MOJOK.CO – Habitat kadrun saat ini ada di kolom komentar postingan kritik ke Pemerintahan Jokowi. Kalau yang kritik kadrun? Hm, kudu siap dituduh neo-PKI.
Jagat perpolitikan Indonesia tak pernah absen dari hiruk-pikuk nama fauna. Mungkin itu salah satu bentuk syukur kita terhadap kekayaan alam yang meruah-ruah.
Tengoklah dari sejak zaman Gadjah Mada mengucapkan Sumpah Palapa hingga Gibran Rakabuming Raka beralih jadi kader PDIP. Kita bisa menderet beragam nama-nama fauna yang populer di Indonesia.
Majapahit menyumbangkan dua nama hewan yang selalu tercantum dalam buku sejarah, yaitu gajah (Gadjah Mada) dan ayam (Hayam Wuruk). Melompat ke masa Soekarno, beliau terkenal sebagai penyayang binatang. Pernah punya burung, monyet, hingga kangguru.
Meski begitu, saking asiknya sama hewan peliharaan, beliau sampai kelupaan sampai akhirnya harus kena kudeta dari flora kesayangannya, yakni “cendana”.
Kita lewati periode kekuasaan BJ Habibie dan Gus Dur yang nggak signifikan soal flora dan fauna.
Megawati? Binatang apa yang lebih mengingatkan kita kepada Sang Ibu Suri selain banteng bermata merah? SBY, sang presiden cum penyair dan penyanyi kawakan, menyodorkan cukup banyak jenis fauna: cicak, buaya, hingga paling menggegerkan, yaitu gurita endemik bernama gurita Cikeas.
Namun, tidak ada pemerintahan dengan keragaman fauna melebihi pemerintahan Jokowi. Hanya pada zaman beliaulah pengetahuan biologi kita meningkat pesat.
Kita jadi tahu lebih banyak soal kelelawar (kampret), berudu (kecebong), kodok, hingga hewan padang pasir macam kadal gurun.
Bedanya, hewan-hewan pada masa Jokowi sering dijadikan bulan-bulanan dan simbol atas stigma buruk. Kampret dan (ke)cebong perlahan-lahan memang mulai dilupakan, tapi nama terakhir, yaitu kadal gurun atau biasa disingkat “kadrun” masih berkeliaran di mana-mana.
Konon, habitat utama kadrun saat ini ada di kolom komentar semua postingan yang berbau kritikan terhadap rezim Jokowi. Anda barangkali sering melihat, siapa pun yang tampak berseberangan dengan pemerintahan Jokowi, maka ia bakal dimasukkan ke dalam spesies ini.
Tak berhenti di situ, bahkan kadrun belakangan ini juga ditengarai jadi biang kerok mengembusnya isu kebangkitan PKI. Walaaah, siapa tuh yang bisa-bisanya memunculkan spekulasi menawan kayak gitu?
Siapa lagi kalau bukan… Arief Poyuono. Waketum Gerindra itu memang punya hobi mengeluarkan pernyataan-pernyataan ajaib.
Simak aja wawancaranya di kanal YouTube “Kanal Anak Bangsa”. Saat ditanya siapa yang memunculkan isu kebangkitan KPI, dengan sigap Arief menjawab, “Yang pasti ini adalah kadrun, kadrun kadrun ya yang pasti. Yang kedua mungkin orang-orang yang tidak menginginkan adanya perdamaian di Indonesia, yang selalu ingin mengacau, yang selalu ingin mendiskreditkan pemerintah yang sah dan konstitusional dengan isu-isu PKI.”
Saya khawatir D.N. Aidit bangkit dari kubur. Lalu mengajak uromastyx aegyptia (nama Latin kadal gurun yang asli) di padang pasir sana untuk bikin partai baru: Partai Kadrun Indonesia. Merger aja dah mendingan, biar pas pemerintah atau orang-orang macam Arief mau mengambinghitamkan PKI dan kadrun sekaligus, bisa langsung double kill. Salut.
Pernyataan ini pun sempat ramai karena sampai bikin Ketua PA 212, Slamet Ma’arif geram dan meminta, “Gerindra wajib pecat Poyuono.”
Karena menurut Slamet, “Kita sudah lama mengumpulkan indikasi-indikasi kebangkitan neo-PKI,” klaimnya.
Dengan menggabungkan pernyataan keduanya, kita bisa melihat bagaimana Ketua PA 212 merasa tersentil Ketika Arief Poyuono menyalahkan kadrun sebagai sosok yang mengembuskan isu PKI bangkit. Padahal Poyuono no-mention lho, kok PA 212 malah mengamini sih?
Ya kalau emang bukan kadrun, yaudah sih, nggak usah ngerasa juga. Di saat banyak orang emoh dibilang kadrun, PA 212 malah mengafirmasi kalau dirinya kadrun. Ini bijimana sih?
