Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai Kolom

Puasa Prasangka dan Kisah Sufi yang Angkuh karena Merasa Lebih Saleh

Fahruddin Faiz oleh Fahruddin Faiz
4 Mei 2021
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Di Ramadan yang istimewa tahun ini, adakah semangat puasa kita masih terjaga, selain syarat-rukun, juga sisi batin, makna dan hikmahnya?

Adakah puasa kita sungguh mampu menjadi rem yang secara pakem mengendalikan diri dari cela batin dan cacat perbuatan, khususnya di era sekarang, ketika kebenaran dan kejernihan sering tersamarkan oleh ambisi dan kepentingan?

Puasa tentunya tidak sekadar menahan lapar dan haus saja, namun juga mengendalikan anggota badan dari amal kegelapan dan menjaga hati agar kejernihannya tak terkotori.

Masihkah kita mampu menjaga mata dari melihat dengan penuh curiga atau penuh benci dan cela? Masihkah telinga kita terjaga dari suara-suara yang mengeruhkan kejernihan jiwa?

Masihkah kita mampu mengamankan hati dari menebar prasangka tanpa data? Masihkah kita mampu mengontrol pikiran dari penilaian tanpa penelitian dan kecukupan pemahaman?

Ada satu kisah yang indah tentang menjaga hati dan pikiran ini dari dunia sufi. Suatu hari Imam Hasan al-Basri sedang berjalan-jalan di tepi Sungai Dajlah. Pandangan matanya tak sengaja tertuju kepada seorang pemuda yang sedang asyik duduk berduaan dengan seorang perempuan.

Di samping mereka tampak sebotol arak menggeletak. Melihat pemandangan semacam itu, Imam Hasan al-Bashri kemudian berbisik dalam hatinya, “Alangkah buruk akhlak orang itu dan alangkah baiknya kalau dia seperti aku!”

Tidak lama kemudian, Imam Hasan al-Bashri melihat ada perahu yang melintas di sungai tersebut dengan membawa beberapa orang.  Tiba-tiba perahu tersebut oleng dan terbalik. Orang-orang di atasnya tercebur tenggelam.

Lelaki yang duduk di tepi sungai tadi segera bangkit dan terjun ke sungai untuk menolong para penumpang yang hampir tewas tenggelam. Enam dari tujuh penumpang berhasil ia diselamatkan.

Sesaat kemudian, sambil mencari posisi orang ke tujuh, ia berpaling ke arah Imam Hasan al-Basri dan berkata, “Jika engkau memang lebih mulia daripada saya, maka dengan nama Allah, selamatkan seorang lagi yang belum sempat saya tolong.”

Imam Hasan al-Basri terdiam mendengarkan sindiran laki-laki tersebut. Ia sadar, laki-laki yang tadinya ia pandang dengan jijik itu ternyata telah menyelamatkan enam orang, sedangkan ia sendiri yang merasa lebih mulia, tidak mampu menyelamatkan satu nyawa saja.

Laki-laki itu kemudian menjelaskan kepada Imam Hasan al-Basri.

“Tuan, sebenarnya perempuan yang duduk di samping saya ini adalah ibu saya sendiri, sedangkan botol itu hanya berisi air biasa, bukan anggur atau arak. Bungkusnya saja yang terbuat dari botol bekas anggur.”

Imam Hasan al-Basri menangis mendengar teguran laki-laki tersebut.  Kemudian ia berkata, “Kalau begitu, sebagaimana engkau telah menyelamatkan enam orang tadi dari bahaya tenggelam di sungai, maka selamatkanlah saya dari tenggelam dalam kebanggaan dan kesombongan.”

Iklan

Sikap berprasangka seperti dilakukan oleh Imam Hasan al-Basri dalam kisah ini mungkin sering kita lakukan. Menilai sebelum punya data pasti, menuduh meski hanya melihat sebagian peristiwa, bahkan memvonis sebelum memahami situasi yang sebenarnya.

Apalagi di era informasi digital masa kini yang sering disebut sebagai era post-truth, yakni satu era ketika kebenaran ditaklukkan oleh emosi dan kepentingan; satu era ketika citra dan tampilan lebih dipentingkan dari fakta dan kebenaran.

Dalam kisah tersebut, betapa Imam Hasan al-Basri menyesal, tidak hanya karena salah dalam menilai, namun juga karena menyadari telah berlaku sombong dan tinggi hati.

Di balik penilaian semena-mena, tanpa dasar, dan bukti memadai, memang tidak terelakkan tersembunyi sebentuk keangkuhan dan kesombongan, bahwa, “Aku orang yang sudah benar, pasti baik, dan nyata mulia.”

Dalam kisah tersebut juga masuk satu analogi yang unik, bahwa orang yang dianggap rendah itu ternyata mampu melakukan kebaikan luar biasa, yang bahkan tidak mampu dilakukan oleh ia yang merasa tinggi dan mulia.

Ia yang dianggap pezina dan pemabuk, ternyata mampu menyelamatkan nyawa enam orang sekaligus. Sementara ia yang merasa mulia, menyelamatkan seorang saja tidak berdaya.

Tentu saja ini pelajaran untuk tidak semena-mena memberi label orang lain sebagai sesat, berdosa, atau sampah masyarakat. Sindiran dalam cerita ini persis sama dengan sindiran Maulana Jalaluddin Rumi: “Jangan kau seperti Iblis. Hanya melihat air dan lumpur ketika memandang Adam. Lihatlah di balik lumpur itu. Beratus-ratus ribu taman yang indah!”

Pada akhirnya, mengingat nasib puasa kita; pelajaran dari kisah Imam Hasan al-Basri ini semoga mampu mengingatkan kita untuk menyempurnakan puasa, dari biasa menjadi istimewa.

Tidak hanya menahan diri dari lapar haus semata, namun juga menjaga anggota badan, hati dan pikiran dari segala laku perbuatan yang membuat-Nya tidak berkenan.

Menjalani Ramadan dan menjaga kualitas puasa di jaman post-truth seperti sekarang memang bukan perkara mudah, namun tentu saja itu jangan menjadi alasan untuk menjalani puasa sekedar penggugur kewajiban belaka; kering tanpa hikmah.


Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin Faiz, Muh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap hari.

Terakhir diperbarui pada 3 Mei 2021 oleh

Tags: kisah sufiKolom RamadanTasawuf Puasa
Fahruddin Faiz

Fahruddin Faiz

Pakar Filsafat Islam. Doktor di UIN Sunan Kalijaga. Pemantik di "Ngaji Filsafat" MJS.

Artikel Terkait

Imam As'ad Lelah Miskin, Meniti Jalan Sufi dan Zikir, Malah Hidup Berkecukupan
Liputan

Lelah Miskin, Meniti Jalan Sufi, Malah Hidup Berkecukupan

4 Juni 2021
Kolom

Nabi Muhammad dan Riwayat soal Malaikat di Sekitar Kita

10 Mei 2021
Kolom

Bertambah Wawasan, Bertambah Kegelisahan

9 Mei 2021
Kolom

Kisah Nabi Isa dan Orang Bebal

8 Mei 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.