MOJOK.CO – Bukan cuma bayar wajan, furnitur, dan hape yang bisa utang. Jika kredit pendidikan jadi diluncurkan, SPP pun bisa utang.
Saat sebagian ekonom menyoroti penambahan utang pemerintah yang dipersepsikan ugal-ugalan, sementara sebagian tokoh yang berseberangan dengan pemerintah membonceng isu utang untuk menyerang pemerintah, Presiden Jokowi justru mempunyai usul yang ajaib soal utang.
Presiden meminta perbankan untuk mengeluarkan produk finansial baru berupa kredit pendidikan atau student loan. Dengan kredit ini, kelak mahasiswa dapat mengajukan utang bank untuk memodali sekolah mereka, dan akan dibayar saat mereka sudah lulus dan dapat kerjaan.
Baik atau buruk kebijakan yang masih belum ada kajiannya tersebut sebenarnya sangat relatif, tergantung perspektif kita. Bagi yang membutuhkan biaya, keberadaan program tersebut akan sangat membantu. Tetapi jangan lupa, kreditur pun punya seperangkat aturan yang harus dapat dipenuhi oleh pengutang. Pahitnya, belum tentu mahasiswa miskin yang berprestasi dapat mengakses kredit tersebut.
Di tahun yang bolehlah disebut vivere pericoloso ini, disclaimer tetap harus disertakan. Kalaupun tulisan ini nantinya menyiratkan penentangan atas usulan kredit pendidikan, tidak berarti saya anti-pemerintah. Dalam menanggapi berbagai isu, perlu juga merawat marwah Mojok sebagai media non-partisan.
Ide kredit pendidikan sebenarnya rasional. Ia mempertemukan pihak yang membutuhkan (pengutang) dan pihak yang memberikan pinjaman (kreditur). Tapi ingat, sering kali perbankan kita masih ragu dalam mengeksekusi kebijakan. Jangankan mahasiswa, UKM yang jelas sudah menghasilkan dan memiliki usaha yang layak untuk diberi akses ke bank (feasible) saja sering dinilai tidak memenuhi syarat yang ditetapkan (bankable).
Niatan untuk memberikan kredit pendidikan tersebut sebenarnya terhitung mulia mengingat inflasi biaya pendidikan memang kadung tinggi, jauh melesat meninggalkan harga pangan.
Dulu, perguruan tinggi negeri (PTN) merupakan tempat bergantung orang kampung dan atau orang miskin untuk meningkatkan derajat kehidupan. Jokowi dan beberapa menteri di kabinetnya adalah sedikit dari banyak profil yang sukses mengubah hidup dengan memanfaatkan pendidikan melalui PTN. Saat itu adalah masa kearifan konvensional masih membuat anak-anak miskin yang sekolah di universitas bergengsi berani memandang langit dan memelihara harapan.
Fakta semacam itu tentu saja tidak perlu disanggah dengan mengajukan contoh seperti AwKarin, Young Lex, atau Ria Ricis yang bisa sukses tanpa menempuh pendidikan di PTN.
24 tahun lalu, jauh sebelum beberapa PTN berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan kemudian Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH), biaya kuliah masih berpihak pada orang kebanyakan. Sedikit ilustrasi saja, saat makan nasi telur plus es teh di kantin UGM harganya Rp600-Rp800, uang SPP per semester masih sebesar Rp240.000. Murah? Wajar, namanya saja SPP, Sumbangan Pembinaan Pendidikan.
Lalu, bagaimana dengan sekarang?
Harga makanan sudah naik 10 kali lipatnya, plus rentangnya semakin lebar. Porsi makan yang sama kini dibanderol Rp6 ribu-Rp10 ribu. Tidak terpaut jauh dari data inflasi yang secara berkala dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Tapi, itu pun masih ada risikonya: makan dalam kondisi tidak tenang karena percaya hoax telur palsu.
Namun, tidak demikian dengan biaya pendidikan di UGM dan beberapa kampus PTN lain. Kenaikan SPP jauh, jauh melampaui kenaikan harga pangan dan penghasilan.
Dengan mempertimbangkan inflasi selama 24 tahun, nilai uang SPP yang di tahun 1994 masih sebesar Rp240.000, pada tahun ini seharusnya senilai Rp2.104.694,10. Wuih kok sampai ketemu 2 angka di belakang koma? Ya iyalah, nulis di Mojok pun kalau perlu melibatkan kalkulator.
Tapi, kenyataannya, sekarang di UGM pembayaran uang SPP mengacu pada Uang Kuliah Tungal (UKT) yang dikelompokkan berdasarkan 6 kelompok penghasilan orang tua. Dulu, anak guru seperti saya bayarnya diseragamkan dengan anak direktur perusahaan, pengusaha dan bahkan buruh. Selama dipandang kuat membayar, besarannya tidak dibedakan.
