MOJOK.CO – UU IKN menjadi salah satu UU yang pengerjaannya berlangsung begitu cepat. Jokowi lagi punya rencana apa, nih?
Kalau PR sekolah bisa dikebut dalam semalam, kenapa tidak dengan membuat Undang-Undang? Barangkali itu yang ada di pikiran DPR dan pemerintah ketika mengebut pembahasan dari Senin (17/1/22) sampai Selasa subuh (18/1/22) demi merampungkan UU Ibu Kota Negara (IKN).
Padahal, sampai 13 Januari lalu, pembahasan aturan tersebut masih menyisakan empat klaster substansial: istilah kepala otorita (konon selevel menteri), pertanahan, rencana induk, dan pembiayaan. Namun, utang pembahasan itu rampung dalam semalam, meskipun diwarnai penolakan dari Fraksi PKS.
Aturan ini akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa siang ditandai dengan kepakan sayap kebhinnekaan ketukan palu Puan Maharani.
Saya tak kaget-kaget amat dengan cepatnya pengesahan UU IKN yang total pengerjaannya cuma 43 hari sejak pembahasan dimulai. DPR dan pemerintah punya preseden soal kebut-kebut UU.
UU Mahkamah Konstitusi (MK), misalnya, dibahas hanya dalam enam hari. UU Bea Materai hanya dalam waktu 11 hari. Dan, tentu saja UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang rampung dalam lebih kurang tujuh bulan.
Mungkin Indonesia bisa ikut kejuaraan adu kebut UU se-dunia. Daripada mimpi juara Piala AFF atau Piala Asia susah kesampaian, apalagi Piala Dunia. Sayangya, ajang semacam itu tak ada.
Kebetulan atau tidak, seluruh UU yang rampung singkat tersebut adalah usulan pemerintah. Artinya, kental kepentingan pemerintah di dalamnya. Di sisi lain,menunjukkan begitu powerfull-nya pemerintahan Jokowi dalam memengaruhi laju pembuatan UU.
Hal itu lantaran partai-partai di DPR mayoritas berada di kubu pemerintah. Hanya tiga yang masih berada di luar barisan pemerintahan: Demokrat, PAN, dan PKS. Ironisnya, kalaupun ketiga partai tersebut kompak dalam satu isu tertentu, tetap bakal kalah voting di DPR. Sudah begitu, ternyata ketiganya jarang kompak.
UU adalah produk politik, selain produk hukum. Dalam konteks UU IKN, menurut saya, sangat kental motif politik.
Pertama, UU ini akan menjadi simbol keberhasilan pemerintahan Jokowi dalam hal pembangunan. Sebuah hal yang memang menjadi fokus dan jualan utamanya saat kampanye Pilpres 2019.
Ibarat pepatah gajah mati meninggalkan gading, maka Jokowi ingin meninggalkan warisan berupa Ibu Kota baru selepas masa pemerintahannya. Setidaknya sebagai peletak dasar hukum untuk merealisasikan hal yang sebelumnya hanya sebatas wacana dari era Soekarno sampai SBY.
Motif semacam itu terlihat dari ucapan Ketua Pansus RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia, dalam konferensi pers di Gedung DPR usai pengesahan UU IKN. “Ini memberi kepastian. Banyak yang usul (ibu kota) pindah ke Jonggol, ke Hambalang, tapi dengan UU ini artinya sudah pasti,” katanya.
Simbol semacam itu perlu bagi karier politik Jokowi dan trahnya pasca 2024. Khususnya di negara yang mayoritas pemilihnya masih ingar dengan politik simbol.
Jokowi memang sudah tidak mungkin mencalonkan diri sebagai presiden lagi. Namun, namanya harus tetap harum untuk dapat mengerek karier politik anak dan menantunya di masa mendatang.
Diakui atau tidak, terpilihnya Gibran di Solo dan Bobby di Medan tak lepas dari coattail effect Jokowi. Jika mereka bukan anak dan mantu Jokowi, maka sangat mungkin kalah Pilkada.
Coattail effect tersebut perlu terus berlanjut. Tak mungkin mereka jadi wali kota selamanya. Perlu juga naik jadi gubernur atau bahkan presiden, apalagi Desember lalu, hasil survei Citra Nusantara Network mendapati elektabilitas Gibran di atas Anies Baswedan, AHY, dan Sandiaga Uno. Kesempatan jadi presiden ada pada Gibran.
Dalam hal ini, Jokowi nampaknya belajar dari kesalahan pendahulunya: SBY, yang purna jabatan tanpa legacy simbolik. Mega proyek Hambalang mangkrak dan menjadi noktah hitam yang cukup untuk menjegal langkah politik AHY serta menggerus suara Demokrat, selain tentu saja isu skandal korupsi Century.
Bagaimana jika proyek ibu kota baru pada akhirnya gagal? Itu bukan lagi urusan Jokowi. Dia sudah membuat batu pijakan berupa UU IKN. Kegagalan akan menjadi beban pemimpin selanjutnya.