Padahal, di sisi lain Novel Bamukmin, salah satu pengurus PA 212, pernah juga ngamuk-ngamuk ketika kelompok mereka disebut kadrun. Menurutnya, istilah kadrun disematkan oleh orang-orang neo-PKI. Dyar, mampus kau dikoyak-koyak isu komunisme!
Uniknya, belakangan tak hanya kelompok kanan saja yang sering dilekatkan dengan akronim kadrun, tak jarang sosok seperti Dandhy Dwi Laksono pun kena sematan ini. Aneh banget asli.
Hal yang agak lucu sebenarnya, karena selain dituduh kadrun, Dhandy malah dulu pernah dituduh neo-PKI gara-gara memiliki bukti (hasil visum atau dokumen repertum) bahwa tidak ada ada penyiksaan jenderal AD seperti digambarkan dalam film G30/S PKI. Dari pemaparan itu, wajar kalau orang-orang “kanan” merasa pendapat Dandhy ini mengkhawatirkan karena bisa mereduksi ulang sejarah kelam di Indonesia.
Meski dari sisi orang macam Dandhy hal ini jadi rada aneh. Udah kadrun bagi pendukung Jokowi karena suka kritik pemerintah, eh dituduh neo-PKI pula sama kelompok oposisi kanan. Beneran jadi sandwich ini, dikatain dari kelompok kanan sama kelompok kiri.
Padahal orang-orang macam Dandhy yang demen kritik pemerintah dengan data-data ini nggak berjalan melata, bukan golongan reptil, atau hidup di padang pasir. Nggak peduli walaupun kadal gurun boro-boro bisa menghasut, ngomong bahasa manusia aja nggak bisa. Bodoooamaaat.
Saya nggak tahu siapa pencetus sebutan kadrun ini jadi meluas maknanya untuk menamai pihak mana saja yang berlawanan dengan pemerintah. Namun yang pasti, bahasa tak pernah netral. Bahasa selalu bersifat politis.
Dalam buku teranyarnya Maksud Politik Jahat (2020), Joss Wibisono banyak mengungkapkan “maksud jahat” pemerintah dalam hal kebahasaan. Joss secara khusus memang sedang mengkritik rezim Orde Baru, wabilkhusus mengenai perubahaan ejaan dari Soewandi ke EYD. Perubahan ejaan itu ditengarai sebagai siasat Orba agar generasi masa depan melupakan masa pra-Soeharto.
Tapi, buku itu sangat relate juga sih kalau dihubungkan dengan pemerintah. Coba aja hitung, sudah berapa kali pemerintah mempermainkan bahasa. Misalnya ketika dulu pemerintah Orba nggak bisa kasih gaji guru dengan layak, lantas dimunculkan istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” biar guru nggak ada yang protes.
Sekarang? Terutama ya saat wabah corona begini. Kita sering banget dibuat bingung sama istilah-istilah yang dikeluarkan pemerintah. Mulai dari istilah PSBB, new normal, hingga “nggak sengaja kasih pelajaran” yang lagi ramai itu; semua terjadi dan selalu mengundang kehebohan.
Rasanya naif banget kalo kita menyebut penggunaan istilah-istilah belibet itu sebagai sesuatu yang alamiah atau nggak sengaja. Politik bahasa emang udah mendarah daging di tubuh pemerintahan Indonesia dan menular ke warganya. Jadi, bukan sesuatu yang mengejutkan ketika istilah peyoratif macam kadrun atau neo-PKI bisa tahan lama di Indonesia.
Tujuannya apalagi kalau bukan menegaskan kebenaran kelompok sendiri dengan menyematkan istilah “keburukan” atau “kejahatan” ke kelompok yang berseberangan.
Ibarat kata, “Kalau elu nggak ikut kelompok gue, ya elu berarti ikut kelompok mereka yang jahat itu!” Menjadi benar dengan menemukan (atau membikin) suatu pihak jadi salah, bukan dengan menemukan kebenaran di kelompoknya sendiri.
Haduuh, lama-lama kadang saya berpikir, kok ya malang banget emang nasib kadal gurun dan hantu neo-PKI itu. Wujudnya nggak ada, tapi selalu jadi samsak dari orang-orang emosional yang jiwa nasionalisme membara atau orang yang jiwa religiusnya meletup-letup.
Begitu mau kritik Jokowi dikit aja udah dibilang kadrun, begitu mau kritik kadrun yang suka mainin isu agama, eh dibilang neo-PKI.
Oalah, Indonesia negeriku, orangnya emang lucu-lucu.
BACA JUGA Mengkritik Pemerintah Dianggap Kadrun/Komunis, Demokrasi Kita Masih Waras Nggak sih? atau tulisan Erwin Setia lainnya.