Jika saat ini saya kuliah di kampus yang sama, orang tua saya yang berprofesi sebagai guru sekaligus memiliki usaha tani akan masuk ke kelompok penghasilan VI. Itu artinya, uang SPP yang harus disetorkan ke UGM tiap semester sebesar Rp9 juta, lebih mahal Rp7 juta dari seharusnya Rp2 juta jika dihitung dengan menggunakan data inflasi.
Orang kemudian berkilah, “Ah, kesejahteraan guru kan sudah jauh lebih baik dari 24 tahun lalu. Itulah jeleknya kalau mental pun hasil subsidi. Lemah sekali. Bagaimana negeri ini mau maju, keluar biaya sedikit saja mengelur, nyinyir pada pemerintah, kemudian menimpakan semua salah Jokowi ”
Ya sebenarnya ada penjelasan yang bersifat teknis dan detail. Tapi, daripada mules baik yang membaca dan lebih lagi yang menyusun tulisan karena harus bongkar banyak data, saya sampaikan hal yang sederhana saja.
Apabila mengacu pada uang SPP tahun 1994 yang sudah saya sebutkan di atas, biaya pendidikan yang dikeluarkan orangtua per bulan pada saat itu hanya sebesar 2,5% dari penghasilan. Ya, hanya senilai zakat. Sedangkan jika mengacu pada UKT seperti saat ini, orang dengan jumlah penghasilan setara dengan orangtua saya akan mengeluarkan 13% tiap bulannya.
Memang ada UKT 0 (nol) alias gratis biaya pendidikan untuk mahasiswa yang menjadi peserta Bidikmisi. Ini program yang memberikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa berprestasi yang berasal dari keluarga tidak mampu. Tapi, tahan dulu terharunya sampai kita melihat kelompok UKT 1, kelompok yang mana penghasilan orang tuanya kurang dari Rp500 ribu.
Penghasilan sebesar itu oleh BPS sudah dikategorikan miskin. Jika dia harus membayar UKT 1 yang per semester besarnya Rp500.000, artinya biaya yang harus dikeluarkan untuk pendidikan tiap bulannya sebesar 16% dari penghasilannya. Jauh lebih besar dari kelompok penghasilan yang di atasnya.
Pengamatan dengan melampirkan angka-angka sebenarnya sangat memusingkan. Belum kalau dimentahkan dengan kata-kata: “Halah, praktiknya nggak gitu, UGM tetap kampus rakyat!” atau “Sok tua, eh sok tahu, lu!”
Begini saja. Saya akan menjelaskan secara lebih sederhana, dengan tetap memakai UGM sebagai ilustrasinya. Kenapa UGM? Ya karena saya pernah kuliah di sana, jadi lebih mudah membikin perbandingan.
Setidaknya sampai dua dekade lalu, UGM memang benar-benar merupakah tempat orang melarat se-Indonesia menabur benih harapan. Secara visual, dulu sangat mudah menemukan muka kuyu kurang makan karena kiriman dari orang tua hanya cukup untuk beberapa hari saja.
Cerita soal mahasiswa melarat tersebut sekarang jauh berkurang seiring dengan semakin megahnya gedung dan kemampuan kampus menghasilkan uang. Jumlah mahasiswa dengan aroma apek sudah semakin tereliminasi, tergantikan wajah-wajah bersih dan wangi. Tidak ada lagi pemuda seperti Purwadi, mahasiswa yang untuk ngekos pun tidak punya biaya. Juga tidak ada orang seperti Giono, mahasiswa yang harus telat lulus karena mesti nggenjot becak dan melakukan pekerjaan serabutan lain untuk menghidupi keluarga.
Mahalnya biaya pendidikan sebenarnya hanyalah muara dari komersialisasi pendidikan tinggi. Bukan salah UGM atau PTN lain yang harus memelihara mesin uangnya agar terus mencetak rupiah demi rupiah dengan frekuensi tinggi. Dengan perubahan status badan hukum, mereka dipaksa untuk dapat menghidupi operasional mereka.
Kini kita kembali ke pokok persoalan. Jadi, apakah kredit pendidikan merupakan upaya untuk mengatasi problem struktural tersebut?
Time, 2014 silam, menurunkan tulisan yang kalau diterjemahkan secara bebas oleh media online Indonesia yang beraliran Kanan, kurang lebih berjudul, “Subhanallah! Riba Selain Menghancurkan Masa Depan Mahasiswa, Juga Membawa Ekonomi Negara Menuju Jurang Kehancuran”.