Kedua, menjadi penanda bahwa Jokowi lebih kuat daripada yang diasumsikan lawan-lawan politiknya. Separuh periode pertama, meminjam istilah Dan Slater, Direktur Weiser Center for Emerging Democracies Universitas Michigan, Jokowi terjerat oleh kartelisasi parpol parlemen. Program dan rencananya banyak yang mandek karena tak disetujui parlemen.
Saat itu, Jokowi pada akhirnya mesti berkompromi dengan menarik partai-partai non pendukungnya ke kabinet. Golkar, PAN, dan PPP akhirnya bergabung menjadi koalisi pemerintah setelah dapat jabatan menteri. Sekaligus menjadi penanda bubarnya Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo-Hatta.
Dengan lekasnya UU usulan pemerintah sah di DPR, termasuk UU IKN, menunjukkan Jokowi telah membalik keadaan tersebut di periode keduanya. Kini, dia adalah pemimpin kartel tersebut. Apa saja yang dia mau dan menjadi rencananya, bisa terwujud.
Belakangan muncul wacana amandemen UUD 1945 untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pun menyatakan pengusaha mengusulkan tambahan masa jabatan presiden yang senada dengan wacana amandemen.
Jokowi, memang, pada 15 September 2021 lalu, telah menolak usulan jabatan tiga periode. Namun, dia sebetulnya tak menyebut menolak wacana amandemen UUD 1945. Berbekal kontrol Jokowi pada parlemen yang kuat saat ini, sangat mungkin amandemen tersebut bakal terwujud. Kalaupun ada yang bisa menjegal hal ini, adalah Megawati. Let’s see what happens next!
Terakhir, tentu saja terkait Pilpres 2024. Jokowi tentu saja terlalu muluk jika berharap Gibran bisa langsung menggantikannya jadi orang nomor satu di negeri ini. Namun, sangat realistis baginya membentuk poros sendiri pada Pilpres 2024 mendatang.
Salah satu nama yang digadang bakal mendapat dukungan Jokowi adalah Ganjar Pranowo. Dugaan ini menguat setelah di pelbagai momen, keakraban keduanya terlihat di hadapan publik. Tentu, ini bisa saja spekulatif dan tidak ada yang spesial dalam keakraban mereka.
Meski demikian, Ganjar bisa menjadi pilihan yang tepat bagi Jokowi. Gubernur Jawa Tengah ini selalu mendapat elektabilitas tinggi di pelbagai lembaga survei. Namun, nasibnya untuk menjadi capres masih mengambang lantaran rekan separtainya di PDIP, Puan Maharani juga berniat melaju.
Puan boleh dibilang lebih unggul soal persaingan internal. Dia anak Megawati, Ketum PDIP, yang memegang keputusan pencalonan presiden dari partainya. Oleh karena itu, Ganjar, jika ingin tetap melaju butuh sokongan dari pihak lain. Di sinilah peran yang sangat mungkin dilakukan Jokowi.
UU IKN akan sangat bermanfaat bagi Jokowi memuluskan langkah Ganjar bila memang benar hubungan politik mereka sudah sejauh itu. Amanat UU IKN adalah penunjukan Ketua Otorita sebagai pemimpin Ibu Kota baru. Jabatan ini ditunjuk langsung oleh presiden dan setingkat menteri, paling lambat dua bulan setelah pengesahan UU IKN.
Nama yang mencuat antara lain Ahok, Bambang Brodjonegoro, dan Azwar Anas. Sebetulnya tak penting siapa yang terpilih. Mengingat siapa pun nanti yang terpilih, sudah jelas akan menjadi “anak buah” Jokowi selayaknya para menteri di kabinet. Artinya, dia sudah punya “pegangan” daerah menuju Pilpres 2024 yang memudahkan canvassing politik dan alat bargain kepada pihak lain.
Selain itu, UU IKN juga bakal mengganti status Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibu Kota. Membuat Jakarta tak terlalu seksi lagi secara citra politik. Bisa melunturkan popularitas dan citra yang selama lima tahun ke belakang berusaha dibangun Anies Baswedan. Terlebih, masa jabatan Anies akan habis pada 2022. Masa dua tahun terlalu lama untuk memberi jarak antara Anies dan Jakarta di mata publik.
Pengisi jabatan kosong sepeninggal Anies di Jakarta, pun tak akan menjadi isu sepolitis saat ini. Publik akan menggeser perhatiannya pada Kepala Otorita di Ibu Kota baru. Membuka peluang bagi Jokowi untuk sekali lagi meletakkan orangnya di sana. Kepala Sekretarian Presiden, Heru Budi Hartono adalah yang mencuat akan mengambil tugas ini.
Selama ini gubernur Ibu Kota sealu disebut sebagai presiden bayangan. Maka, Jokowi akan bisa mengontrol dua presiden bayangan di bawahnya. Ini adalah sebuah langkah politik yang besar dari Jokowi 2.0. Langkah yang mungkin hanya bisa dikalahkan oleh Jokowi 3.0.
Semoga tak kecengklak, Pak Jokowi!
BACA JUGA 4 Hal yang Perlu Disorot dari Pengumuman Jokowi soal Lokasi Ibu Kota Baru dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ahsan Ridhoi
Editor: Yamadipati Seno