
Saya merinding mendengar besarnya “rasa” dan handarbeni (sense of belonging) yang tercurah dalam Aremania. Para suporter juga sangat bangga karena paling tidak Arema merupakan klub bola yang disegani prestasinya di kancah sepak bola Indonesia. Bahkan gema Aremania ini menular ke seantero Indonesia, tidak hanya dalam kungkungan wilayah lokal. Aremania telah berhasil mengekspor spirit Singo Edan tersebut jauh ke daerah-daerah luar asalnya.
Namun sayangnya, spirit sebesar itu harus dibotohi dengan pengorbanan 135 nyawa di Tragedi Kanjuruhan. Al Fatehah untuk para korban, lepasa parane jembara kubure.
Semangat bersenyawa Aremania harus dicederai dengan pengorbanan nyawa pula. Lebih buruknya lagi, sampai hari ini kasus tersebut masih tak jua tuntas. Meskipun masyarakat sepak bola dan para keluarga korban sempat berharap dituntaskannya tragedi tersebut kepada ketua PSSI saat baru terpilih dan nampak “bersemangat” membongkar bobrok sepak bola Indonesia.
Sayang seribu sayang, sang ketua sepak bola gagal ikut bertanding di 2024. “Kendaraan sepak bola” ini gagal mengantarkannya ke kursi cawapres. Dan sekarang, sepertinya hatinya sudah cedera, jadi udah males “main bola” lagi.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 3 Hal Terkait Kota Malang yang Perlu Diluruskan dan cerita menarik lainnya di rubrik ESAI.