Diceritakan dalam tulisan tersebut, Chris Rong, seorang pemuda berusia 23 tahun, mahasiswa salah satu kampus kedokteran ternama di Amerika Serikat, menjadi korban praktek riba. Pada 2016 Chris diperkirakan akan lulus. Alih-alih lega kuliahnya tidak lama lagi kelar, dia malah menjadi khawatir. Makan tidak enak, tidur tak nyenyak, dan perasaan berdosa tak kunjung hilang.
Rupanya, ia mencemaskan kewajibannya untuk melunasi utang biaya kuliah sebesar US$400 ribu yang akan menghampirinya segera setelah ia lulus. Halah, segitu doang, kata Anda? Astaghfirullah, itu dalam USD. Kalau dalam rupiah, nilainya Rp5,5 miliar, my lov.
Di AS, pemuda dan pemudi yang ngutang untuk sekolah jumlahnya sangat banyak. Nilainya pun terhitung fantastis kalau dikumpulkan jadi satu, mencapai US$1,3 triliun. Sekali lagi: satu koma tiga TRILIUN DOLAR. Astagfirullah, itu kan 4,5 kali utang pemerintah kita yang “cuma” Rp4 ribu triliun! Coba jumlah sebesar itu dipinjamkan ke Indonesia, dijamin deh pasti jadi.
Jadi apa?
Jadi bangkrutlah!
Sebenarnya di Indonesia ada praktik kredit pendidikan yang terselubung. STAN, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, salah satu contoh yang harus disebut pertama. Itu satu contoh skema kredit pendidikan yang terhitung aman, tidak memberatkan, dan jauh dari kata riba. Apa yang dilakukan oleh lulusannya hanya perlu merelakan ijazahnya tidak disimpan di lemari rumah sampai mereka menyelesaikan kewajiban mengabdi pada negara dengan masa tertentu.
Oh ya, soal Chris Rong merasa berdosa melakukan praktik riba tadi sebenarnya hanyalah hoax membangun yang saya kembangkan. Aslinya, dia hanya merasa keberatan mengembalikan saja, sebab proyeksi masa depan tidaklah semulus yang diperkirakan. Satu hal yang pasti, sergapan pajak penghasilan yang tinggi tidak terhindarkan. Sementara karier yang mulus dan cemerlang serta penghasilan yang tinggi sama sekali tidak dapat dipastikan.
Di AS, orang seperti Chris banyak sekali. Sebagian besar mahasiswa, 70% di antaranya memilih kuliah dengan cara memanfaatkan kredit pendidikan. Walaupun Bill Gates, Job, dan Zuckerberg kuliah nggak lulus pun sukses, sampai saat ini mereka masih berpedoman bahwa sekolah tinggi merupakan investasi terbaik untuk dapat secara signifikan meningkatkan penghasilan. Kredonya pun luar biasa.
“Sekolah itu penting, kalau perlu ngutang!”
Bagaimana kalau itu terjadi di Indonesia?
Janji pada saat membentuk negara Indonesia salah satunya ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Implikasinya, jangan mengalihkan beban pendidikan yang masuk dalam domain sektor publik menjadi sektor privat. Dari sisi keuangan negara, komersialisasi pendidikan memang akan banyak menghemat kocek pemerintah. Tapi, di sisi lain, ini artinya negara mau lepas tangan.
Jika tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan tidak dititikberatkan pada urusan “memoles wajah” dalam bentuk pembangunan fisik agar tampak wah, pemerintah sebenarnya bisa “menyiksa” mereka untuk turut membiayai pendidikan para mahasiswa. Dengan skema beasiswa, anak asuh, maupun ikatan dinas.
Mental mahasiswa Indonesia sebenarnya baru pada tahap utang untuk membeli beberapa bungkus Indomie atau rokok, lha kok mendadak disuruh ngembaliin utang yang bernilai puluhan atau ratusan juta? Padahal, meminjamkan buku kepada teman saja kalau perlu harus menggunakan jasa debt collector.
Itu belum kalau di tengah jalan mereka mengubah cita-cita. Sementara kredit pendidikan sudah diambil. Kebebasan meninggalkan kuliah tanpa memikirkan angsuran utang pendidikan akan terenggut. Situasi seperti itu mungkin akan membuat seniman nyentrik semacam Sujiwo Tejo tidak akan pernah kita kenal karena ia pasti akan lebih memilih kuliah daripada drop out. Para balajaer seperti saya pun tidak akan pernah ada kalau Ayu Ting Ting pilih melanjutkan kuliah daripada jadi dangduters.