MOJOK.CO – Katanya nggak bisa mengintai WhatsApp, tapi aturan Kominfo menyebut bisa. Sulitnya warga Indonesia mempercayai Kominfo dan aturan PSE yang mereka buat.
Drama terkait Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat Kominfo, kendati sudah lewat tenggat akhirnya, nyatanya masih menimbulkan polemik. Meski WhatsApp hingga Google sudah mendaftarkan produknya di PSE, isu terkait data privasi pengguna tetap saja mencuat. Ingat, ini Kominfo.
Satu yang menarik adalah munculnya kekhawatiran akan adanya surveillance issue. Setelah mendaftarkan produknya di PSE Lingkup Privat, WhatsApp dan Google harus berbagi kewenangannya dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. Bola panas pun bergulir. Satu yang disorot, wacana munculnya surveillance state di mana negara mengontrol dan mengawasi semua aktivitas warganya, termasuk, tentu saja, percakapan kita di platform digital.
Lalu, benarkah isu ini?
Kominfo membantah, tapi pasal di Permenkominfo jadi pertanyaan
Kominfo sendiri bergerak relatif cepat merespons isu panas ini. Sebagai negara demokratis, isu terkait surveillance state ini jadi sesuatu yang cukup memancing gejolak. Karena, kebebasan berpendapat, berekspresi, hingga lingkup privat masyarakat jadi pertaruhan.
Direkrut Jenderal Aplikasi dan Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, menyebut sekaligus menegaskan bahwa Kominfo tidak dapat melihat isi pesan penerima dan pengirim di sebuah platform digital.
“WhatsApp sendiri saja nggak bisa lihat, gimana pemerintah. Kalau Anda WhatsApp-an dengan saya, ya cuma Anda dan saya yang bisa lihat,” tegas Semuel, di konferensi pers kemarin, Jumat (29/7).
Namun, Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020 justru menyatakan sebaliknya. Aturan tersebut memungkinkan pemerintah bisa melihat informasi isi pesan WhatsApp, kendati data sudah dienkripsi atau dikunci.
Dari pasal 9, 14, dan 36 di Permenkominfo tersebut, ada pernyataan yang menulis bahwa pemerintah hingga aparat hukum punya hak untuk mengintip isi pesan tanpa instruksi dari pengadilan. Pemerintah bersama aparat hukum mempunyai landasan untuk memerintahkan Kominfo membuka isi pesan WhatsApp berkat “pasal-pasal problematik” tersebut. Bermodalkan istilah “mengganggu ketertiban umum” tanpa menggunakan batasan yang jelas.
Banyak orang menganggap PSE Lingkup Privat dan Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020 sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi di ruang digital. Semuanya berkat acuan yang sifatnya abu-abu. Nggak jelas kayak Kominfo, yang beda antara ucapan dan kelakuan.
Bahkan, isu surveillance state berembus di masyarakat, karena pemerintah dianggap akan punya akses lebih untuk mengakses ruang privat masyarakat di ranah digital.
Lalu, berbahayakah isu surveillance ini?
Sebagai negara demokrasi, surveillance adalah mimpi buruk
Kini, Kominfo dan pemerintah mempunyai kuasa untuk melakukan “pengawasan berlebihh terhadap privasi masyarakat setelah pendaftaran PSE. Permenkominfo berjasa di sini berkat diksi yang sifatnya abu-abu. Iya, saya serius, celah itu “sudah diatur” di dalam aturan Permenkominfo.
Masyarakat sendiri, sebenarnya, sudah memahami betul bahaya yang terkandung di dalam pasal-pasal karet. Banyak orang bisa menyalahgunakan diksi nggak jelas seperti “mengganggu ketertiban umum” hingga “meresahkan masyarakat”. Oleh sebab itu, level berbahaya dari semua diksi abu-abu di dalam aturan Permenkominfo bergantung gimana kita menyikapinya.
Kalau kita warga Korea Utara atau Cina misalnya, agaknya nggak terlalu memusingkan hal seperti ini. Tapi masalahnya, Indonesia adalah negara demokrasi.
Namun di 5 sampai 10 tahun terakhir, rasa-rasanya kok kita malah menuju ke arah menjadi surveillance state berkat Kominfo dan aturan PSE mereka, alih-alih jadi negara yang makin demokratis, seperti Amerika Serikat misalnya.
Surveillance sendiri adalah isu yang cukup sensitif di kancah global. Di Cina misalnya, isu ini cukup populer. Ketika perkembangan digital makin masif dan lajunya kian kencang, satu yang jadi pertanyaan adalah bagaimana nasib privasi warganya.
Metaverse di Cina kini bak pisau bermata dua. Metaverse mempunyai potensi besar untuk mendatangkan keuntungan masif di kancah ekonomi digital. Asal, pemerintah bisa memanfaatkannya secara benar.
Tapi, di konteks negara dengan sistem surveilans yang sangat ketat, metaverse bisa berujung kepada akses perluasan pengawasan dari negara kepada warganya.
Duh, Kominfo, bayanginnya aja udah surem, Bos!
Kominfo masih punya “utang masa lalu” perihal kebocoran data
Jangan sampai kita lupa bahwa Kominfo mempunyai “utang masa lalu” yang belum tuntas sampai sekarang. Utang yang membuat polemik PSE dan Permenkominfo semakin terasa nggak penting. Utang yang saya maksud adalah janji mereka menyelesaikan kasus kebocoran data yang sangat masif di rentang 1 hingga 2 tahun lalu.
Pada Mei 2021, BPJS mengalami pembobolan data dengan dugaan ada sebanyak 279 juta data penduduk Indonesia yang berasal dari BPJS Kesehatan bocor dan dijual di forum hacker di dunia. Yang makin sinting, data yang bocor juga mencakup data-data pribadi milik anggota TNI hingga Polri. Data yang dijual sendiri terdiri dari nama lengkap, KTP, nomor telepon aktif, hingga alamat email dan alamat rumah! SURAM!
Polisi bahkan sampai turun tangan melakukan penyelidikan kepada perusahaan pelat merah tersebut. Bareskrim Polri juga sempat menggeledah kantor BPJS Kesehatan selama tiga hari.
Dan tahukah kamu, siapa investigator utama dari kasus itu? YA BENAR SEKALI, JAWABANNYA ADALAH KOMINFO!
Lalu apa hasil penyelidikan Kominfo terkait kebocoran data BPJS Kesehatan yang menggemparkan itu? Nyaris nggak ada. Sudah lewat 1 tahun, kita tidak tahu hasil investigasinya seperti apa dan bagaimana tindak lanjutnya.
Bocornya data Tokopedia
Mundur ke 2020, geger kebocoran data juga sempat terjadi di salah satu e-commerce terbesar Indonesia, Tokopedia. Kala itu, peretasan terkaitnya bobolnya database Tokopedia terjadi pada 20 Maret 2020.
Tokopedia sendiri sudah mengonfirmasi. Kala itu, mereka memastikan bahwa ada upaya pencurian data pengguna yang mengancam 15 juta akun di e-commerce asli Indonesia itu. Dan tebak siapa investigator utama dari kasus kebocoran data tersebut? Tentu saja, Kominfo. Dan apakah sampai saat ini ada hasil investigasinya? Tentu saja tidak!
Kalau sudah begini, rasa-rasanya kita semua harus sepakat sama kalimat dari Mas Teguh Aprianto soal Kominfo di Twitter-nya:
“Kukira kau mahir, ternyata bisanya cuma blokir.”
BACA JUGA Hidup Sungguh Amat Sederhana, tapi Dibuat Ribet Kominfo dan PSE dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno